Langgam.id - Kabupaten Padang Pariaman merayakan hari ulang tahun ke-186 pada Jumat (11/1/2019). Hari jadi tersebut diperingati dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Padang Pariaman dipimpin ketuanya Faisal Arifin.
Selain Bupati Ali Mukhni dan Wakil Bupati Suhatri Bur, acara tersebut dihadiri Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Irwan Prayitno dan sejumlah bupati dan wali kota di Sumbar. Demikian dilansir siaran pers Humas Pemprov Sumbar.
Tahun ini merupakan peringatan ulang tahun kedua kali, sejak digelar pertama pada tahun sebelumnya. Tanggal itu sendiri, baru ditetapkan sebagai ulang tahun Kabupaten Padang Pariaman pada 12 November 2014 melalui Perda No 6 Tahun 2014.
Saat seminar mencari tanggal yang akan dijadikan patokan hari jadi ada dua pilihan lain, yakni 9 November 1949 dan 19 Maret 1956. Tanggal 9 November 1949 adalah saat Gubernur Militer Sumatra Tengah menetapkan wilayah Padang Pariaman.
Sementara, 19 Maret 1956 merujuk tanggal Presiden Sukarno mengesahkan UU Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Tengah, salah satunya Padang Pariaman.
Dua tanggal tersebut, akhirnya tak jadi dipilih menjadi hari jadi Padang Pariaman. Tanggal yang akhirnya disepakati dan disahkan menjadi Perda adalah 11 Januari 1833.
Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Gusti Asnan mengatakan, tanggal tersebut merujuk pada peristiwa administratif saja. Ketika, pada 11 Januari 1833 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Besluit tentang pembentukan Afdeling Pariaman.
Afdeling merupakan wilayah administratif setingkat kabupaten, pada masa itu. Afdeling dipimpin seorang asisten residen dan bagian dari sebuah keresidenan. Sementara, afdeling dapat lagi terbagi ke beberapa onderafdeeling yang dipimpin controleur.
Pada 1819, ketika masuk ke Padang, Belanda mendirikan Residentie Padang en Onderboorigbeden (Keresidenan Padang dan daerah taklukannya). "Jadi, Padang yang terlebih dahulu diduduki pada 1819, dan makin lama semua daerah pedalaman yang ditaklukkan masuk ke wilayah residen ini," kata Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Unand itu.
Sejak 1819 itu, menurutnya, Pemerintah Hindia Belanda tiap sebentar menata ulang daerah administratif. "Penataan menyesuaikan dengan perkembangan daerah taklukan dan perubahan fokus kepentingan mereka," kata Gusti.
Berbagai perubahan tersebut tetap berlanjut antara tahun 1825 sampai 1828. Saat itu, di Pulau Jawa berkecamuk Perang Diponegoro. Pemerintah Hindia Belanda habis-habisan menghadapinya, sampai mengirim pasukan dari Sumatra.
Pasca 1830, setelah Perang Diponegoro usai, menurut Gusti, Pemerintah Hindia Belanda mengalihkan perhatian pada perlawanan Padri di Sumatra. Militer yang dikirim dari Sumatra ke Pulau Jawa dikembalikan lagi ke Sumatra.
Antara 1830 sampai 1832, menurutnya, adalah masa kampanye militer. Saat Belanda mulai merasa di atas angin dan merasa bisa mengalahkan Padri.
"Saat itu, masa-masa kaum adat yang awalnya bergabung dengan Belanda mulai berbalik arah dan bergabung dengan Padri," kata Gusti.
Menghadapi situasi ini, perubahan wilayah administratif pun dilakukan. Saat itulah, Afdeling Pariaman dibentuk. "Wilayahnya adalah wilayah kabupaten dan kota Pariaman saat ini, Tiku, Manggopoh, Maninjau, Palembayan, sampai ke Bonjol dan Rao," katanya.
Bila dilihat dengan kaca mata hari ini, kata Gusti, seolah agak aneh. Karena, Bonjol dan Rao yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Pasaman, berada di pedalaman yang jauh dari Pariaman yang di daerah pantai.
"Namun, saat itu akses jalan memang dari situ. Untuk menuju Bonjol dan Rao yang menjadi pusat pertahanan Padri, harus dari Pariaman, terus ke Tiku, kemudian melewati Palembayan dan tembus ke daerah Kumpulan sebelum masuk ke Bonjol dan Rao," terangnya.
Menurut Gusti, akses jalan inilah yang digunakan militer Belanda melawan Padri, baik untuk pasukan maupun logistik.
Bila kita lihat referensi lain, tanggal 11 Januari 1833 sebenarnya juga tanggal penting untuk Padri. Rusli Amran dalam Buku Cerita-Cerita Lama dalam Lembaran Sejarah, menulis, pada tanggal itu, Pasukan Padri melakukan serangan serentak kepada sejumlah markas Tentara Hindia Belanda.
"Semua pos Belanda terpenting di bagian utara Minangkabau, seperti Bonjol, Rao, Lubuk Sikaping, Lundar, Manggopoh, Lubuk Ambalu, Talu dan Sundatar, semuanya secara kilat diserang dan dibinasakan orang-orang Pidari dalam suatu serangan serentak di waktu fajar menyingsing tanggal 11 Januari 1833," tulisnya.
Serangan ini membawa kerugian besar pada tentara Hindia Belanda. Ratusan tentara mati. Komandan Pasukan Letkol Vermeulen Krieger bahkan hampir terkepung di daerah Pisang.
Dia akhirnya berhasil lolos dan mundur ke Bukit Koriri di Agam. Ketika sampai di benteng ini, pasukan Krieger yang tertinggal hanya empat perwira dan sembilan serdadu dari jumlah semula 110 orang. Ini belum termasuk ratusan lainnya yang terbunuh di berbagai pos.
Serangan tersebut, menurut Rusli, membuat daerah Sumbar bagian utara, tidak termasuk kota-kota pantai, jatuh kembali ke tangan kaum Padri. "Pasukan Belanda yang kebetulan beruntung tidak binasa, melarikan diri ke benteng-benteng lebih kuat, seperti Tiku, Air Bangis, Natar dan Pariaman atau ke Mandailing lebih ke utara lagi," tulisnya. (HM)