Inilah jalan perjuangan Haji Abdul Manan. Ia pulang kampung meninggalkan Malaysia untuk melanjutkan perang yang sudah diteroka oleh pendahulunya. Sekaligus perang yang mejadi jalan pulangnya ke alam baqa’.
Jika dalam rangkaian perang Padri ada jabatan Imam Parang (Imam Perang), maka dalam Perang Kamang dikenal jabatan Kapalo Parang (Kepala Perang). Imam Parang Padri adalah Tuanku Imam Bonjol, sedangkan Kepala Parang Kamang adalah H Abdul Manan (65 tahun) dan Muhammad Kari Bagindo (25 tahun).
Boleh jadi kemunculan istilah “kepala” dalam khazanah jabatan-jabatan di Minangkabau kala itu dipengaruhi oleh cara Belanda. Belanda banya sekali membuat jabatan baru dalam masyarakat, misalnya kepala laras, kepala nagari, kepala suku rodi.
Adapun jabatan Kapalo Parang yang disebutkan di awal tulisan merupakan jabatan baru dalam khazanah peperangan orang Minangkabau melawan Belanda. Istilah ini sedikit sekali muncul dalam literatur.
Jabatan Kapalo Parang bertemu dalam bait Nazam Perang Kamang yang ditulis oleh Haji Ahmad Marzuki tahun 1908. “kinilah takdir tuhan yang rahman/ ayah meninggal beserta tolan/ “Kepala Parang” orang namakan/ ajalpun sampai sudah lah bayan.
Haji Ahmad Marzuki tidak lain adalah putra dari Haji Abdul Manan yang disebut sebagai kepala parang itu. Perang kamang berlangsung malam hingga dini hari (memakan dua hari kalender), yaitu tanggal 15-16 Juni 1908. Ia sesuai informasi nazam tersebut gugur sebagai syuhada’.
Namun, tak banyak catatan yang tersdia tentang sosok Haji Abdul Manan Sang Imam Parang tersebut. Dalam episode perang pajak (perang belasting) boleh jadi namanya tenggelam di bawah nama Siti Manggopoh, pejuang antipajak dari Nagari Manggopoh, Agam sebelah barat. Siapakah Haji Abdul Manan?.
Keturunan Pejuang Padri
Nama kecilnya adalah Saidi. Ia putra Kampung Tangah, Jorong Pakan Sinayan, Nagari Kamang Mudiak, Kabupaten Agam. Ia wafat dalam perang Kamang dalam usia 65 tahun, tulis Rusli Amran (1985) dalam bukunya Sumatera Barat Pemberontakan Pajak 1908. Berdasarkan tulisan itu, diperkirakan ia lahir tahun 1843. Tak lama setelah Perang Padri usai.
Ayahnya Haji Ibrahim adalah murid dari Tuanku Nan Renceh. Setelah perang Padri ia dan kawan-kawannya seperjuangan menyelamatkan diri ke Malaysia dan menetap di Sungai Ujong Negeri Sembilan. Setelah situasi agak aman, Haji Ibrahim kembali ke Kamang menjemput Saidi untuk dibawa ke Malaysia. Hingga berkeluarga, ia menetap di Malaysia.
Gelar Haji Abdul Manan diperolehnya setelah setelah menunaikan ibadah haji tahun 1876. Ia berangkat ke Makkah bersama ayahnya. Di Makkah itulah Haji Ibrahim berwasiat kepada Haji Abdul Manan agar kembali ke kampung halaman untuk meneruskan perlawanan Tuanku Nan Renceh untuk mengusir Belanda.
Tak sulit rasanya menjelaskan nasabnya dengan para pejuang Padri, terutama di era Tuanku nan Renceh. Setiap anak di Minangkabau mempunyai dua kerabat, yaitu kerabat dari jalur ibu, yang disebut Kaum dan kerabat dari jalur ayah, yang disebut Bako. Setelah kedatangan Islam, muncullah kekerabatan ketiga, yaitu kekerabatan murid dengan guru.
Pada tahun 1877, Haji Abdul Manan kembali ke tanah air. Ia tidak langsung pulang ke Kamang, tetapi menetap beberapa bulan di rumah isterinya di Bukit Batabuh, Ampek Angkek. Di sinilah ia belajar memahami situasi dalam negeri.
Di Bukit Batabuah ia banyak belajar kepada Marzuki Datuk Bandaro Panjang Laras Banuhampu yang diketahui menetang kebijakan tanam paksa kopi dan kerja rodi. Klop sudah, Haji Abdul Manan mendapatkan kawan seperjuangan. Ibaratnya ini adalah konsolidasi keturunan pejuang Padri.
Ulama Syattariah
Tak lama di Bukit Batabuah, ia kemudian pindah menetap di Kamang. Di Kamang ia membuka surau untuk mengajarkan agama. Ia mengajar tarekat dan juga keterampilan silat, keahlian pedang dan sebagainnya. Pengaruh besar karena ia tak membatasi diri dalam pergaulan. Bahkan dengan parewa sekalipun.
Salah satu ciri khas masyarakat Minangkabau dahulu adalah dekat dengan dunia tarekat. Jejak tarekat dalam masyarakat dapat dilihat aneka jenis wirid dan zikir yang mereka amalkan, minimal setelah ibadah shalat.
Tak mengherankan jika sebagian besar para pemimpin muslim di Indonesia, juga menjadi pengikut ajaran tarekat, tulis Martin Van Bruinessen, penulis buku berjudul Kitab kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (1999).
Kata Rusli Amran, Haji Abdul Manan adalah ulama tarekat Syattariah. Hal ini senada dengan tulisan Audrey Kahin (2005) dalam bukunya Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Audrey Kahin mengutip George Mc Turnan Kahin (1952) mengatakan bahwa perang pajak (termasuk perang Kamang) dipimpin oleh ulama terutama dari aliran tarekat Syattariah.
Syekh Jalaluddin Fakih Shagir dalam naskah yang disunting oleh Sjafnir Abu Nain (2004) mengatakan bahwa Kamang adalah salah satu pusat tarekat Syattariah. Tarekat ini dikembangkan oleh Tuanku Nan Tuo di Kamang.
Berdasaikan informasi di atas, bagaimana Haji Abdul Manan menjadi ulama tarekat Syattariah tak terlalu sukar untuk dijelaskan. Ia hidup di dalam masyarakat Syattariah sekaligus menjadi pemimpin agama dalam masyarakat tersebut.
Imam Parang
Pada tanggal 21 Februari 1908, Belanda menerbitan tiga peraturan sekaligus. Peraturan Pemerintah No. 93, 95 dan 96 itu dimuat dalam Lembaran Negara 5 hari kemudian dan harus berlaku pada tanggal 1 Maret berikutnya.
Peraturan Pemerintah No. 93 sebagaimana ditulis Rusli Amran berisi penetapan pajak 2% terhadap semua penduduk di Sumatra Barat yang disebut "pajak”atas perusahaan dan pemasukan-pemasukan lainnya" atau pajak pencarian. Peraturan ini tentusaja menuai protes dari masyarakat Minangkabau.
Tak hanya pajak diri, pemasukan dari harta pusaka juga diberlakukan pajak. Mamak bertanggungjawab membayar pajak harta pusaka atas kaumnya. Jika pajak tidak dibayar, harta pusaka boleh disita dan dalam banyak kasus, ninik mamak banyak yang diancam penjara atau diasingkan. Berlapis tiga pajaknya, pemotongan hewan sapi, kerbau dan kuda juga dikenakan pajak 3 gulden.
Betapa tidak “meha” masyarakat Minangkabau kala itu. Apalagi sejak zaman Taylor Weber, Residen Belanda di Sumatera Westkust berjanji dan sering menasehati Gubernur Jenderal Van Heutzs agar harta pusako di Minangkabau jangan sekali-kali diganggu gugat. Taylor Weber segera mengundurkan diri setelah peraturan pajak ini diumumkan. Dia tak mau bertanggung jawab atas segala akibatnya. tulis Amran.
Haji Abdul Manan ikut aktif dalam aksi penolakan pajak ini. Ia turut dalam berbagai rapat yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuak Basung, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar dan lain-lain. Termasuk rapat tanggal 2 Juni 1908 di mesjid Taluak di Kamang yang dipimpin oleh M. Saleh Datuak Rajo Panghulu.
Semua utusan sepakat dan dengan kebulatan tekad melancarkan aksi untuk menantang peraturan pajak. Masyarakat ikut mendukung. Di banyak tempat mulai bertebaran selebaran anti pajak. Hal ini membuat geram Westenenk, Controleur Oud Agam (Agam Tuo).
Laras Banuhampu misalnya terang-terangan menyatakan ketidaksanggupan rakyat membayar pajak. Di Baso, Canduang dan Ampek Angkek, sekitar 200 orang penduduk melakukan longmarch, berunjuk rasa. Kian lama jumlahnya kian banyak. Westenenk panik. Pengunjukrasa dan para penghulu banyak yang ditangkap dan dipenjarakan di Padang.
Selain unjuk rasa, juga mulai terdengar seruan perang sabil dan mati syahid. Di surau-surau terdengar orang meratib. Banyak orang yang mulai menuntut ilmu kebal peluru. Seruan yang paling kuat berasal dari Kamang. Agaknya semangat Padri Tuanku Nan Renceh masih bergema meski telah berlalu tiga perempat abad.
Di sinilah agaknya jabatan Imam Parang yang disandang Haji Abdul Manan bermula. Ia punya pengikut yang banyak dari berbagai daerah. Melebih pengaruh penghulu yang tentu saja selingkar kaum, atau setidaknya selingkar nagari.
Akhir hidup sang Imam
Karena pengaruhnya yang besar itulah Westenenk berencana menangkapnya. Sebuah tuduhan sudah disiapkan, yaitu memprovokasi rakyat melawan pemerintah Belanda, dengan cara membagi-bagi jimat kebal peluru.
Haji Ahmad Marzuki dalam bait Nazam Perang Kamang menulis tuduhan itu. “dan lagipula waktu itu, beliau tertuduh di zaman itu, memberi azimat satu persatu/ tiap orang kabarnya itu”. Tuduhan itulah yang berujung penggrebegan tanggal 15-16 Juni 1908 yang berakhir serangan brutal yang menewaskan Haji Abdul Manan.
Dengan ringan saja Westenenk menulis dalam laporannya, “ternyata bahwa kepala penjahat ini memang secara kebetulan kena peluru di halaman rumahnya, dari mana dia menyaksikan pembantaian para pengikutnya yang berdiri di sampingnya, tertembak oleh kita.”
Luasnya pengaruh Haji Abdul Manan ditulis oleh putranya Haji Ahmad Marzuki dalam bait Nazam Perang Kamang. Kata Marzuki, sesudah Haji Abdul Manan dikuburkan “Sampai seminggu tidak berhenti/ orang yang datang di sana sini/ mano yang datang ber rami-rami/ tidak tentu namo nagari.
Jalan berpulang
Imam Parang sepertinya sebuah pilihan Haji Abdul Manan dalam berjuang. Seperti pendahulunya Tuanku nan Renceh. Demikian kesaksian Haji Ahmad Marzuki tentang pilihan ayahnya dalam nazamnya “jangan takut hidup kan mati/ kito terjajah salamo ini.”
Sebuah pilihan yang berbeda dengan ulama lain semasanya. Semisal cerita Buya HAMKA dalam bukunya Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982).
Ia bercerita tentang pendirian Syekh Abbas, H. Daud Rasyidi Balingka, Haji Rasul tentang belasting ini. Syekh Abbas mengatakam, ”Pada hemat kami pemberontakan tidaklah akan membawa hasil, sebab alat perlengkapan senjata tidak seimbang, lagi pula laras-laras dan pengulu-pengulu sudah banyak yang termakan budi dari Belanda.”
“Sebab itu yang akan mematahkan perjuangan bukanlah orang Belanda. Melainkan bangsa sendiri yang bernama "Belanda Hitam". Dalam satu pertemuan di antara kami timbullah kesatuan pendapat, lebih baik kita pindah saja ke "Kelang" tanah Melayu,” lanjutnya.
Inilah jalan perjuangan Haji Abdul Manan. Ia pulang kampung meninggalkan Malaysia untuk melanjutkan perang yang sudah diteroka oleh pendahulunya. Sekaligus perang yang mejadi jalan pulangnya ke alam baqa’.
Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol