Guru Besar dan Kebohongan Besar

Oleh: Habibur Rahman

Baru-baru ini skandal yang melibatkan beberapa guru besar di sebuah kampus di Kalimantan Selatan sana membuat kita terkejut dan mempertanyakan kemana sudah perginya integritas akademik yang dianggap sebagai pilar utama itu.

Kita berangkat pada hal yang diungkapkan dalam investigasi Majalah TEMPO yang terbit pada (8/9/2024), yang mengungkapkan fenomena sangat mengkhawatirkan tentang runtuhnya integritas akademik di berbagai level, baik di kalangan akademisi, bahkan politisi dan juga pejabat publik, dan kita seraya dapat membayangkan begitu hinanya perilaku mereka.

Laporan tersebut menyebutkan adanya dugaan siasat yang dilakukan oleh beberapa akademisi untuk mendapatkan gelar guru besar melalui cara yang tidak etis. Seperti membayar puluhan juta rupiah agar artikel ilmiah mereka diterbitkan di jurnal predator, yakni jurnal dengan kualitas yang diragukan karena tidak melalui proses peer-review yang memadai.

Dalam kerangka teori akademik, skandal ini mencerminkan apa yang disebut oleh Robert K. Merton seorang Sosiolog asal Philadelphia, Amerika Serikat, sebagai pelanggaran norma-norma ilmiah, yang meliputi komunalisme, universalitas, disinterestedness (ketidakberpihakan), dan skeptisisme yang terorganisasi.

Dalam dunia akademik, khususnya pada tataran perguruan tinggi, gelar guru besar merupakan simbol prestasi akademik tertinggi yang dicapai melalui penelitian yang mendalam serta kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, dan juga publikasi di jurnal-jurnal bereputasi yang telah diakui secara internasional.

Proses untuk mencapai gelar ini seharusnya melibatkan penilaian yang ketat terhadap kualifikasi akademisi berdasarkan standar yang objektif, yaitu publikasi ilmiah berkualitas tinggi yang melalui proses tinjauan sejawat (peer-review) secara independen dan transparan.

Namun, dengan adanya praktik mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal predator membuat integritas akademik mulai tergerus.

Teori utilitarianisme, yang dihadirkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang yang paling banyak.

Dalam konteks akademik, manfaat terbesar ini seharusnya adalah kontribusi yang signifikan terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Namun, ketika publikasi dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi, seperti meraih gelar akademis tanpa substansi ilmiah yang valid, maka tujuan ini terabaikan dan merugikan banyak pihak.

Tidak hanya sampai disitu, penelitian ataupun kinerja akademik itu pada akhirnya sama saja dengan kehilangan arti dan mencederai semangat Tridharma Perguruan Tinggi, yang seharusnya menjadi tumpuan untuk berpijak bagi mereka.

Publikasi di jurnal predator merusak esensi dari sains dan ilmu pengetahuan. Jurnal predator tidak hanya mengabaikan norma-norma peer-review yang ketat, tetapi juga memungkinkan karya-karya ilmiah yang berkualitas rendah untuk dipublikasikan, selama biaya yang diperlukan dibayarkan.

Dalam skandal ini, beberapa guru besar di sebuah di sebuah perguruan tinggi di Kalimantan Selatan sana diduga mengirimkan artikel ilmiah mereka ke jurnal predator dan membayar antara 70 juta hingga 135 juta kepada agen penerbitan artikel ilmiah.

Tindakan ini jelas menunjukkan adanya pelanggaran terhadap norma komunalisme ilmiah yang sedikit kita telah singgung di atas tadi, yaitu prinsip bahwa pengetahuan harus dimiliki bersama oleh komunitas ilmiah dan tidak boleh menjadi komoditas yang diperdagangkan secara sembarangan.

Dengan memanfaatkan jurnal predator, para akademisi ini memperlakukan publikasi ilmiah sebagai sarana untuk meraih status, bukan sebagai kontribusi untuk memperkaya komunitas ilmiah, dan kebejatan itu terjadi dan dilakukan oleh tangan mereka yang konon katanya menyandang sebutan Sivitas Akademika.

Lebih lanjut, dugaan keterlibatan sejumlah asesor dalam meloloskan calon guru besar yang tidak memenuhi syarat juga memperburuk keadaan. Asesor, yang seharusnya bertindak sebagai penjaga gerbang kualitas dan integritas akademik, tampaknya telah mengabaikan prinsip disinterestedness atau ketidakberpihakan, yang berarti bahwa penilaian ilmiah harus bebas dari kepentingan pribadi atau bias.

Dugaan bahwa asesor terlibat dalam kecurangan ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana standar penilaian ilmiah di Indonesia dapat dipercaya. Jika para asesor yang bertugas melakukan penilaian berdasarkan standar yang obyektif justru tergoda untuk meloloskan calon yang tidak memenuhi kualifikasi, maka seluruh sistem penilaian akademik akan kehilangan kredibilitasnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena ini juga dipengaruhi oleh tekanan institusional yang besar. Dalam kasus salah satu perguruan tinggi di Kalimantan Selatan ini, ambisi untuk mencapai target 100 guru besar guna meningkatkan peringkat kampus dan mempercepat proses menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) tampaknya telah memicu penggunaan praktik yang tidak etis.

Teori motivasi seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow atau David McClelland dapat membantu menjelaskan fenomena ini kepada kita semua. Menurut teori McClelland, manusia termotivasi oleh kebutuhan akan prestasi, kekuasaan, dan afiliasi.

Di lingkungan akademik, kebutuhan akan prestasi dan pengakuan dapat mendorong individu atau institusi untuk mencapai target yang ditentukan, bahkan jika harus melanggar norma-norma etis. Dalam konteks ini, universitas yang ingin meningkatkan peringkatnya mungkin tergoda untuk menurunkan standar akademik demi meraih status lebih tinggi dengan cepat.

Namun, pendekatan yang mengedepankan kuantitas daripada kualitas publikasi ini adalah langkah yang keliru dan merugikan. Teori kepemimpinan etis, seperti yang diusulkan oleh Brown, Treviño, dan Harrison (2005), menyatakan bahwa pemimpin dalam institusi, termasuk universitas, harus bertindak dengan integritas dan mempromosikan perilaku etis dalam organisasinya.

Dalam hal ini, para pemimpin universitas dan pihak-pihak terkait harus menegakkan standar etika yang tinggi dan memastikan bahwa proses pencalonan guru besar dilakukan secara transparan, adil, dan sesuai dengan norma-norma ilmiah yang telah diakui secara global.

Implikasi dari skandal ini sangat luas. Pertama, praktik-praktik semacam ini merusak reputasi perguruan tinggi dan sistem pendidikan tinggi Indonesia di mata dunia internasional. Jurnal predator telah lama menjadi perhatian di kalangan akademisi global, dan terlibat dalam praktik ini akan memperburuk citra akademik Indonesia.

Kedua, skandal ini juga mengirimkan pesan yang salah kepada generasi akademisi muda bahwa standar etika dan ilmiah dapat dilanggar demi meraih status. Ini berpotensi menciptakan generasi akademisi yang tidak menghargai pentingnya integritas dalam ilmu pengetahuan.

Untuk memperbaiki keadaan, diperlukan reformasi sistemik yang mencakup pengawasan yang lebih ketat terhadap proses publikasi dan pencalonan guru besar, serta penegakan aturan yang jelas tentang etika akademik. Jika tidak segera ditangani, skandal ini akan terus merusak integritas dunia akademik dan mengancam masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Tag:

Baca Juga

Pakar ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan Yonvitner dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Yonvitner, Putra Asal Limapuluh Kota Dikukuhkan Jadi Guru Besar IPB
Institut Seni Indonesia (ISI) Kota Padang Panjang saat ini memiliki dua profesor seni pertama di Sumatra. Pengukuhan kedua guru besar tersebut dilakukan oleh Rektor ISI Padang Panjang,
Pertama di Sumatra, ISI Padang Panjang Miliki 2 Profesor Seni
Terbanyak Sepanjang Sejarah, UNP Kukuhkan 16 Guru Besar Baru
Terbanyak Sepanjang Sejarah, UNP Kukuhkan 16 Guru Besar Baru
Profil Hetti Waluati Triana, Guru Besar Bidang Lingusitik UIN IB Padang
Profil Hetti Waluati Triana, Guru Besar Bidang Lingusitik UIN IB Padang
Hetti Waluati Triana (tengah) saat dikukuhkan sebagai guru besar bidang lingusitik. [Foto: Dok. UIN IB Padang]
UIN Imam Bonjol Padang Kukuhkan Guru Besar Bidang Linguistik
Unand Kukuhkan 3 Guru Besar dari Pertanian dan Keperawatan
Unand Kukuhkan 3 Guru Besar dari Pertanian dan Keperawatan