Gosip, meski sering diidentifikasi sebagai stereotip bagi perempuan dan sering terkait dengan aspek negatif, sebenarnya memiliki kompleksitas yang menarik. Sejarah gosip tumpang tindih dengan kegiatan budaya lisan perempuan yang menjadi bagian integral dari interaksi sosial mereka. Ini bukan sekadar aktivitas mengoceh, melainkan sebuah cara bagi perempuan untuk menyampaikan pandangan, ide, atau bahkan memahami dinamika sosial di ruang yang seringkali terbatas dalam percakapan informal.
Menurut McAndrew dan Milenkovic (2002), perempuan cenderung tertarik untuk berkomunikasi gosip tentang perempuan lain di sekitar mereka, terutama yang memiliki usia atau tingkatan yang serupa. Salah satu faktor pendorongnya adalah adanya dinamika persaingan antar perempuan. Baik kabar tentang musibah atau skandal maupun informasi positif menjadi daya tarik utama dalam percakapan. Informasi positif seperti prestasi seseorang menjadi penting untuk diketahui karena dapat menjadi tolok ukur atas pencapaian yang bisa dijadikan motivasi bagi orang lain.
Namun, menurut McAndrew, F. T. (2014), internet menyediakan sarana bagi para penggosip untuk menyelidiki, menyimpan, dan kemudian menyebarkan materi gosip. McAndrew menyebutnya sebagai "perilaku mencari gosip". Berbeda dengan gosip yang terjadi secara langsung, kegiatan "kepo" atau rasa penasaran bisa dilakukan sendiri dengan memeriksa aktivitas dan timeline individu yang menjadi isu. Tindakan ini seringkali tidak menimbulkan kecurigaan dari orang lain karena dilakukan secara pribadi. Lebih dari itu, gosip yang tersebar melalui media sosial sering dianggap lebih autentik karena terdapat bukti-bukti konkret yang mendukungnya, tidak hanya sebatas perkataan semata.
Gosip awalnya cenderung berlangsung dalam percakapan kelompok kecil, seringkali di lingkaran dekat dengan orang-orang yang dikenal. Namun, dengan munculnya media sosial, pergeseran signifikan terjadi. Gosip tidak lagi terbatas pada lingkungan privat ini; ia telah meluas hingga melibatkan interaksi dengan orang-orang yang tidak dikenal secara pribadi. Ini berarti aktivitas gosip telah berubah menjadi pertukaran informasi yang melibatkan aspek positif dan negatif, terutama ketika melibatkan kritik atau komentar terhadap individu atau topik yang tidak hadir dalam obrolan.
Gosip bukan hanya sekadar sumber informasi. Fungsi utamanya adalah sebagai media informasi yang efisien dalam mengumpulkan dan menyebarkan berbagai informasi yang memengaruhi kesadaran individu akan lingkungan sekitarnya. Selain itu, gosip juga berfungsi sebagai hiburan, menjalin hubungan sosial, dan memperluas pemahaman seseorang terhadap perilaku dan peran individu dalam lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks media sosial, gosip online cenderung terjadi lebih sering karena kemudahan dan kecepatan dalam pertukaran informasi. Kelebihan utamanya adalah gosip di media sosial dapat terjadi secara virtual tanpa memerlukan pertemuan fisik, sementara kontennya juga dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Sebagai contoh, platform-platform seperti Twitter, Instagram, atau Facebook memungkinkan pengguna untuk dengan cepat menyebarkan informasi, cerita, atau komentar terkait suatu peristiwa atau individu yang kemudian menjadi perbincangan yang luas.
Meski begitu, perlu dicatat bahwa efisiensi ini juga memiliki dampak negatif. Terkadang, gosip di media sosial menghasilkan konten yang tersebar dengan cepat melalui fitur-fitur seperti WhatsApp story atau dalam bentuk postingan yang dapat dengan mudah dilihat oleh banyak orang. Hal ini, dalam beberapa kasus, dapat menjadi alat untuk mengontrol atau memengaruhi opini dalam dunia maya. Misalnya, komentar atau cerita yang disebarkan oleh seorang pengguna dapat memiliki dampak besar dalam membentuk pandangan atau persepsi terhadap seseorang atau suatu isu.
Meskipun berbagi gosip di media sosial terkadang dapat memiliki dampak negatif, aktivitas ini juga mampu menjadi sarana untuk melepas tekanan emosional. Sebagai contoh, ketika seseorang berbagi cerita atau pengalaman melalui media sosial yang kemudian mendapatkan dukungan atau pemahaman dari orang lain, hal tersebut bisa membantu meredakan perasaan stres atau kekhawatiran yang dirasakan. Namun, dalam prosesnya, gosip di media sosial sering kali rentan terhadap tuntutan hukum ITE karena dapat dengan mudah diabadikan, disimpan, dan dibagikan. Meskipun kasus-kasus semacam ini awalnya bersifat pribadi dan terbatas, melalui media sosial, dapat menjadi viral dan mengarah pada proses hukum yang kompleks dan dapat merusak hubungan personal. Karenanya perlu sekali memahami rambu-rambu hukum dalam bergosip di media online, jangan sampai demi melepas tekanan emosional kita akhirnya melanggar batas-batas norma dan hukum. (*)
Yayuk Lestadi, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas