Oleh : Iqbal Rizkyka
Siapa yang tidak tahu dengan gerakan padri, gerakan yang terjadi puluhan tahun di tanah Sumatra tepatnya berawal di ranah Minangkabau.
Pada awalnya Padri merupakan sebuah gerakan yang menyimbolkan tokoh-tokoh agama (padri). Mereka melakukan dakwah di setiap daerah di Minangkabau melalui proses yang bertahap.
Hal ini terlihat dengan tahap awal pada tahun 1784M yang dimulai oleh Syekh Tuanku nan Tuo yang merupakan murid langsung dari Syekh Burhanuddin di Ulakan. Beliau memiliki pondok pesantren (surau) dengan murid mencapai ratusan orang. Salah seorang murid beliau yang bernama Jalaluddin turut membersamai beliau dalam berdakwah di kampung-kampung dan surau-surau sekitar agam yang kala itu masyarakat mulai terlena dari agama karena perekonomian meningkat. Slogan "kembali ke syariat" yang Tuanku Koto Tuo gaungkan bersama muridnya tersebut turut menuai hasil di beberapa tempat sehingga kesadaran masyarakat terhadap agama kembali.
Namun di sisi lain, salah satu murid dari Tuanku Koto tuo yang bernama Tuanku nan Renceh merasa tidak puas dengan pola dakwah yang demikian. Menurut Tuanku nan Renceh masih banyak masyarakat yang tetap melakukan tindakan maksiat sehingga perlu dilakukan tindakan yang lebih progresif.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1803 tiga orang haji kembali dari negeri di Timur tengah setelah merantau sambil menimba ilmu lebih kurang mencapai 15 tahun lamanya. Tiga orang haji ini bernama Haji Miskin dari luhak agam, Haji Sumanik dari luhak Tanah Datar, dan haji Piobang dari luhak Limo Puluh Koto. Selain menimba ilmu, ternyata ketiga haji ini merupakan mantan tentara Dinasti Turki Utsmani ketika di Mesir melawan raja Napoleon. Selain itu juga, ketika masa tersebut pengaruh paham Wahabisme di negara-negara Arab kian marak sehingga pemberangusan terhadap praktek Bid'ah, Syirik, dan Khurafat di bumi hanguskan.
Haji miskin seketika pulang ke kampung tepatnya di nagari Pandai Sikek melihat secara langsung bagaimana masyarakat dan pemuka adat melalukan perbuatan buruk di balai adat misalnya mabuk-mabukan, berjudi hingga menyabung ayam. Pada awalnya haji miskin telah melalukan pendekatan persuasif dengan berdakwah agar masyarakat meninggalkan perbuatan tersebut. Namun ajakan tersebut tidak di gubris oleh masyarakat sehingga membuat haji Miskin semakin geram. Hingga di suatu malam ketika masyarakat tersebut telah tertidur lelap, haji Miskin membakar balai adat tersebut sehingga membuat kehebohan satu kampung. Hingga esoknya Haji Miskin menjadi tersangka dalam peristiwa pembakaran tersebut yang membuat masyarakat dan tokoh adat ingin menghukum beliau dengan setimpal.
Kemudian haji Miskin melalukan pelarian diri menuju daerah Kamang. Kabar peristiwa di Pandai Sikek ini turut mencapai pada Tuanku Nan Renceh yang saat itu begitu kagum dengan Haji Miskin tersebut. Mendengar kedatangan Haji Miskin ke daerah Kamang membuat antusias Tuanku Nan Renceh untuk bertemu semakin menggebu. Pertemuan mereka berdua mencapai kesepakatan-kesepakatan dalam berdakwah hingga membuat sebuah pergerakan masif yang terstruktur dan sistematis melalui Diwan yang dikenal dengan Harimau nan Salapan. Harimau Salapan terdiri dari delapan orang ulama di berbagai daerah di luhak Agam yang sepakat dengan melakukan dakwah Islam melalui Padri dengan Masif sehingga masyarakat kembali kokoh dalam memegang Syariat Islam. Diantara tokoh Harimau Salapan yakni nya Tuanku Jan Renceh di Kamang, Tuanku Haji Miskin, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Padang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur di Candung.
Pergolakan berawal terjadi di Daerah Bukik Batabuah yang mana masyarakat turut berusaha untuk melawan, pertempuran terjadi sehingga menimbulkan beberapa korban. Selain itu di beberapa daerah seperti Pandai Sikek, Matur, Candung, Padang Tarab, Bukit Pua, dan masih banyak lagi dikuasai oleh Harimau nan Salapan ini. Gerakan ini menimbulkan sebuah bentuk pemerintahan di masyarakat menjadi baru yakni nya di tandai dengan adanya peran bagi Tuanku Imam dan Kadi memberi penerangan bagi masyarakat dan membuat aturan-aturan yang berlandaskan Syariat Islam sehingga terlihat pembeda antara kaum adat dan kaum padri yang memakai warna baju putih, berjenggot dan sebagainya. Proses ini terjadi hingga di tahun 1821 M yang mana membuat sebuah kontras baru dalam struktur adat di Minangkabau nantinya.
Adapun mengenai Haji Sumanik di Tanah Datar, daerah Sumanik merupakan tempat bertahtanya Tuan Makhudum, salah satu menteri Kerajaan Pagaruyung yang terkenal dengan sebutan Basa Ampek Balai
(Empat Menteri Besar). Di sini kaum Padri mendapat perlawanan kuat dari masyarakat, yang mana keluarga kerajaan bekerja sama dengan kaum adat karena mereka tahu bahwa pengaruh padri mulai berhasil di wilayah Agam. Kekuasaan Penghulu memiliki pengaruh yang besar di tengah masyarakat Tanah Datar pada saat itu. Sehingga demikian haji Sumanik mengalami kesulitan dalam mengembangkan ajaran Islam yang dipahaminya, maka ia pun di ketahui pindah ke Lintau, Tanah Datar. Diketahui juga bahwa Haji Sumanik juga memberi pengajaran kepada masyarakat cara mengolah mesiu.
Mengenai Haji Piobang, beliau mendapatkan pangkat Perwira oleh Jendral Muhammad Ali Pasha namun ketika sekembalinya di kampung halamannya tepatnya di Piobang tidak begitu kontroversial bagi masyarakat seperti halnya haji Miskin. Namun beliau mendirikan sebuah Surau tepatnya di Gando dan beliau pun juga kerap mengunjungi Haji Miskin di Kamang.
Kebijakan yang ia terapkan pada masyarakat Piobang ialah Menegakkan Sholat Lima waktu. Yang mana sebagai penanda bagi yang sholat ialah dengan menggantungkan sajadah di jendela rumah masingmasing. Bagi yang tidak maka ia tidak mengamalkan ajaran Islam. Dan tindakan dilakukan oleh kaum padri dengan peneguran dan pemanggilan yang bersangkutan sehingga diberi peringatan.
Namun ketika pemanggilan pada kaum wanita, menjadi sorotan dan bahan gosip bagi masyarakat (kaum hitam) yang benci pada Haji Piobang. Hingga berita itu meluas dan saat itu juga Belanda yang merasa terancam dengan keberadaan haji Piobang pun mengambil kesempatan dengan menebarkan berita bahwa “bagi siapa yang dapat membunuh Haji Piobang akan diberi Hadiah besar”.
Dalam sebagian cerita, beliau haji Piobang dibunuh oleh kaum adat dengan dipancung lehernya ketika hendak mengambil wudhu tatkala akan sholat subuh.
Penulis: Iqbal Rizkyka (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)