Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah

Nofel Nofiadri

Dosen UIN Imam Bonjol Nofel Nofiadri (IST)

Jalan-jalan kota dipenuhi foto-foto tokoh. Sebentar lagi akan dilangsungkan pemilihan kepala daerah, termasuk di Sumatra Barat.

Hal yang menarik adalah banyak juga dari tokoh-tokoh itu yang baru memiliki gelar adat (datuak). Di sisi lain beberapa kepala daerah seperti gubernur dan wakilnya juga memiliki gelar datuk. Lalu apakah gelar adat (soko) ini menguntungkan atau merugikan bagi eksistensi masyarakat adat?

Soko dan Pusako

Dalam aturan adat tradisional Minangkabau, dibentuknya soko atau gelar adat baru berkaitan dengan keadaan kemenakan dan adanya pusako yang akan dikelola. Berkembang-biaknya kemenakan dapat menjadi alasan untuk didirikan pangulu baru.

Memang tugas utama pangulu adalah membina kemenakannya melalui pengelolaan pusako. Salah satu kecakapan yang dimiliki pangulu dalam melaksanakan tugasnya adalah pengetahuan tentang adat salingka nagari dan kemampuan dalam berunding.

Kemampuan berunding ini sangat fungsional dalam prosesi, seremoni dan ritual adat. Selanjutnya, penggunaan pusako itu semata-mata untuk kesejahteraan kemenakan seperti yang disebut dalam bahasa adat untuk hidup salamaik samparono lahia jo batin.

Kepemimpinan Pangulu

Pangulu yang cakap tentu menguasai tentang aturan adat dan menguasai keterampilan mengelola orang banyak. Makna-makna dari pakaian pangulu, seperti saluak atau pakaiannya, mewakili sifat atau karakter yang dimiliki pangulu. Beliau harus baalam lebabadado lapang, bapakia panjangmaha nyo indak dapek dibali, murahnyo indak dapek dimintak.

Ada lagi banyak karakter pemimpin tradisional yang harus dimiliki oleh seorang yang memangku gelar sebagai pangulu. Beliau akan menjadi tempat mengadu, tempat bernaung, dan juga menjadi panutan bagi kemenakannya. Pola kepemimpinannya dituntut arif dan bijaksana, mauleh ndak babuku, pandai maelo rambuik dalam tapuang; rambuik indak putuih, tapuang indak taserak.  

Dalam pelantikan pangulu biasanya diucapkan sumpah pangulu. Pangulu harus bajalan luruihbakato bana. Ka ateh indak bapucuak; ka bawah indak baurek; di tangah-tangah digiriak kumbang. Baban barek; singguluang batu. Dari sumpah dan tanggung jawab pangulu ini tergambar betapa berat dan besarnya tanggung jawab pangulu.

Pangulu hari ini

Di tengah arus globalisasi, generasi muda Minangkabau semakin hanyut ke hulu modernitas. Hal-hal yang berkaitan dengan tradisionalitas dianggap kurang relevan lagi.

Begitu juga cara generasi muda memandang pangulu dan memfungsikan pangulu baik dalam batinnya maupun dalam keseharian mereka. Banyak juga yang menganggap bahwa peran pangulu atau niniak mamak semakin menurun.

Pandangan ini dapat dibenarkan. Fungsionalitas pangulu dahulu menguat karena relasi antara kehidupan ekonomi dan daya guna harta pusaka. Dalam tatanan hidup modern saat ini, generasi muda tidak lagi mengandalkan kehidupan ekonomi dari harta pusaka yang dikelola oleh pangulu. Mereka mengandalkan kehidupan dari distribusi ekonomi modern yang bersanding kepada tata kelola negara dan profesionalitas.

Trend kepala daerah menyandang gelar adat di satu sisi menjadi menarik. Jika generasi baru Minangkabau tidak begitu besar lagi memaknai pangulu, lalu kenapa mereka begitu antusias menjadi pangulu. Tentu ada argumen di balik itu. Itu pun dapat ditanyakan kepada masing-masing mereka.

Satu asumsi yang dapat dibangun adalah adanya fungsi baru dari soko atau gelar adat dalam ranah yang berbeda. Soko itu kurang fungsional pada tataran kehidupan tradisional namun sepertinya fungsional pada ranah politik.

Pergeseran fungsi

Dengan memelihara harta pusaka, itu mejadi bentuk nyata pangulu menjaga anak kemenakan. Akan berkurang lah martabat pangulu atau akan berkurang kepemimpinan pangulu jika kerjanya merusak harta pusaka.

Sebagai contoh adalah pangulu yang sering menggadai atau bahkan menjual harta pusaka kaumnya. Dalam pandangan tradisional, semakin berkurang hak kepemilikan tanah maka akan semakin berkurang eksistensi suatu masyarakat adat.

Selanjutnya adalah berkurangnya harga diri masyarakat adat jika kepemilikan akan tanah semakin berkurang. Tanah bagi masyarakat adat adalah harga diri. Itulah yang membuat mereka tidak dapat terusir dari akar adatnya.

Kita tahu betapa derita yang ditanggung bangsa Israel saat ini. Mereka ingin kembali ke tanah akarnya.

Dalam relasi bernegara, kepala daerah adalah bawahan atau subordinat dari pemerintah pusat. Nah dalam diri seorang kepala daerah yang sekaligus juga seorang pangulu terdapat dua sistem.

Pada sistem tradisional pangulu adalah pimpinan dalam kaum; anak kemenakan akan mengadu kepadanya. Pada saat yang sama anak kemenakannya adalah dalam parentahnya juga sebagai rakyat atau warga negara. Ini adalah posisi yang menguntungkan.

Tapi jika dilihat dari posisi masyarakat adat dengan sistem pemerintahan, maka ini cukup dilematis. Apakah kepala negara akan membela anak kemenakannya atau dia akan mematuhi atasnnya.

Kepala daerah dipilih secara demokrasi dan lazimnya kepala daerah adalah utusan dari partai politik. Dia akan menjalankan amanat undang-undang dan juga mewujudkan keinginan partai-partai pendukungnya.

Sebisanya kepala daerah akan menggunakan aset negara untuk mewujudkan cita-cita luhur politiknya. Pada saat yang sama kita juga melihat suasana dilematis, jika misalnya keinginan negara mengancam eksistensi anak kemenakannya seperti beberapa kasus belakangan ini.

Ambillah contoh tentang rencana proyek strategis nasional. Apakah kepala daerah akan menjalankan tugas politiknya atau dia akan menjalankan fungsinya sebagai pemegang soko yang melindungi anak-kemenaannya sendiri. Sungguh situasi ini sangat sulit.

Siapa yang akan dimenangkan

Dalam situasi politik dan demokrasi pemilihan langsung, soko atau gelar adat dapat berperan ganda. Gelar adat dapat menaikan citra atau marwah individu yang ikut dalam kontestasi politik. Dia dapat dipandang oleh orang pusat sebagai orang yang berpengaruh terhadap masyarakat adat. Situasi ini menguntungkan individu dan mungkin juga menguntungkan anak kemenakannya.

Mamak kito jadi kada (kepala daerah). Namun marwah dan citra baik itu dapat juga menjadi ancaman bagi masyarakat adat jika fungsi itu digunakan oleh kekuasaan yang lebih besar untuk melunakan yang di bawah. Walaupun demikian, pepatah adat ada mengatakan, elok-elok nan di ateh; nan di bawah kok maimpok.[]

Nofel Nofiadri adalah Dosen UIN Imam Bonjol Padang.

Baca Juga

Tercatat ada 665.126 daftar pemilih tetap (DPT) akan memberikan suaranya di 1.487 TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang tersebar di 11 kecamatan
KPU Padang Targetkan Partisipasi Pemilih 77,5 Persen di Pilkada 2024
Perihal Peningkatan Transformasi Digital, Annisa Suci Ramadhani: Memastikan Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi Setiap Nagari di Dharmasraya
Perihal Peningkatan Transformasi Digital, Annisa Suci Ramadhani: Memastikan Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi Setiap Nagari di Dharmasraya
Bantah Maigus Nasir Pernah Divonis Korupsi, Mantan Pejabat Kejagung: Fitnah
Bantah Maigus Nasir Pernah Divonis Korupsi, Mantan Pejabat Kejagung: Fitnah
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Temui Penyandang Disabilitas di Kuranji, Fadly Amran Janjikan Kota Inklusif
Temui Penyandang Disabilitas di Kuranji, Fadly Amran Janjikan Kota Inklusif
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Menunggu Kepemimpinan Strategis Gubernur Baru