Founding Fathers dan Pelajaran untuk Elite Politik Terpilih dalam Pemilu 2024

Founding Fathers dan Pelajaran untuk Elite Politik Terpilih dalam Pemilu 2024

Muhammad Thaufan Arifuddin, MA (Foto: Dok. pribadi)

Pemilu hanya politik prosedural dan teknis memilih pemimpin secara fair dan elegan agar elit tidak jumud dan digantikan oleh elit baru yang lebih fresh dan visioner. Jika elit tidak bisa mendorong perubahan besar maka tentu mereka tak berguna sama sekali kecuali untuk dirinya, keluarga, kelompok dan partai politiknya. Mereka menderita kekeringan ide revolusioner dan lupa melawan kekuasaan yang korup.

Di titik inilah elit politik yang terpilih dalam pemilu 2024 nanti perlu belajar kepada proses kontekstualisasi filsafat politik founding farhers kita, Bung karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan Kawan Tan Malaka. Politik adalah sebuah seni mengelola kekuasaan yang bukan sekedar memenuhi watak politik kebinatangan, tetapi politik harus jelas mendorong kolektivisme dan membawa kepada perubahan yang konkret bagi masyarakat banyak.

Dalam sejarah politik yang konkret di Indonesia akan ditemukan spektrum pemikiran politik yang cukup berbeda antara kiri moderat dan kiri radikal. Kiri moderat diwakili oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Sjahrir, sedangkan kiri radikal diwakili oleh Tan Malaka. Di sini kiri bermakna melawan kekuasaan yang korup.

Dengan ijtihad filsafat politiknya, Bung Karno misalnya menemukan sosialisme yang berkarakter Indonesia (Latif, 2021). Bung Karno berpendapat bahwa terdapat perbedaan karakter kapitalisme industrial yang menjadi objek kritik Karl Marx dan Engels di Eropa dengan kapitalisme di Indonesia yang masih bercorak pertanian. Bung Karno ketika turun ke bawah (Turbah) melihat desa Cigereleng, sebelah selatan kota Bandung bertemu dengan seorang petani mandiri yang mengolah alat produksinya untuk dirinya sendiri tetapi masih mengalami verelendung (pemelaratan-proletarisasi).

Ketika Bung Karno bertanya siapa namanya, petani itu menjawab Marhaen. Bung Karno kemudian menciptakan pemikiran yang disebut dengan Marhaenisme atau filsafat politik kaum wong cilik merujuk kepada karakter Marhaen, petani desa Cigereleng, Jawa Barat. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Marhaen adalah akronim dari nama pemikir politik idola Bung Karno yaitu Marx, Hegel dan Engels (Latif, 2021).

Pemikiran Marhaenisme yang digunakan oleh Bung Karno untuk memberdayakan masyarakat kelas bawah. Bung Karno selalu berpikir tentang filsafat politik untuk membela kaum Marhaen termasuk ketika merumuskan teori Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi yang berkarakter kolektivisme dan pemikiran Trisaktinya yaitu kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kebudayaan yang kuat.

Bung Karno juga mencoba adaptif dengan mengembangkan titik temu antara Nasionalisme, Islam, Marxisme. Pemikiran Bung Karno ini sangat maju di zamannya karena mencoba merangkum energi-energi perubahan dari pemikiran nasionalisme yang menekankan persamaan nasib sejarah, Islam non-sontoloyo yang mendorong kepedulian sosial dan baldatun thoyyibatun warabbun gafur, dan Marxisme yang tegas membela kaum proletariat dan bahkan mendorong kaum proletariat untuk membentuk pemerintahan kaum tertindas yang dikenal dengan istilah diktator proletariat.

Relatif sama dengan Bung Karno, Bung Hatta menkontekstualisasikan pemikiran ekonomi kerakyatan yang sangat mendesak bagi rakyat kecil di Indonesia bernama ekonomi koperasi. Bung Hatta belajar ekonomi koperasi di Skandinavia jauh sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1925 karena diutus oleh Perhimpunan Indonesia. Bung Hatta melihat pentingnya ekonomi koperasi untuk mendorong kemandirian ekonomi bangsa Indonesia secara kolektif masih tertindas dan hanya mampu mengelola ekonomi lapisan bawah. Dengan kata lain, koperasi sejatinya alat rakyat kecil keluar dari jeratan ekploitasi kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir elit ekonomi.

Dengan kritis dan berapi-api, Bung Hatta menulis pentingnya kontekstualisasi koperasi bagi rakyat kecil Indonesia dalam memoirnya pada tahun 1925 bahwa kelemahan ekonomi rakyat ternyata pada keadaaan rakyat Indonesia hanya mengerjakan segala yang kecil, pertanian dan perdagangan kecil. Segala yang besar ada di tangan kulit putih, pertanian dan perdagangan besar, impor dan ekspor, pelayaran besar, bank dan lain-lain. Ekonomi menengah, ekonomi perantaraan 90% di tangan orang-orang China, India dan lain yang disebut vreemde oosterlingen. Dalam bidang itu, orang Indonesia hanya 10% itupun pada tingkat sebelah bawah pula. Mereka sanggup memperoleh tempat itu karena mereka giat berusaha dan mempunyai modal sendiri sebagai pokoknya, modal yang diperoleh turun-temurun dari nenek mereka, yang mereka jalankan sebagai harta keluarga. Itu sudah bagus apabila mereka dapat mempertahankan kedudukannya. Dalam sistem kapitalisme dengan dasar free competition tidak dapat diharapkan bahwa orang Indonesia yang hanya pandai melaksanakan segala yang kecil akan dapat naik kelas. Melihat contoh-contoh yang terdapat di Inggris dan beberapa negeri lain di daratan Eropa hanya koperasi yang berhasil meningkatkan selangkah demi selangkah ekonomi rakyat jelata (Hatta, 1982).             

Tak berbeda dengan Bung Hatta, Bung Sjahrir juga melakukan ijtihad pembumian filsafat politik dengan lebih rasional melihat pemikiran kiri. Ia cenderung melihat sosialisme dari perspektif kemanusiaan, belajar dari pencapaian filsafat politik Barat yang ia baca dan secara konkret dilihatnya di negeri Barat. Ia mengutip Robert Owen, pendiri sosialisme, bahwa sosialisme yang kita perjuangkan seharusnya bertujuan memerdekakan dan memanusiakan manusia serta membebasan manusia dari ekploitais manusia lain (Latif, 2021).

Bung Sjahrir bahkan menuliskan lebih konkret kebijakan sosialisme yang bisa menyelesaikan masalah ekonomi politik kolektif dan dapat diterapkan di Indonesia secara tepat dan visioner yaitu (1) Memastikan standar penghidupan minimum (2) Upah yang layak untuk setiap individu (3) Pesangon/pensiun bagi orang tua (4) Bebas pajak bagi orang berpenghasilan minim (5) Kerja 8 (delapan) jam per hari (6) Anak di bawah 15 tahun tidak boleh menjadi buruh (7) Perempuan hamil tidak boleh bekerja (8) Uang pengganti ongkos berobat (9) Ekstra gaji bagi buruh yang mendapat kecelakaan (10) Perlunya negara membuat aturan pajak progresif (11) Membuat undang-undang sosial keselamatan kerja (12) Menetapkan batas upah minimum (living wage) (13) Menghapus hukuman sanksi rodi dan segala bentuk kerja paksa (14) Mengeluarkan undang-undang anti-riba (15) Peraturan yang mewajibkan  semua orang untuk menyekolahkan anak-anaknya dan bebas uang sekolah kepada anak-anak-anak miskin hingga umur 15 tahun (16) Memerangi buta huruf melalui pengurusan rakyat dan penddikan umum (Sjahrir, 2000).

Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Sjahrir cenderung adaptif dengan ide-ide kiri revolusioner menjadi ide-ide strategis bernuansa strukturalis-reformis. Namun, model ijtihad filsafat politik Tan Malaka sedikit berbeda dan cenderung konsisten dengan ide radikalnya yaitu transformasi sosialisme-Marxisme menjadi sosialisme ala Indonesia (Latif, 2021). Tan Malaka mendorong perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan ini tertuang dengan baik dalam karyanya "Naar de Republiek Indonesia (1925)." Tan Malaka melihat perlunya komunis internasional beradaptasi dengan ide Pan-Islamisme Al-Afghani yang mendorong perjuangan melawan kolonialisme terutama di negeri-negeri mayoritas pemeluk Islam (Anderson, 1972). Tan Malaka percaya bahwa aksi massa dan kaum inteligensia akan selalu muncul dan melawan penindasan di sepanjang zaman

Alhasil, pembumian filsafat politik dan kontekstualisasi pemikiran revolusioner menjadi pemikiran yang bermakna di Indonesia telah dilakukan sejak dulu oleh founding fathers kita. Tetapi, esensi dari ijtihad dan kontekstualisasi filsafat politik mereka adalah keberpihakan kepada rakyat kecil dan kepentingan yang lebih besar untuk negara ini.  Mereka tidak berpikir dalam kerangka individualisme sebab politik individualis dan tanpa rasa serta keberpihakan kepada rakyat hanya berwatak hewani dan bisa digantikan oleh robot AI hari ini.

Semoga elit politik kita yang terpilih dalam Pemilu 2024 dan generasi Zillenial yang memilih mereka di pemilu 2024 bisa belajar dari ijtihad dan kecerdasan filsafat politik founding fathers kita dalam berpikir kolektif dan anti-konservatisme demi Indonesia Emas 2045 dan demi mendorong perubahan besar di negeri ini.   

*Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Andalas

Tag:

Baca Juga

KPU Padang Panjang Lakukan Pemusnahan Kelebihan Surat Suara dan Rusak
KPU Padang Panjang Lakukan Pemusnahan Kelebihan Surat Suara dan Rusak
Meski Libur Pilkada Serentak, Pemko Padang Pastikan Layanan Kesehatan Tetap Buka
Meski Libur Pilkada Serentak, Pemko Padang Pastikan Layanan Kesehatan Tetap Buka
Sambangi Sejumlah TPS, Pj Wako Padang Pastikan Daerahnya Siap Helat Pilkada
Sambangi Sejumlah TPS, Pj Wako Padang Pastikan Daerahnya Siap Helat Pilkada
Tim PKM FEB UBH Lakukan Branding Potensi Wisata Kenagarian Simarasok-Baso
Tim PKM FEB UBH Lakukan Branding Potensi Wisata Kenagarian Simarasok-Baso
Mahyeldi Mencoblos di TPS 005 Kelurahan Jati Baru
Mahyeldi Mencoblos di TPS 005 Kelurahan Jati Baru
Pemantauan Ujaran Kebencian Jelang Pilkada di 5 Provinsi Termasuk Sumbar, Berikut Hasilnya
Pemantauan Ujaran Kebencian Jelang Pilkada di 5 Provinsi Termasuk Sumbar, Berikut Hasilnya