Langgam.id - Film Mandeh terpilih menjadi yang terbaik dalam ajang Sumbar Film Festival (Surfival) 2019. Terpilihnya film yang menceritakan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya itu diumumkan pada malam penganugerahan Surfival di Hotel Kyriad Bumi Minang, Minggu (18/8/2019) malam.
Selain terpilih sebagai yang terbaik, film Mandeh juga menjadi pemenang dalam kategori film fiksi dan ide terbaik. Dengan demikian, film yang disutradarai Roby Anggara ini meraih tiga penghargaan sekaligus pada Surfival 2019.
Asisten Sutradara film Mandeh, Adriyas Putra mengakui persiapan film garapan timnya itu butuh waktu lama dan produksi yang cukup besar. Namun berkat keyakinan, film ini pun akhirnya terpilih yang terbaik.
"Sejak awal saya sudah percaya cerita film Mandeh ini banyak mewakili perasaan orang. Bicara menyangka tidak menyangka sebagai pemenang, tapi yang jelas kami semua sudah banyak persiapan," kata Adriyas kepada langgam.id usai terpilih menjadi yang terbaik.
Ia mengatakan film Mandeh digarap hingga berbulan-bulan. Film ini juga merupakan tugas akhir para timnya di Institut Kesenian Jakarta yang berkolaborasi dengan Institut Seni Indonesia Padang Panjang.
"Pra-produksinya, dari ide sudah lama tapi serius digarap pra produksi tiga sampai empat bulan. Untuk produksi dua setengah hari dan pasca-produksi sampai empat bulan," katanya.
Menurut Adriyas, pesan yang ada di film Mandeh cukup sederhana yaitu kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang tidak pernah habis. Meskipun anaknya tersebut melakukan kesalahan yang cukup besar.
"Kasih ibu sepanjang jalan. Kasih ibu tidak habis-habis. Di film Mandeh ini memang sengaja tidak dibikin ending-nya. Yang jelas pesan di film Mandeh ini walaupun anaknya melakukan kesalahan tapi seorang ibu tetap seperti semula, kasih sayangnya," ujarnya.
Adriyas mengaku sedang berusaha untuk ikut dan menampilkan film Mandeh di festival tingkat nasional. Timnya saat ini, katanya, tengah menggarap pembuatan subtitle berbahasa Inggris di film Mandeh agar lebih luas dikenal orang.
"Ini film sudah hampir dua tahun. Kalau mau ke nasional kami sedang berusaha. Kami coba, mana tahu rezeki bisa menang nantinya," tuturnya.
Film Mandeh ini mengungguli empat film lainnya yang masuk nominasi kategori fiksi. Di antaranya "Surek" sutradara Rizky Andrian dari rumah produksi Stereotype, "Raso" sutradara Yogi Sapta Hadi dari rumah produksi Sarang Musang Picture, "Pesawat Kertas" sutradara Zahrah Yuni Alda dari rumah produksi Ruang Mitos Films dan "Sarumpun" sutradara Afrinal dari rumah produksi Sarang Musang Picture.
Bungo Lado Peraih Film Dokumenter Terbaik
Di sisi lain, untuk kategori film dokumenter terbaik Surfival 2019 diraih Bungo Lado karya Andri Maijar dari rumah produksi Rumpun Creative. Film ini seolah ingin menyampaikan betapa Minangkabau memiliki keragaman tradisi, terutama yang berkaitan dengan keagamaan.
Tradisi Bungo Lado adalah cara mengumpulkan sedekah oleh masyarakat setempat, uniknya, uang sedekah tersebut digantung pada sebuah ranting kayu selama lebih kurang satu minggu jelang peringatan hari kelahiran Rasul.
Di Nagari Parit Malintang, setiap korong memiliki Bungo Lado masing-masing, nantinya Bungo Lado tersebut akan dikumpulkan di masjid nagari saat hari puncak peringatan Maulid Nabi.
Dengan terpilih menjadi yang terbaik, maka film Bungo Lado mengalahkan empat film dokumenter lainya yang masuk nominasi. Di antaranya film "Tanah Datar Luhak Nan Tuo" sutradara Ahmad Zuriyatul Khiari dari rumah produksi Tugas Anjay Studio.
Kemudian "Masijago Pora Mai" (Menjaga Tanah Adat) sutradara Gilang Syahbani dari DAAI TV, "Langkitang dan Pensi" sutradara Suwanda Kurnia Maufdi dari Universitas Andalas dan "Surau Kito" sutradara Rizqy Vajra J dari Institue Seni Indonesia Yogyakarta yang terpilih menjadi film dengan ide terbaik.
Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Sumbar, Oni Yulfian mengungkapkan, adanya ajang Surfival tentunya sangat mempengaruhi perkembangan industri film di Ranah Minang. Apalagi, katanya, Sumbar salah satu yang mempunyai kekayaan da kreativitas yang tinggi terutama di bidang perfilman.
"Seperti diketahui beberapa pendiri industri perfilman di Indonesia berasal dari Sumbar. Kita bisa melihat Bapak Jamaluddin Malik, Idaman Ismail dan sebagiannya. Kemudian beberapa film kita juga berkiprah di tingkat internasional seperti Surau dan Silek dan Liam dan Laila," kata Oni.
Dengan demikian, lanjutnya, hal ini menunjukkan bahwa Sumbar memiliki potensi besar dari segi perfilman. Apalagi, film mempunyai dampak dan peran yang luar biasa, terutama dalam pelestarian budaya dan seni.
"Bisa kita lihat banyak film yang dibuat merupakan persentasi novel-novel yang ada di Sumbar, seperti film Di Bawah Lingkungan Ka'bah dan Siti Nurbaya. Ini salah satu cara dan bentuk dalam melestarikan budaya Sumbar melalui film," katanya.
Dari segi pariwisata, kata Oni, film memiliki peran yang cukup besar. Banyak film yang diputar di beberapa tempat berdampak menumbuhkan minat orang untuk berangkat ke suatu destinasi. Contohnya, film Laskar Pelangi.
"Film Laskar Pelangi yang pengambilan di Pulau Bangka Belitung itu bisa memunculkan image orang tentang suatu yang luar biasa terhadap lokasi itu. Bisa dilihat setelah film itu diputar jumlah wisatawan ke Bangka Belitung meningkat," katanya. (Irwanda)