Oleh: Zukri Saad
“Locavora” adalah istilah baru dalam bahasa Inggris (locavore) yang mulai dikenal pada awal tahun 2000-an. Istilah ini merujuk pada individu yang hanya mengonsumsi pangan lokal, yaitu bahan makanan yang dihasilkan oleh petani di radius sekitar 120 km. Fenomena ini bermula dari kebiasaan ibu-ibu jetset di California yang rutin berkumpul untuk makan siang atau malam di restoran-restoran mewah dan mahal.
Dalam pertemuan tersebut, mereka kerap membahas bahwa menu yang disajikan sebagian besar berbahan impor dengan kualitas terbaik—daging sapi Wagyu dari Kobe, Jepang; salmon dari Norwegia; kaviar dari Rusia; hingga wine dari Prancis.
Namun, suatu ketika, mereka tersentak dan tersadar bahwa gaya hidup mereka tidak benar. Mereka mulai memahami bahwa kebiasaan tersebut merusak lingkungan, berkontribusi pada pemanasan global, memboroskan energi, serta tidak menghargai petani lokal. Rasa bersalah ini akhirnya melahirkan kesadaran baru: mereka memutuskan hanya akan mengonsumsi pangan lokal.
Dari sinilah istilah “locavora” muncul, mengambil inspirasi dari istilah seperti omnivora, karnivora, dan herbivora yang lazim digunakan di dunia biologi dan pertanian.
Ketika kita menghadapi ancaman krisis global di tahun-tahun mendatang, pemikiran seperti ini menjadi sangat relevan. Krisis pangan akan semakin nyata, sehingga pendekatan manajemen pangan menjadi sangat penting dan krusial. Tingginya impor pangan Indonesia menyumbang signifikan terhadap defisit neraca keuangan (current account deficit).
Sebagai rakyat Indonesia, kita perlu ikut mengantisipasi hal ini. Kita harus berhemat, salah satunya dengan mengurangi, bahkan menghentikan impor pangan. Upaya ini memang sudah dilakukan pemerintah, tetapi tidak cukup jika hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakat juga sangat dibutuhkan.
Maka, gerakan seperti “locavora Indonesia” atau “Indonesian Locavore Society” bisa menjadi inisiatif penting untuk menanamkan nilai-nilai baru. Salah satunya adalah pandangan bahwa mengonsumsi produk impor adalah sesuatu yang tidak membanggakan, sedangkan makan pangan lokal adalah tindakan yang keren dan kekinian. Menurut saya, gerakan semacam ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam menjaga kemandirian bangsa Indonesia.
Keberhasilan gerakan ini membutuhkan dukungan dari tokoh bangsa dan idola masyarakat. Jika gagasan ini dipelopori oleh warga berbasis Sumatra Barat, khususnya anak muda Minangkabau yang memiliki tradisi merantau, saya yakin gaungnya akan sangat besar. Ini adalah contoh kecil dari upaya yang dapat memberikan dampak besar dalam membantu perekonomian negara.
Renungan subuh,
Gunung Pangilun, awal 2025