Golput merupakan istilah yang tidak asing dan sering muncul Ketika mendekati hari ataupun bulan Ketika pemilihan umum. Golput adalah singkatan dari "golongan putih" yang merujuk pada orang-orang yang tidak memilih pada pemilu. Golput merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dianalisis dari sudut pandang politik. Istilah golput naik daun ketika menjelang Pemilu pada tanggal 3 juni 1971 yang merupakan pemilu pertama pada Orde Baru. Sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta Karena pada saat itu mereka merasa tidak ada politikus yang dapat menerima dan mendukung aspirasi mereka.
Badan Pusat Statistik mencatat Tingkat golput pada pemilihan presiden 2004 adalah 21,80 persen pada putaran pertama dan 23,40 persen pada putaran kedua. Sedangkan pada pemilihan presiden 2009, tingkat golput naik lagi menjadi 28,30 persen dan kembali meningkat menjadi 30,0 persen pada pemilihan presiden 2014. Angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya sejak 2004. jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak sekitar 18,02 persen.
Pada pemilu 2024 mendatang Mayoritas pemilih yang adalah pemuda. Data KPU menunjukkan bahwa 56,4 persen dari pemilih muda dapat mengambil bagian, yang sudah melebihi setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sayangnya, sebanyak 11,8 persen peserta memilih untuk tidak menjawab atau golput, menurut survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International (CSIS).
Pesta demokrasi kita akan kembali digelar pada Februari 2024 mendatang. Sejak Oktober 2023 telah ditetapkan tiga pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti kontestasi. Pemilih muda menjadi fokus semua pihak terutama di pemilu 2024 hal itu disebabkan pemilih muda diprediksi akan mendominasi jumlah suara pemilih di pemilu 2024 mendatang. Anggota Komisi Pemilihan Umum Agus Melas mengatakan komposisi pemilih dalam pemilu 2024 akan didominasi kelompok usia muda jumlah kelompok ini disebut hampir mencapai 60%.
Dalam konteks pemilu, basis pemilih muda adalah WNI yang memiliki hak untuk memilih dan usianya tidak melebihi 40 tahun. Dengan kata lain, kisaran usia pemilih muda adalah antara 17-40 tahun. Pemilih muda atau biasa disebut dengan Generasi Y dan Z, tidak hanya harus memilih, tetapi juga harus aktif mencari informasi tentang kandidat dan tahapan pemilu. Oleh Generasi ini, yang sebagian besar telah memiliki hak mereka untuk memilih, akan sangat berpengaruh pada proses demokrasi dalam pemilu berikutnya.
Salah satu pilar demokrasi adalah pemilihan umum, yang memungkinkan pemilih muda memiliki kedaulatan untuk memilih pemerintah dan lembaga perwakilan politik yang dapat dipercaya oleh rakyat. Untuk itu, pemilihan harus dilakukan secara jujur, adil, bebas, dan demokratis. Ini adalah bagian dari proses memperkuat demokrasi dan mewujudkan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, demokratisasi harus dilakukan dengan baik, diawasi, dan terlembagakan.
Dalam konteks pemilu, pemilih muda menghadapi dilema antara antara antusiasme dan apatisme politik. Pada satu sisi, mereka sangat tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Pemilu, terutama melalui media sosial. Namun, antusiasme tersebut belum tentu sebanding dengan perilaku apatisme, karena banyak pemilih pemula, termasuk mahasiswa, memilih untuk tidak memilih, atau Golput.
Ada berbagai alasan pemilih muda memilih untuk golput yang diliput oleh CNN Indonesia, yaitu :
"Saya memilih untuk Golput alasannya dari segi pencalonan saja ada ambang batas 20% yang menghalangi potensi orang-orang yang sebenarnya bisa maju tapi terhalang oleh threshold tersebut lalu dalam prosesnya tentu untuk mencapai 20% partai-partai harus beberapa bahkan kawin paksa mengorbankan Ideologi dan idealisme mereka sehingga menurut saya oligarki nanti yang menang" ujar alfi sebagai seorang mahasiswa.
Berbeda dengan Alfi, Ratri mengaku ia menjadi golput sejak beberapa pemilu yang lewat. Ia terlanjur kecewa pada sistem politik Indonesia yang carut-marut. Saya merasa rakyat enggak dikasih pilihan yang cukup untuk memilih. Terlebih, ia juga sudah muak menanggapi ajakan untuk memilih kandidat yang kurang buruk. "Saya enggak mau melakukan 'vote for the lesser evil' (memilih yang kurang buruk di antara yang buruk). Itu yang selalu kita lakukan, vote for the lesser evil."
Dengan demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus meningkatkan literasi politik dengan memberikan pendidikan pemilih kepada pemilih muda agar menjadi pemilih cerdas untuk mencegah politisasi terhadap pemilih muda, maraknya politik uang, dan ketidaktahuan tentang teknik penandaan atau pencoblosan.
Pemilih cerdas adalah pemilih yang lebih mengutamakan rasionalitas saat memilih. Untuk memastikan bahwa kehadiran pemilih muda di TPS tidak sia-sia, pemilih harus dididik tentang teknik dan pemahaman pencoblosan yang sah. Selain itu, partai politik dan Bawaslu tidak boleh berdiam diri untuk menjaga nasib jutaan pemilih muda. Untuk itu, Bawaslu harus mendorong dan memastikan KPU dan Kemendagri melakukan tindakan tegas, baik secara aturan maupun dalam pelaksanaannya. Semua partai politik harus berpartisipasi dalam menyebarkan hal ini kepada anggota dan konstituen mereka. Ini harus dilakukan untuk memberi pemilih muda pemahaman tentang hak dan kewajibannya pada Pemilu 2024.
*Penulis: Faika Amina Shakira (Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)