Fenomena Bunuh Diri Sebagai Isu Sosial Beserta Motif Tindakan dalam Pandangan Emile Durkheim

Fenomena Bunuh Diri Sebagai Isu Sosial Beserta Motif Tindakan dalam Pandangan Emile Durkheim

Zaky Satria. (Foto: Dok. Pribadi)

Dewasa ini, tindakan bunuh diri kerap terjadi terkhususnya pada kalangan generasi muda di Indonesia. Adapun ragam motif dari tindakan tersebut, beberapa diantaranya disebabkan oleh stress dan depresi yang terjadi akibat tekanan sosial serta pengendalian emosi yang dirasa belum sepenuhnya baik.

Fenomena bunuh diri merupakan isu serius bagi Indonesia yang membutuhkan perhatian dan penanggulangan lebih lanjut. Jumlah kasus bunuh diri meningkat setiap tahun, menurut data dari Kepolisian Negara (Polri), jumlah kasus bunuh diri meningkat secara signifikan setiap tahun, dengan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah kasus bunuh diri terbanyak.

Bunuh diri adalah saat seseorang melakukan tindakan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, para peneliti mendapatkan persoalan tentang ‘Apa yang membuat seseorang melakukan bunuh diri total?’ Seorang sosiolog Emile Durkheim percaya bahwa ketika ikatan sosial antara orang-orang dalam suatu masyarakat terlalu kuat atau terlalu lemah, maka akan menimbulkan tindakan bunuh diri di antara anggota masyarakat tersebut.

Berbagai faktor menjadi penyebab bunuh diri, beberapa diantaranya seperti kurangnya interaksi sosial, masalah kesehatan mental dan perilaku impulsif. Dalam pengklasifikasiannya, tindakan bunuh diri termasuk sebagai fakta sosial. Menurut Durkheim, hanya fakta sosial yang bisa menjelaskan mengapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dari yang lain. Setiap individu mungkin memiliki berbagai alasan atas tindakan bunuh diri, namun itu bukanlah alasan sebenar-benarnya.

Di dalam buku yang ditulis oleh Durkheim yang berjudul suicide, terdapat empat pembagian klasifikasi bunuh diri. Pertama bunuh diri egoistic, kedua bunuh diri altruistik, ketiga bunuh diri anomik dan yang keempat adalah bunuh diri fatalistik. Berikut klasifikasi beserta penjelasannya.

  • Bunuh Diri Egoistic

Bunuh diri egoistic merupakan tindakan bunuh diri yang diakibatkan menurunnya integrasi yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam konteks sosial, selayaknya seorang individu menjalin interaksi dengan sesamanya, karena manusia adalah makhluk sosial yang berketergantungan satu sama lain.

Ketika manusia bersikap egois dan menutup diri dari lingkungannya, lalu dihadapi dengan suatu persoalan yang dimana tidak seorangpun dapat menolong, maka akan menimbulkan kekecewaan, perasaan kesepian dan merasa tidak memiliki siapa-siapa. Hal inilah, yang menimbulkan stress, kecemasan dan depresi.

Hal ini melibatkan perasaan sepenuhnya, faktor internal dalam diri yang menjadikan alasan seseorang mengakhiri menghancurkan dirinya sendiri. Contohnya seperti seseorang yang memiliki banyak harta kekayaan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, lantaran orang-orang disekitarnya hanya memanfaatkan hartanya, maka terjadilah kekecewaan yang berasal dari dalam dirinya.

  • Bunuh Diri Altruistik

Jenis bunuh diri ini adalah kebalikan dari egoistic, bunuh diri altruistik ini terjadi karena saking dekatnya hubungan seseorang dengan masyarakat. Hal ini terjadi karena integrasi sosial yang sangat besar, seseorang terpaksa melakukan bunuh diri untuk orang lain. Hal ini terjadi karena seseorang tidak memikirkan dirinya sendiri dan lebih mementingkan orang lain.

Pada zaman dahulu, tindakan bunuh diri semacam ini dilakukan oleh masyarakat yang secara bersama-sama mengakhiri kehidupannya karena kehilangan pemimpin atau kepala suku mereka, terdapat pula seorang perempuan mengakhiri kehidupannya ketika suaminya meninggal dunia.

Dalam kebudayaan Jepang kita mengenal istilah Harakiri, hal ini tentunya termasuk ke dalam jenis altruistik karena masyarakat Jepang memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan bunuh diri atas konsekuensi yang harus mereka hadapi, penyebab hal ini terjadi karena mereka bergantung pada sebuah keyakinan yang mereka percayai.

Maka dalam kasus bunuh diri altruistik ini, seseorang tidak melakukan tindakan bunuh diri atas dirinya sendiri, melainkan karena orang lain, tugas maupun kewajiban. Saat seseorang gagal dalam melakukan suatu hal, maka dia memandang bahwa dia telah gagal dan merupakan aib serta memilih mengakhiri hidup ketimbang mengingat malu seumur hidupnya.

  • Bunuh Diri Anomic

Bunuh diri anomic ini merupakan tindakan bunuh diri yang diakibatkan oleh rendahnya regulasi atau peraturan. Dalam tatanan masyarakat aturan-aturan diselenggarakan untuk mengontrol perilaku dan tindakan dari masyarakat tersebut. Ketika nilai-nilai atau norma sudah tidak lagi diindahkan dan hilangnya kontrol sosial, maka masyarakat akan melakukan tindakan-tindakan yang di luar batas normal.

Manusia akan kehilangan kontrol atas dirinya, merasa tidak pernah puas dan ingin melakukan segala hal. Berkeliaran mencari kesenangan yang tidak ada ujungnya serta tidak adanya pegangan hidup. Dapat pula dikatakan, bahwa hal ini terkait dengan keadaan saat seseorang kehilangan cita-cita, tujuan hidup dan norma dalam hidupnya.

Jenis bunuh diri ini anomic ini mencerminkan kebingungan moral dan pergolakan sosial yang menyebabkan rusaknya keteraturan, menurut Durkheim hal ini dapat terjadi oleh seluruh masyarakat saat terjadinya perubahan sosial, politik, hukum dan budaya secara revolusioner.

  • Bunuh Diri Fatalistis

Bunuh diri fatalistis ini terjadi karena regulasi yang meningkat dan terlalu kuat. Durkheim menganggap bahwa meningkatnya suatu regulasi akan menyebabkan masyarakat merasa ditindas. Contohnya adalah perbudakkan, seorang budak yang berada pada posisi melankolis menganggap dirinya senantiasa ditindas setiap hari dan kehidupannya tidak memiliki perubahan seiring waktu berjalan, mereka tidak dapat berubah karena adanya ikatan. Maka, budak tersebut akan melakukan tindakan bunuh diri fatalistis. Contoh lain adalah tahanan penjara yang tidak akan mungkin bisa keluar ataupun kabur.

Tindakan bunuh diri merupakan masalah serius di Indonesia, khusunya di

kalangan generasi muda, dan perlu sekali perhatian dan intervensi lebih lanjut. Faktor-faktor seperti tekanan sosial, kontrol emosi dan masalah kesehatan mental berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah kasus bunuh diri. Klasifikasi bunuh diri menurut Emile Durkheim ke dalam kategori egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik memberikan wawasan tentang berbagai motivasi di balik tindakan tersebut.

Mengakhiri hidup bukanlah solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi, perlu bagi kita untuk meningkatkan rasa kedekatan antar sesama manusia untuk membangun ruang kedekatan interaksi sosial, kontrol atas emosi dan merevisi serta menelaah regulasi yang sudah tercipta untuk kita masyarakat Indonesia. Saling peka dan bahu membahu untuk kehidupan yang layak bagi semua manusia.

*Penulis: Zaky Satria (Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Urgensi Berpikir Kefilsafatan dalam Pengembangan Keilmuan di Indonesia
Urgensi Berpikir Kefilsafatan dalam Pengembangan Keilmuan di Indonesia
Wartawan Amplop: Ketika Uang Mengaburkan Fakta
Wartawan Amplop: Ketika Uang Mengaburkan Fakta
Etika Jurnalistik di Persimpangan: Perjuangan Melawan Wartawan Amplop
Etika Jurnalistik di Persimpangan: Perjuangan Melawan Wartawan Amplop
Ketika Hak Tolak Menjadi Pertahanan Utama untuk Jurnalisme Independen
Ketika Hak Tolak Menjadi Pertahanan Utama untuk Jurnalisme Independen
Seberapa Jauh Hak Tolak Bisa Melindungi Wartawan dari Ancaman?
Seberapa Jauh Hak Tolak Bisa Melindungi Wartawan dari Ancaman?
Marriage Is Scary: Memahami Ketakutan Akan Pernikahan dan Bagaimana Cara Mengatasinya
Marriage Is Scary: Memahami Ketakutan Akan Pernikahan dan Bagaimana Cara Mengatasinya