Dalam beberapa waktu terakhir, beredar potongan humor segar dari seorang komika di TikTok yang menyampaikan joke tentang sulitnya orang Minang menjadi pembalap. Bukan karena tidak berani atau kurang keterampilan, tapi karena tiap kali bertemu tikungan, justru berhenti. Bukan pula karena rem blong, tapi karena bisikan hati mengatakan: “Ha... ini cocok untuk manggaleh!”
Begitu juga ketika bermain bola. Tim bola Minang, kata si komika, sulit juara karena pemainnya lebih fokus menatap penonton di tribun ketimbang bola. Dalam benaknya terlintas ide: “Wah, ini saat yang pas untuk jualan aqua, ndeh. Lapuak-lapak jua bali pajatu.”
Humor ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengecilkan karakter Minangkabau. Sebaliknya, ini adalah cermin yang jujur dan lucu, sekaligus sarat makna, tentang watak kultural orang Minang yang sangat kuat dalam membaca ruang, momentum, dan peluang ekonomi. Sebuah “etos tikungan” yang mencerminkan kecerdasan spasial dan naluri dagang yang mengakar.
Dalam pandangan Max Weber (1905), etika kerja dan orientasi ekonomi suatu masyarakat sering kali tidak hanya ditentukan oleh sistem ekonomi formal, tetapi juga oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalamnya. Jika masyarakat Protestan Eropa menghasilkan etika kerja rasional dan terstruktur, maka orang Minang mewarisi etos dagang yang luwes, adaptif, dan berbasis pada “bacaan lokal” terhadap keadaan sekitar.
Tidak mengherankan bila orang Minang memaknai segala ruang sebagai potensi. Bahkan, jalan raya sekalipun. Fenomena pengguna jalan yang berkendara perlahan, kadang tampak “berleha-leha” di tikungan, bukan semata perkara etika lalu lintas, tetapi bisa dibaca sebagai ekspresi budaya: jalan sebagai “pusako tinggi” yang sedang dipatut-patut, dicium, diendus, untuk membaca arah usaha. Tak sedikit warung atau kedai muncul “mencium bibir jalan”—tanpa pagar atau batas—sebagai hasil dari proses appraisal alami terhadap alur kendaraan dan keramaian.
Kemampuan ini bersumber dari dua kata kunci dalam pepatah Minang: nak kayo kuek mancari, nak cadiak rajin baguru. Kata “kuek” (kuat) dan “rajin” menyiratkan sebuah etos proses. Orang Minang percaya bahwa kekayaan dan kecerdasan bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tapi hasil dari daya tahan dan ketekunan dalam proses membaca, menimbang, dan bergerak.
Dalam hal ini, Clifford Geertz (1973) menyebutnya sebagai bagian dari “cultural system” yang memuat simbol-simbol makna yang diturunkan dan dimaknai secara kolektif. Etos ekonomi tikungan bukan sekadar lelucon, melainkan ekspresi dari sistem simbolis yang berakar dalam pengalaman merantau, berdagang, dan mengelola peluang secara otonom.
Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed juga menekankan pentingnya kesadaran kritis terhadap lingkungan. Dalam konteks Minangkabau, bisa dikatakan bahwa orang Minang telah mengembangkan bentuk kesadaran kritis yang khas: bukan dalam bentuk revolusi sosial, tetapi dalam bentuk kelincahan ekonomi, melalui pengamatan yang tajam terhadap potensi ruang dan waktu.
Fenomena ini tentu bukan tanpa paradoks. Di satu sisi, orang Minang dikenal egaliter, demokratis, dan rasional dalam tata hidup adat. Namun dalam dunia praktik ekonomi, seringkali etos ini tampil dalam bentuk improvisasi yang tak selalu sistematis. Ada daya kreasi tinggi, tapi kadang tidak terstruktur secara jangka panjang.
Lantas, apakah tokoh besar seperti Mohammad Hatta, Buya Hamka, atau Tan Malaka lahir dari etos ini? Hatta, dengan pemikiran ekonominya yang terukur dan sistematik, jelas tampil dalam ranah yang berbeda dari pedagang kaki lima. Namun bukan berarti ia jauh dari watak budaya Minang. Justru karena ia dibentuk dalam tradisi berpikir yang menghargai proses, disiplin, dan ruang dialog, maka ia mampu mengartikulasikan etos Minang dalam kerangka modernisme yang visioner.
Hatta tidak menjual aqua di tribun bola, tetapi ia membaca medan ekonomi nasional dan menyadari bahwa koperasi—lembaga ekonomi berbasis gotong-royong—adalah “tikungan sejarah” yang bisa dipakai untuk melawan dominasi kapitalis. Begitu pula Tan Malaka yang membaca “momentum revolusi” dengan kejelian seorang pemikir jalanan yang pernah mencicipi dunia pendidikan kolonial dan kehidupan buruh di luar negeri.
Dengan kata lain, kemampuan membaca ruang dan momentum—yang dalam humor tadi digambarkan secara ringan—juga muncul dalam ekspresi yang lebih besar dan kompleks dalam diri para pemimpin Minangkabau. Mereka tidak selalu menjelma dalam bentuk pedagang pasar, tapi tetap menunjukkan etos membaca ruang dan mencipta makna.
Jadi, humor tentang pembalap Minang yang berhenti di tikungan, atau pemain bola yang lebih fokus pada peluang jualan ketimbang gol, adalah tafsir cerdas terhadap budaya membaca peluang dalam ruang sempit. Tikungan menjadi metafora tentang cara berpikir: melihat celah di antara batas, bergerak di sela-sela aturan, dan mencipta dalam keterbatasan.
Maka jalan raya, tribun stadion, bahkan lampu merah pun, bisa menjadi ruang kontemplasi ekonomi. Di situlah peran budaya bekerja secara diam-diam, membentuk perilaku yang tampak acak, tapi punya pola batin yang dalam.
Dalam dunia yang semakin rasional dan sistematis, warisan ini bisa jadi terlihat usang atau bahkan mengganggu. Namun dalam pandangan kebudayaan, ia tetap punya nilai penting: sebagai penanda bahwa ekonomi tidak selalu soal angka dan grafik, tetapi juga soal naluri, tafsir, dan keberanian membaca tikungan.
Penulis: Muhammad Nasir adalah Pengajar Kebudayaan Minangkabau di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol Padang