Empirisme: Diskursus hingga Dilemanya

Filsafat sebagai sebuah studi dalam menemukan kebijaksanaan turut juga andil dalam menemukan kebenaran. Kebenaran yang erat dalam kehidupan

Iqbal Rizkyka. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Iqbal Rizkyka

Filsafat sebagai sebuah studi dalam menemukan kebijaksanaan turut juga andil dalam menemukan kebenaran. Kebenaran yang erat dalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah pencarian. Tentunya, diskursus menentukan kebenaran ini kerap membuat kita cendrung Confirmation Bias. Karena kebenaran yang kita tentukan sudah berdasarkan konstruksi sosial.

Pada mulanya dalam peralihan dari abad pertengahan, kembali mempelajari peradaban Yunani klasik begitu gencar. Sehingga tentu saja dalam kurun beberapa tahun, lahir sebuah aliran pemikiran yang menekankan pada aspek Akal (rasionalitas).

Karena hal ini tidak terlepas dari sebelumnya dominasi dogmatisme dari kaum teolog di Abad pertengahan tersebut. Tokoh utama pencetus aliran ini yakni Rene Descartes dengan adagium terkenalnya Cogito Ergo Sum (Saya ragu, maka saya ada).

Lantas aliran ini bukan serta merta tidak tertandingi. Hingga beberapa tahun kemudaian, meski tetap dalam kurun abad XVII tercetus aliran penanding yakni Empirisme. Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yakni Empeirikos yang berarti pengalaman. Yang mana secara Istilah Empirisme menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman yang bersifat Indrawi.

Hal ini bertolak belakang dengan kaum rasionalisme yang menyatakan bahwa kebenaran diperoleh melalui penalaran rasional yang abstrak serta berdasarkan kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Bagi kaum empirisme pengetahuan diperoleh melalui pengalaman yang konkret.

Pun menurut paham empirisme gejala alam itu bersifat konkret dan dapat ditangkap dengan pancaindra manusia. Melalui pancaindra manusia berhasil menghimpun banyak pengetahuan. Seperti halnya suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang (memuai), suatu benda yang dilemparkan ke atas pasti akan jatuh kebawah, dan masih banyak lagi.

Pada dasarnya penganut Empirisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan penalaran induktif yang terlebih dahulu dirumuskan oleh Francis Bacon (1561-1626). Penalaran induktif artinya cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum atas gejala-gejala yang bersifat khusus.

Sehingga demikian, peraihan melalui pengetahuan indrawi bersifat parsial disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lain. Sehingga pengetahuan indrawi berada menurut perbedaan indra dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.

Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti, bagaimana orang bisa mengetahui api itu panas? Jawabannya, karena "saya merasakan hal itu atau seorang ilmuwan telah merasakan seperti itu!"

Secara garis besar ada dua ciri penting empirisme yang dapat dilihat dari teori makna dan teori pengetahuan. Teori makna disimpulkan dalam rumus "nihil est in intellectu quod non priyus puerit insern" (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman).

Teori ini biasanya dinyatakan sebagai teori asal-usul idea atau konsep. Teori John Lock (1632-1704) yang dimuat dalam bukunya yang berjudul An Essay Concering Human Understanding ini muncul saat lock menentang ajaran ide bawaan yang dilansir kaum rasionalis.

Adapun pada teori pengetahuan menyebutkan bahwa bagi kalangan rasionalis terdapat beberapa kebenaran umum seperti "setiap kejadian mempunyai sebab, dasar-dasar matematika, prinsip-prinsip etika dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori, dan diperoleh melalui intuisi rasional. Di sini kalangan empiris menolak pendapat tersebut dan menyangkalnya bahwa semua kebenaran diperoleh melalui observasi dan itulah kebenaran a posteriori.

Dalam buku yang berjudul "Persoalan-Persoalan Filsafat" Harold Titus dan kawan-kawan bentuk empirisme dalam dua kategori, yaitu bentuk sensasionalisme yang sempit, yang mengatakan bahwa pengetahuan itu adalah rasa (sensation). Pandangan ini dianut oleh John Locke, David Hume, serta Herbert Spencer.

Adapun bentuk lainnya yakni bentuk pragmatisme, suatu bentuk empirisme radikal dimana akal sebagai sesuatu yang aktif dalam memilih dan mencetak pengalamannya mengikuti kepentingan. Ini berarti empirisme pragmatisme yang diusung William James ini lebih menekankan kepada dunia pengalaman yang berubah.

Dengan pengalaman inilah, kaum empiris kemudian memunculkan pengetahuan yang cakupannya lebih luas dan bersifat umum yang disebut dengan induksi. Sehingga demikian Naguib al-Attas memberi ruang bagi penalaran induksi agar tidak hanya mengandalkan indra lahir yang dihasilkan pancaindra, akan tetapi juga melibatkan indra batin, yaitu common sense, representasi, estimasi, ingatan, pengingatan kembali, serta imajinasi.

  1. Common Sense (indra umum) merupakan salah satu indra batin yang berhubungan dengan panca indra lahir yang bertugas menerima data-data hasil persepsi kelima alat panca indra, lalu kemudian mengabstraksikan nya menjadi "rupa" (form) dari objek-objek lahiriah.
  2. Representasi bertugas menyimpan hasil abstraksi, sehingga tanpa representasi dimungkinkan data-data indra lahir itu cepat hilang.
  3. Estimasi, sebuah proses pemaknaan dari hasil representasi, dan pada tahap ini biasanya telah terbentuk opini.
  4. Ingatan dan pengingatan, bertugas menyimpan makna yang telah dipersepsi oleh estimasi.
  5. Imajinasi, merupakan perantara indra batin dengan fakultas rasional manusia, yaitu akal. Inilah bagian-bagian penting dalam proses psikologis-epistemologis.

Jadi, seperti yang kita lihat, dengan sekelumit permasalahan dari empirisme berupa induksi dapat memili celah sebagai penguat melalui lima rumusan yang ditawarkan oleh Naquib Al-Attas.

Penulis: Iqbal Rizkyka (Lembaga Pers Mahasiswa Al-Itqan, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Pernahkah anda merasa tidak aman saat berjalan sendirian, baik siang maupun malam? Atau pernah menyaksikan tindakan pelecehan seksual?
Membongkar Stigma dan Kesenjangan Hukum dalam Kasus Pelecehan Seksual
Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi
Integrasi Nilai Kepemimpinan dalam Islam dan Dinamika Medsos Hari Ini
Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan
Resistensi Perpajakan: Relevansi Sejarah dan Implikasinya pada Kebijakan Pajak Modern
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal dengan singkatan H.O.S Tjokroaminoto merupakan seorang tokoh yang lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882.
Warisan Intelektual H.O.S. Tjokroaminoto: Guru Para Tokoh Bangsa
Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada
Dekonstruksi Islam Identitas: Refleksi atas Praktik Keagamaan Kontemporer