Dalam beberapa pekan terakhir, publik Indonesia dikejutkan oleh kabar yang menyayat nalar: sebuah pulau kecil nan cantik di kawasan Raja Ampat—ikon pariwisata dunia dan surga biodiversitas laut—ternyata telah dikapling untuk penambangan nikel. Tanahnya yang subur digusur, vegetasinya dilucuti, dan lanskap ekologisnya dibongkar demi logam yang disebut-sebut sebagai “mineral masa depan.”
Pulau-pulau kecil seperti yang ada di Raja Ampat seolah menjadi halaman belakang yang bebas dieksploitasi atas nama pembangunan dan hilirisasi. Padahal, keberadaan pulau kecil bukan hanya soal daratan sempit yang menyembul di tengah laut. Ia adalah ruang hidup bagi masyarakat lokal, habitat unik bagi spesies endemik, dan penyangga ekologis yang sangat rentan terhadap perubahan.
Nikel boleh jadi adalah komoditas strategis global. Tapi jangan sampai Indonesia kembali mengulang sejarah lama: menjadi penyedia bahan mentah dunia sambil menyisakan jejak kerusakan ekologis di rumah sendiri. Pulau kecil bukan tempat buangan investasi, melainkan garda terdepan untuk menjaga keberlanjutan Indonesia sebagai negara kepulauan
Hilirisasi yang tak ramah ekologi
Pemerintah Indonesia memang tengah giat mendorong hilirisasi tambang, terutama nikel, untuk mendukung industri baterai kendaraan listrik dunia. Namun, kebijakan ini seringkali dibingkai secara sempit sebagai peluang ekonomi semata, tanpa pertimbangan ekologis yang memadai.
Penambangan nikel di pulau kecil bukan sekadar aktivitas industri—ia adalah transformasi drastis atas ruang yang sensitif. Dalam banyak kasus, reklamasi tidak terjadi, limbah tambang mencemari laut, dan kawasan konservasi yang sebelumnya steril dari kegiatan industri kini dipertaruhkan atas nama investasi.
Studi-studi menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil memiliki daya dukung lingkungan yang sangat terbatas. Sekali diganggu, sistem ekologisnya bisa rusak permanen. Di Raja Ampat, misalnya, penambangan bukan hanya merusak vegetasi daratan, tetapi juga memperbesar risiko sedimentasi ke terumbu karang, mengancam populasi ikan, dan berdampak langsung terhadap mata pencaharian nelayan tradisional.
Konflik kepentingan di wilayah rentan
Pulau kecil sering berada dalam bayang-bayang kekuasaan yang timpang. Perizinan tambang diberikan dari pusat atau provinsi, sementara masyarakat lokal tak pernah benar-benar diajak bicara. Ketika perusahaan masuk dengan alat berat dan pengawalan aparat, masyarakat dihadapkan pada dilema: tunduk atau tergusur.
Konflik sosial pun tak terelakkan. Di banyak wilayah kepulauan Maluku, Sulawesi, hingga Papua Barat, ekspansi tambang nikel disertai protes warga, kriminalisasi aktivis lingkungan, dan pembelahan sosial di tingkat komunitas. Hal yang tampak sebagai “pembangunan” dari kaca mata elit, sering kali berarti perampasan ruang hidup dari perspektif masyarakat lokal.
Pulau kecil dan ancaman krisis iklim
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rawan terhadap dampak perubahan iklim. Ironisnya, justru pulau-pulau kecil kita dijadikan lokasi eksploitasi industri yang memperparah krisis tersebut. Penambangan nikel bukan hanya membuka lahan dan merusak hutan tropis, tetapi juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca, pencemaran air, serta kehilangan keanekaragaman hayati.
Alih-alih menjadi bagian dari solusi iklim melalui transisi energi, pengelolaan nikel Indonesia justru bisa menjadi bumerang ekologis jika tidak dikelola secara bijak dan partisipatif. Apalagi, sebagian besar hasil tambang kita masih dikirim ke luar negeri dalam bentuk bahan mentah atau setengah jadi, tanpa kendali penuh atas rantai nilai industrinya.
Menuju tata kelola berbasis keadilan ekologis
Kisah pulau di Raja Ampat adalah alarm keras bagi pemerintah dan publik. Kita butuh tata kelola nikel yang berbasis keadilan ekologis, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. Perlu adanya moratorium tambang di pulau-pulau kecil, audit lingkungan yang menyeluruh terhadap izin-izin tambang yang sudah dikeluarkan, serta mekanisme partisipasi publik yang kuat dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Pembangunan seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan ruang hidup masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Jika ekspansi tambang terus dilakukan di pulau-pulau kecil tanpa kendali, maka yang kita wariskan kepada generasi mendatang bukanlah kemakmuran, melainkan kehancuran ekosistem dan kehilangan identitas kepulauan kita sendiri.
*Penulis: Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Dosen dan Guru Besar di Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)