Langgam.id - Sepanjang tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Sumatra Barat (Sumbar) mengalami perlambatan dengan angka pertumbuhan hanya 5,05 persen. Angka tersebut tercatat sebagai pertumbuhan paling rendah dalam 5 tahun terakhir.
Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), Hefrizal Handra, mengatakan perlambatan ekonomi Sumbar ini sudah pernah diprediksi sebelumnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi sudah lambat sejak tahun 2016 dan stagnan di level 5.
"Tahun lalu sudah di bawah rata-rata nasional. Jadi Sumbar biasanya memang mengikuti nasional, kalau nasional naik, dia naik. Kalau nasional turun, dia juga turun," katanya, Senin (10/2/2020).
Namun, saat ini yang menjadi masalah adalah turunnya pertumbuhan perekonomian Sumbar justru di bawah pertumbuhan perekonomian nasional. Penyebab utamanya adalah karena tidak adanya investasi yang signifikan sejak tahun 2016, sehingga tidak menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Penyebab lainnya karena turunnya harga komoditi. Sumbar merupakan daerah yang sangat bergantung dengan harga komoditi seperti sawit dan karet, sehingga juga tidak membuat ekonomi Sumbar naik.
"Ketika harga minyak bumi turun, harga komoditi juga turun, tidak mengalami kenaikan sampai sekarang, stagnan di tingkat rendah," katanya.
Selain itu, sektor industri di Sumbar juga stagnan dan tidak mengalami pergerakan. Begitu juga dengan sektor pariwisata yang tidak mengalami kenaikan. Kondisi ini terjadi sejak sekitar tahun 2016 lalu hingga saat ini.
"Tidak ada investasi signifikan yang bisa diharapkan. Makanya tidak heran pertumbuhan ekonomi Sumbar itu mengalami stagnasi di level yang relatif rendah," katanya.
Menurutnya, investasi bisa saja dilakukan dalam sektor pariwisata, namun yang lebih penting adalah sektor hilirisasi industri seperti di perkebunan. Misalnya, dalam bidang sawit tidak hanya sampai CPO, tetapi menjadi minyak goreng atau biofuel.
"Itu kan tidak di Sumbar terjadi, tapi daerah lain. Ada juga sektor karet kan belum ada sampai membuat ban," katanya.
Hilirisasi lebih banyak dilakukan di pulau Jawa. Padahal, bisa dilakukan pulau Sumatra termasuk Sumbar. Bahan baku juga banyak di Sumbar. Hal itu dapat dilakukan dilakukan dengan bersinergi bersama daerah lain.
"Sumatra kan rendah pertumbuhannya, Sumbar juga termasuk di situ. Jadi penciptaan nilai tambah itu tidak terjadi di Sumatra, hilirisasi malah di Jawa," katanya.
Sumbar tidak bisa sendiri meningkatkan perekonomian. Namun harus bersinergi dengan daerah lain, seperti membentuk forum bersama. Semuanya bisa bersinergi untuk mengembangkan hilirisasi dari hasil alam Sumatra.
"Jadi harus bergabung strateginya, harus mengintegrasikan ekonomi Sumatra, kita kan kecil, tidak besar, tidak bisa sendiran," katanya.
Untuk menggabungkan semua daerah agar memajukan ekonomi, perlu juga ditunjang insfrastruktur memadai. Kerjasama dengan daerah lain juga dapat membicarakan soal sumberdaya manusianya.
"Kalau mau sendiri kita harus fokus ke jasa. Seperti pariwisata, tapi nyatanya tidak juga, kita lihat kunjungan kan tidak meningkat," katanya.
Baca juga : Ekonomi Sumbar 2019 Hanya Tumbuh 5,05 Persen, Terburuk dalam 5 Tahun Terakhir
Jika tidak menciptakan hilirisasi, maka nilai tambah akan terpusat di Jawa saja. Pengembangan sektor wisata juga akan didukung dengan pengembangan jasa seperti pariwisata.
"Jadi kalau wisatawan ke Sumbar nikmati rendang misalnya, dagingnya asli sini, tidak impor, industri daging jadi tumbuh, memang jasa itu juga penting," katanya. (Rahmadi/ICA)