Langgam.id - Lirik lagu Virgiawan Listanto yang terkenal dengan sebutan Iwan Fals itu, masih membekas pada banyak orang. Satu di antara puluhan lagunya yang sering dinyanyikan para mahasiswa saat kemping di pinggir hutan atau para pengamen di jalanan: Hatta.
Termuat dalam album Sarjana Muda yang dirilis pada 1981, Iwan memang membuat lagu itu untuk Bung Hatta. Dalam lagu tersebut, ia bernyanyi lirih kepada Tuhan, tentang dipanggilnya satu-satunya yang tersisa: proklamator tercinta.
Bung Hatta wafat satu tahun sebelumnya di awal malam. "Keluarga dan sanak saudara yang menjaga di samping tempat tidurnya berharap, seperti saat sakit sebelumnya, ia akan melewati masa kritis dan kembali sembuh. Namun, Kali ini berbeda. Pada 14 Maret 1980, Hatta berpulang," tulis Mavis Rose dalam Buku 'Indonesia Free, A Political Biography of Mohammad Hatta' (1987).
Hari wafat Bung Hatta tersebut, tepat 39 tahun yang lalu dari hari ini, Kamis (14/3/2019).
Menurut Rose, Hatta meninggalkan rumah untuk terakhir kalinya pada 3 Maret 1980 untuk perawatan medis di rumah sakit. Ketika kondisinya memburuk pada 13 Maret, ia dipindahkan ke unit perawatan intensif rumah sakit Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.
Namun, sehari kemudian sang proklamator yang tersisa, berpulang. Menyusul Bung Karno yang telah lebih dahulu pada 21 Juni 1970, dua hari setelah Bung Hatta yang membesuk, menggenggam erat tangannya.
Kebiasaan Bung Hatta yang teliti, rapi dan selau mencatat sampai pada detail, terlihat sampai saat beliau berpulang. Sebuah wasiat dengan tulisan tertanggal 10 Februari 1975 telah ia siapkan.
"Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya," tulis Si Bung.
Keluarga dan pemerintah mengikuti wasiat tersebut. Dengan diantar ribuan orang, Bung Hatta dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Tanah Kusir, di antara kuburan rakyat Indonesia, esok harinya.
"Di tengah ribuan rakyat yang datang berbondong-bondong, seorang pelayat tua mengatakan kepada wartawan: kejujuran Bung Hatta-lah yang membuat saya datang," tulis Rose .
Perdana Menteri India Indira Gandhi mengirim surat duka cita. "Beliau adalah salah satu perintis besar yang bersama ayah saya mengambil peran utama dalam perjuangan kemerdekaan negara mereka," tulis Gandhi sebagaimana dikutip Rose.
Kepada kami yang memiliki hak istimewa untuk mengenalnya, lanjut Gandhi, Dr Hatta adalah manusia yang hangat, sangat peduli dengan masalah yang dimiliki oleh negara Anda dan kami.
Nieuwe Rotterdamsche Caurant, sebuah surat kabar di Rotterdam pada 15 Maret 1980 menulis, bila ada orang yang mengatakan Hatta bukan seorang pemimpin, tapi ahli teori, ia bisa disebut naif.
Menurut koran di kota tempat 11 tahun Bung Hatta tinggal itu, tak ada yang orang Indonesia yang lebih dari Bung Hatta dalam menyelesaikan masalah transfer kedaulatan (antara Belanda dan Indonesia).
"Satu hal yang pasti, sama dengan banyak orang, saya merasakan kehilangan yang amat besar," kata Sejarawan Taufik Abdullah.
Dalam Buku 'Mohammad Hatta Memoir' (1979), Bung Hatta menyebutkan, ia dilahirkan di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902.
Hatta adalah anak Haji Muhammad Djamil yang meninggal dunia saat ia masih bayi. Ibu Bung Hatta, Siti Saleha. Kakeknya dari pihak ayah adalah Syekh Abdul Rahman Batuhampar, salah satu ulama yang disegani pada masa itu.
Hatta memulai pendidikan di Bukittinggi termasuk mengaji di surau. Pendidikan lanjutan, ia dapatkan di Padang dan kemudian di Batavia.
Pendidikan di Belanda yang ia tempuh sejak 1921 mencemplungkan dirinya lebih dalam ke pergerakan kemerdekaan Indonesia bersama banyak tokoh bangsa lainnya.
Ditangkap, diadili, serta keluar masuk penjara dan pembuangan dijalani Bung Hatta, sebelum merdeka. Menikahpun Hatta tak sempat. Baru setelah merdeka, ia menikah dengan Ibu Rachmi.
Melanjutkan perjuangan jadi wakil presiden dan perdana menteri selama 11 tahun, Bung Hatta mundur pada 1956 karena perbedaan pendapat dengan Bung Karno.
Sejak itu, Hatta jadi orang biasa. Tapi, pesonanya tak memudar. Ia tetaplah mutiara yang dicari. Selalu membagi ilmu dan terus ada di tengah masyarakat, persis seperti wasiat yang ia tulis.
Sehingga, ketika saat berpisah itu tiba, semua kehilangan. Jutaan orang menangis. Seperti dilantunkan Iwan Fals dalam lagunya:
Hujan air mata dari pelosok negeri/
Saat melepas engkau pergi/
Berjuta kepala tertunduk haru/
Terlintas nama seorang sahabat, yang tak lepas dari namamu. (HM)