Ketika Presiden Donald Trump memformulasikan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan pendekatan transaksional dan langsung, ia tidak pernah menyembunyikan siapa kawan dan siapa lawan. Di Timur Tengah, kebijakan itu melahirkan doktrin yang dianggap sederhana tetapi sangat efektif: tentukan kepentingan nasional secara jelas, dorong diplomasi ofensif, dan gunakan kekuatan militer jika perlu. Dalam krisis terbaru yang melibatkan Israel, Iran, dan AS, doktrin ini mendorong stabilitas jangka menengah. Tapi di balik narasi stabilitas itu, ada sebuah kenyataan yang lebih gelap—AS dan Israel bersatu bukan untuk perdamaian, tapi untuk satu visi bersama: ekspansi kolonialistik menuju terwujudnya Israel Raya.
Trump dan Stabilitas Buatan
Ketika Israel meluncurkan serangan terhadap situs nuklir Iran, Teheran membalas dengan rudal ke wilayah Israel dan pangkalan militer AS di Qatar. Trump merespons dengan menghancurkan tiga fasilitas nuklir Iran. Dua hari kemudian, ia mendeklarasikan gencatan senjata sepihak dan mengundang Iran untuk kembali berunding. Dunia menyebutnya zig-zag kebijakan. Tapi bagi Trump, itu strategi.
Inilah wajah Trump Doctrine seperti yang dijelaskan oleh J.D. Vance: pukul dengan cepat, tentukan tujuan terbatas, hindari konflik berkepanjangan (de Guzman, 2025). Sementara analis seperti Kroenig (2025) menyebutnya sebagai “eskalasi untuk de-eskalasi”, faktanya Trump menghindari perang penuh tapi mengunci jalur diplomatik di bawah syarat mutlak AS.
Diam-diam, Negara Teluk Ikut Menyokong
Yang lebih mencengangkan adalah dukungan diam-diam negara-negara Teluk—terutama Arab Saudi dan UEA—terhadap serangan AS ke fasilitas nuklir Iran. Meski secara publik mereka menyerukan de-eskalasi, komunikasi diplomatik menunjukkan bahwa mereka memberikan lampu hijau pada operasi militer terbatas asal Iran dilemahkan dan pengaruhnya di Lebanon, Irak, dan Yaman dikerdilkan.
Mengapa? Karena bagi banyak elite Teluk, Iran bukan hanya musuh ideologis, tetapi ancaman eksistensial atas dominasi Sunni di kawasan. Lebih ironis lagi, mereka bersedia menoleransi kekejaman Israel di Gaza dan genosida diam-diam yang sedang berlangsung, selama Israel dan AS bersedia menjadi benteng terhadap ekspansi Iran.
Israel Raya: Tujuan Bersama AS dan Israel
Trump menyatakan dukungan tak terbatas kepada Israel. Bagi banyak analis, ini bukan sekadar kebijakan pro-Israel biasa. Ini strategi memperluas hegemoni AS–Israel melalui pembentukan realitas geopolitik baru: pemusnahan Palestina, normalisasi dengan negara Arab, dan aneksasi diam-diam atas wilayah Tepi Barat hingga terbentuknya Greater Israel.
Israel Raya bukanlah mitos ekstrem kanan Israel semata, tapi bagian dari narasi resmi yang mulai dilegalkan lewat kebijakan pembangunan permukiman ilegal dan undang-undang negara-bangsa Yahudi. Dengan Washington sebagai pelindung, dan Teluk sebagai sekutu diam-diam, langkah menuju kolonialisme modern itu terus bergerak.
Siapa Mengadili Genosida di Gaza?
Dunia bungkam ketika ribuan warga sipil Gaza terbunuh. Mahkamah Internasional dibungkam oleh veto dan tekanan. Biden membela Israel. Trump lebih vokal lagi. Tidak ada sanksi, tidak ada embargo. Di mata Barat, kematian anak-anak Palestina tidak cukup layak untuk mendorong resolusi PBB.
AS dan Israel telah mengaburkan batas antara pertahanan diri dan pemusnahan sistematis. Jika Iran menargetkan satu fasilitas, ia dianggap teroris. Jika Israel menghancurkan satu kota, ia disebut membela diri. Dunia menyaksikan, tapi tidak bertindak.
Kesimpulan: Stabilitas Tanpa Keadilan Adalah Ilusi
Trump menciptakan stabilitas jangka menengah—ya, tetapi bukan perdamaian yang adil. Stabilitas ini berdiri di atas reruntuhan Gaza, di atas senyapnya negara-negara Teluk, dan di bawah bayang-bayang proyek Israel Raya yang didukung Washington.
Pertanyaannya sederhana: apakah kita menginginkan stabilitas yang lahir dari dominasi kolonialistik, atau perdamaian sejati yang berlandaskan keadilan? Jika dunia memilih yang pertama, maka jangan heran jika ledakan berikutnya jauh lebih dahsyat, karena luka yang dipendam hari ini akan membentuk dendam masa depan.
Referensi
de Guzman, C. (2025, June 25). J.D. Vance Defines the ‘Trump Doctrine’. TIME. https://time.com/7297452/trump-doctrine-vance-peace-through-strength-america-first-presidents-history/
Kroenig, M. (2025, April 25). Trump’s Foreign Policy Record Shows a Coherent, if Disruptive, Doctrine. Foreign Policy. https://foreignpolicy.com/2025/04/25/trump-foreign-policy-record-philosophy-us-allies-deals/
Rodenbeck, M. (2025, June 25). Gaza Without Gazans: Only American Pressure Can Stop Israel’s New Endgame. Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/israel/gaza-without-gazans
Marks, J. (2025, June 23). Don’t Count on China Bailing Out Iran. Foreign Policy. https://foreignpolicy.com/2025/06/23/iran-china-gulf-states-strait-hormuz/
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen dan Guru Besar di Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)