Langgam.id - KPU Sumbar menetapkan pasangan Mahyeldi Ansharullah dan Vasko Ruseimy sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada Pilkada 2024 pada Kamis (9/1/2024).
Sementara itu, pada hari yang sama, Society of Indonesia Environtmental Journalists (SIEJ) Simpul Sumbar dan Walhi Sumbar menggelar konferensi pers yang menyatakan pimpinan baru ini punya pekerjaan rumah (PR) besar soal pengelolaan sumber daya alamnya.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumbar, Wengki Putranto menyampaikan beberapa poin terkait pekerjaan rumah ini. Ia menyoroti bagaimana Proyek Strategis Nasional (PSN) di Sumbar yang masuk kategori infrastruktur dan dampaknya pada kerusakan lingkungan.
PR pertama gubernur baru Sumbar, terang Wengki, yaitu kebijakan pembangunan Sumbar berbasis pada keadilan sosial ekologis dan penghormatan pada masyarakat adat.
Ia mengungkapkan bahwa lebih dari setengah wilayah Sumbar adalah hutan. Jumlahnya sekitar 2.286.883 ha atau setara 54 persen.
“Sehingga, hanya 250 nagari (desa) di Sumatra Barat yang berada di luar kawasan hutan (18,03%), selebihnya sekitar 950 nagari berada didalam dan sekitar kawasan hutan (81,97%),” ujar Wengki dalam keterangan tertulisya.
Ia menyinggung pemerintah yang terus mengusahakan perhutanan sosial yang menghilangkan identitas kepemilikan adat masyarakat. Perhutanan sosial diketahui diberikan pengelolaan izinnya ke masyarakat hanya 35 tahun, dapat diperpanjang atau dikembalikan ke negara.
“Meskipun perhutanan sosial menjadi kebijakan strategis di Provinsi Sumatera Barat, tetapi hutan adat yang diakui hanya pada angka 0,30% dari luas Hutan Sumatra Barat. Kebijakan ini, menjadi alat “eksklusi” masyarakat dari tanah airnya, termasuk secara sistematis menjadi alat “etnosida” bagi masyarakat hukum adat dan komunitas lokal,” bebernya.
Wengki menyebut ini mal-praktik kebijakan dan ini menjadi akar dari beragam konflik.
“Ini PR pertama gubernur baru, memulihkan hak-hak masyarakat adat atas hutan. Lima tahun kedepan, tidak ada lagi izin baru perhutanan sosial di Sumatra Barat, kecuali hutan adat,” ucapnya.
Kedua, kata Wengki, Gubernur Sumbar mesti berani mengkoreksi kebijakan infrasruktur dan energi, terutama yang berbasis PSN (Proyek Strategis Nasional).
“Sebagaimana kita ketahui, PSN Jalan tol proses pengadaan tanahnya menjadi wadah korupsi, proses pembangunannya melahirkan bencana sosial-ekologis. Material dari tambang ilegal yang digunakan untuk pembangunan jalan tol (Padang – Sincincin), telah menghancurkan lingkungan dan memporak-porandakan pemukiman masyarakat," ujarnya.
"Pada Seksi Pangkalan – Payakumbuh (khusus di Limapuluh Kota), trase jalan tol yang direkomendasikan justru menjadi alat penghancur kawasan inti masyarakat adat (rumah gadang dan seterusnya),” sebutnya.
Wengki juga menyinggung bagaimana proses pembangunan jalan tol Padang-Sicincin juga diduga menggunakan material dari galian c ilegal. Dia mengatakan masyarakat terdampak dari hilangnya ruang sawah, rumah hingga sekolah yang hancur.
Ketiga, kata Wengki, melakukan koreksi kebijakan perhutanan sosial yang memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat (hutan). Moratorium izin perhutanan sosial kecuali hutan adat.
Keempat, penerapan secara konsisten prinsip FPIC dalam setiap kebijakan pembangunan. Kelima, menerapkan kebijakan energi yang berkeadilan dan transparan.
Wengki mencontohkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Singkarak yang sudah direkomendasikan gubernur ke pemerintah pusat. Menurut Wengki kondisi tersebut memicu kegaduhan di tingkat tapak.
“Masyarakat adat salingka Danau Singkarak, tiba-tiba dikejutkan, karena Gubernur Sumatra Barat memberikan dukungan terhadap PT Indo Acwa Tenaga Singkarak untuk membangun PSN PLTS Singkarak 50 MW. Sementara, gubernur belum melakukan dialog dengan masyarakat salingka danau singkarak. Prinsip FPIC tidak berjalan sama sekali," ujarnya.
"PSN PLTS Singkarak memicu traumatik baru bagi masyarakat. Selain karena korban PLTA Singkarak di masa lalu, beban singkarak hari ini cukup berat. Termasuk kategori danau sangat kritis di Indonesia,” sambungnya.
Wengki mengatakan sebelum PLTS Singkarak, dengan pola yang sama, gubernur secara aktif juga mendorong PSN untuk Air Bangis yang menyebabkan protes besar beberapa waktu lalu.
“Air Bangis ditujukan untuk industri refinery dan petrochemical serta sarana pendukung bagi PT Abaco Pasifik Indonesia pada lahan seluas ± 30.000. Prinsip FPIC juga tidak berjalan di sini. Tidak kurang, 20.000 jiwa terdampak akibat proyek ini. Jika proyek dilanjutkan, maka sekitar 20.000 ha hutan akan dikonversi menjadi kawasan industri. Menjadi ironi, masyarakat adat dan komunitas lokal di eksklusi dan masuk penjara atas nama hutan, namun hutan di eksklusi atas nama investasi," terangnya.
Keenam, kata Wengki, PR Gubernur Sumbar yang baru yaitu pemulihan kerusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Sebagaimana kita ketahui, wilayah pesisir kita telah terdegradasi akibat perluasan tambak udang (legal dan ilegal), sebagian besar hutan mangrove dikonversi untuk tambak udang, termasuk untuk kebun sawit," tuturnya.
Ia mengatakan bahwa dalam data resmi DLH Sumbar disebut, baku mutu air laut dan sungai di Padang Pariaman, bahkan telah terlampaui akibat limbah tambak udang. Beberapa waktu lalu, kolam bekas tambak udang, telah menjadi alat pembunuh anak kecil sekitar lokasi tambak.
"Tak kalah serius, cemaran sampah plastik di laut dan pesisir, menjadi urgent untuk segera diatasi. Selain mencemari lingkungan dan merugikan nelayan, juga merusak dunia pariwisata Sumbar," ujarnya.
Selanjutnya, kata Wengki, pembuatan peta jalan pemulihan hak ulayat untuk mengurai konflik yang menumpuk di Agam, Pasaman Barat hingga Darmasraya terkait perizinan perusahaan sawit.
“Situasi saat ini HGU-HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan monokultur sebagian sudah dan akan berakhir, kita tahu bahwa lokasi yang ini dibebani perkebunan seluruhnya tanah ulayat, dan itu pada zaman orde baru di akhir tahun 80-an sampai 2000-an investasi besar. Sejak mereka hadir justru menghadirkan konflik, sebagian besar dari skema investasi akan berakhir hgu,” katanya.
Ia berharap adanya peta jalan ini dapat mengurai konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun di Damasraya, Agam, Solok Selatan, Pasaman dan Pasaman Barat hingga Mentawai.
PR selanjutnya yaitu menyelesaikan akar bencana ekologis. Tiap tahun, terang Wengki, bencana banjir dan longsor (bencana ekologis) selalu terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota di Sumbar.
"Akumulasi krisis ekologis, akibat ketidakadilan dan salahnya sistem pengurusan alam, telah menghancurkan pranata kehidupan masyarakat," ujar.
Menurut Wengki, akar bencana tersebut pertama, investasi dan pembangunan tidak berbasis pada aspek mitigasi bencana. Seperti tambang galian C Kawasan Air Dingin, Solok. Lokasi tambang berada pada kawasan sesar semangko, yang legal juga tidak patuh pada ketentuan lingkungan. Contoh berikutnya, pembangunan pada kawasan lembah anai.
“Untuk urusan ini, perlu satu upaya konkret audit lingkungan hidup secara utuh dan menyeluruh,” katanya.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai turut menambahkan daftar pekerjaan rumah untuk Gubernur Sumbar. Ia mengatakan jika pemerintah menambah perizinan kehutanan maka pemerintah menambah jumlah konflik itu sendiri.
Selain itu, ia mengatakan jika Mahyeldi dan Vasko tidak ingin menambah konflik masyarakat, maka jangan ditambah lagi perizinan perusahaan kayu di Sumbar.
Selanjutnya, ia mengungkapkan Gubernur Sumbar jangan sampai menjadi perwakilan kepentingan Jakarta. Sebab menurutnya Gubernur Sumbar dipilih untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan lingkungan dan masyarakat Sumatra Barat.
Jaka HB selaku koordinator SIEJ Simpul Sumbar mengatakan kerja-kerja jurnalis mengawasi kebijakan-kebijakan lingkungan semakin kompleks. Sebab beberapa waktu lalu presiden mengucapkan pernyataan mendukung sawit dan jangan takut deforestasi. “Hal tersebut harus jadi alarm untuk kita semua,” katanya.
Beberapa hasil liputan anggota SIEJ terkait lingkungan hidup dari pesisir, hutan, konflik agraria hingga soal isu energi menjadi masalah yang sudah ada di depan mata.
“Pada tahun 2016 sampai 2011 ada 15 ribu hektare hutan per tahun hilang di Sumatra Barat, setengah dari garis pantai Sumatra Barat mengalami abrasi, dan seperti yang disampaikan Walhi mangrove di Sumbar juga tergolong kritis,” ujarnya.
Berikut 10 PR untuk Gubernur Sumbar yang baru:
1. Kebijakan pembangunan Sumbar berbasis pada keadilan sosial ekologis dan penghormatan pada masyarakat adat.
2. Gubernur Sumatra Barat mesti berani mengkoreksi kebijakan Infrasruktur dan Energi, terutama yang berbasis PSN.
3. Melakukan koreksi kebijakan perhutanan sosial yang memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat (hutan). Moratorium izin perhutanan sosial kecuali hutan adat.
4. Penerapan secara konsisten prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) dalam setiap kebijakan pembangunan. FPIC adalah proses untuk memastikan masyarakat adat dan lokal dapat menjalankan hak-hak fundamental mereka.FPIC juga dikenal dengan sebutan PADIATAPA (Persetujuan Diawal Tanpa Paksaan).
5. Menerapkan kebijakan energi yang berkeadilan dan transparan.
6. Pemulihan kerusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
7. Menyusun peta jalan pemulihan tanah ulayat sepert eks HGU dan kehutanan, sebagai implementasi dari perda tanah ulayat.
8. Mengeluarkan izin perkebunan, tambang hingga kehutanan akan memperluas konflik. Jika tidak ingin menambah konflik jangan tambah perisinan di hutan.
9. Bawa kepentingan masyarakat Sumbar, jangan bawa kepentingan pusat ke Sumatra Barat.
10. Penyelesaikan akar bencana ekologis yang berasal dari investasi dan aktivitas ekonomi manusia. (*/yki)