Langgam.id - "Karena kegiatannya yang terus meningkat, hingga melibatkan diri dalam pemogokan buruh, maka tanggal 2 Maret 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timor)."
Demikian ditulis mantan Ketua Umum Partai Murba W. Suwarto, pada Bab Pendahuluan untuk Penjelasan dalam Buku 'Parlemen atau Soviet' karya Tan Malaka pada 1921 yang diterbitkan ulang Yayasan Massa pada 1987.
Penangkapan tersebut, tepat 97 tahun lalu dari hari ini, Sabtu (2/3/2019).
Menurut Suwarto, pada 1921 Tan Malaka telah aktif dalam perjuangan buruh. "Dia pernah menjadi wakil ketua Serikat Buruh Pelikan (tambang) Cepu, yang didirikan Semaun. Dalam tahun ini pula Kongres PKI memilihnya menjadi ketua mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri," tulisnya.
Namun, hanya satu tahun Tan Malaka bergerak, langkahnya membentur dinding. Pemerintah Hindia Belanda menilai gerakan pria bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka itu sebagai ancaman. Ia ditangkap dan semula diputuskan akan dibuang ke Kupang, Timor.
"Tapi kemudian dalam bulan ini juga keputusan diubah menjadi “externering” atau pengasingan ke Negeri Belanda," kata Suwarto yang terpilih menjadi Ketua Umum Partai Murba pada 1960.
Audrey Kahin dalam 'Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998' mengutip Harry A Poeze, menulis, usai diasingkan ke Belanda pada 1922 tersebut, Tan Malaka kemudian pergi ke Soviet.
Di Soviet, menurut Poeze, pada pertengahan 1923 Tan Malaka diangkat menjadi wakil Comintern untuk wilayah Asia Tenggara. Pada Desember 1923, Tan malaka membuka kantor pusat di Canton, lalu pindah ke Manila pada 1925 dan kemudian ke Singapura pada 1926.
Selama pengembaraan itu, Tan Malaka terus diburu-buru. Intel dan polisi rahasia mengintai untuk menangkapnya.
Harry A Poeze yang puluhan tahun meneliti perjalanan Tan Malaka, dalam 'Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia' (2008), menyebutkan, selama petualangan itu, Tan menggunakan berbagai nama samaran.
Ketika memasuki Manila dan Hongkong pada tahun 1927 Tan Malaka, menurutnya, Tan mengubah nama menjadi Elias Fuente. Saat memasuki Hongkong dari Shanghai pada 1932, ia menggunakan nama Oong Soong Lee.
Kembali ke Indonesia dari Singapura melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta pada 1942, Tan memakai nama Ramli Husein. Sementara, saat membantu romusha di Bayah, Banten ia menggunakan nama Ilyas Husein.
Nama lain yang pernah digunakan yakni, Cheng Kun, Tat, Elisoe, Howard Law. Ia menggunakan nama Haji Hasan dan Nadir dalam surat-suratnya serta sejumlah nama lain.
Dalam diskusi yang digelar di DPR RI pada 27 Maret 2017, sebagaimana ditulis tempo.co, Harry A Poeze menyebut Tan setidaknya memiliki 14 karakter selama 20 tahun pengembaraannya di berbagai negara.
Diskusi yang dibuka Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon tersebut digelar untuk menggali pemikiran Tan Malaka yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno lewat Keputusan Presiden RI No 53 Tahun 1963.
Tan Malaka menulis puluhan buku. Satu di antaranya, adalah Buku 'Naar de Republiek Indonesia' (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Pemikiran pertama menggagas Indonesia dalam bentuk republik ini, membuat Muhammad Yamin menyematkan gelar Bapak Republik Indonesia untuk Tan.
Penyamaran yang dilakukan Tan karena kejaran polisi rahasia di berbagai negara, tak terlepas dari ide untuk memerdekan bangsanya serta bangsa-bangsa yang pernah ditinggali Tan.
Pernah bergabung dengan PKI, Tan kemudian keluar dan menjadi penentang keras partai tersebut. Keluarnya Tan dari PKI adalah puncak. Perbedaan sudah terjadi sejak 1922, saat sikapnya yang berpihak pada gerakan Pan-Islamisme tak disetujui gerakan komunis dunia. Setelah pemberontakan PKI 1926, Tan mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PARI) pada 1927.
Usai proklamasi, Tan menolak keras berunding dengan Belanda yang kembali ingin berkuasa di Indonesia. Hal ini membuatnya berbeda pendapat dengan para pemimpin Indonesia saat itu. Tan juga mengkritik tentara.
Namun, kritik itu ditanggapi berlebihan dengan menangkap Tan. Salah satu kesatuan di bawah pimpinan Letda Sukotjo malah mengambil inisiatif lebih jauh. Tan mereka bawa untuk kemudian ditembak pada 21 Februari 1949.
Jasad putra kelahiran Pandam Gadang, Suliki, Limapuluh Kota yang menghabiskan umurnya untuk kemerdekaan bangsa Indonesia itu, mereka kuburkan di Selopanggung, Kediri dengan kondisi tangan terikat ke belakang.
Bung Hatta kemudian memang memecat Soengkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Soerachmad sebagai Komandan Brigade Kediri karena peristiwa tersebut. Beberapa tahun kemudian, Bung Karno menyematkan gelar pahlawan pada 1963.
Namun, semua itu, tak bisa dibandingkan dengan pengorbanan sebesar-besarnya Tan Malaka hingga akhir hayat. (HM)