Oleh: Revalina Deska
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena buzzer telah menjadi sorotan, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan media sosial sebagai ruang publik virtual. Buzzer.
Jikalau kita ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "Buzzer" dipadankan dengan kata "pendengung". Pendengung adalah orang yang menyebarkan rumor atau gosip, terutama melalui media sosial, untuk mendapatkan perhatian banyak orang.
Namun, jikalau kita pahami dalam konteks kekinian, Buzzer dapat merujuk pada individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan dan membentuk opini publik. Peran mereka menjadi sangat signifikan, terutama selama proses pemilihan umum (pemilu), karena memiliki kemampuan untuk memengaruhi suara masyarakat dalam waktu relatif singkat.
Buzzer telah menjadi alat propaganda yang efektif, terutama bagi tim kampanye politik yang berupaya meningkatkan citra pasangan calon (paslon) tertentu. Pesan-pesan yang disebarluaskan oleh buzzer sering kali dirancang untuk memanipulasi persepsi publik, baik dengan menyebarkan dukungan positif untuk kandidat tertentu maupun dengan menyerang lawan politik.
Strategi mereka mencakup berbagai taktik, mulai dari komentar yang mendukung, kritik tajam terhadap lawan, hingga penyebaran ujaran kebencian dan berita palsu (hoaks).
Menurut teori "agenda setting", media memiliki kekuatan untuk menentukan isu-isu yang dianggap penting oleh masyarakat. Dalam konteks ini, buzzer berfungsi sebagai "media mikro" yang mampu membingkai isu-isu tertentu sesuai dengan kepentingan politik yang mereka wakili.
Aktivitas mereka sering kali memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperluas jangkauan pesan, sehingga dapat menciptakan persepsi dominan di kalangan masyarakat.
Namun, keberadaan buzzer juga menghadirkan berbagai tantangan serius bagi demokrasi. Salah satu dampak negatifnya adalah terganggunya integritas informasi yang diterima oleh publik. Informasi yang tidak akurat, bahkan palsu, dapat dengan mudah menyebar melalui jaringan buzzer, sehingga membentuk opini yang keliru.
Hal ini sejalan dalam apa yang kita temukan pada "spiral of silence", yang menyatakan bahwa individu cenderung mengikuti opini mayoritas yang terlihat dominan, meskipun opini tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Lebih jauh lagi, aktivitas buzzer dapat memperburuk polarisasi di masyarakat, terutama dalam suasana pemilu yang sarat emosi. Pesan-pesan provokatif yang mereka sebarkan sering kali memicu ketegangan antarpendukung dan memperdalam perpecahan sosial. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Tidak hanya itu, penggunaan buzzer juga dapat menciptakan ketidakadilan dalam proses demokrasi. Dengan dukungan dana yang besar, pihak tertentu mampu memanfaatkan buzzer untuk mendominasi ruang publik digital. Hal ini menyebabkan suara masyarakat biasa yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi menjadi terpinggirkan.
Jikalau kita sandingkan fenomena ini sangat mencerminkan "theory of structural inequality", di mana kekuatan ekonomi digunakan untuk memengaruhi proses politik secara tidak proporsional. Ya, jelas akibatnya, demokrasi menjadi semakin eksklusif, hanya berpihak pada mereka yang memiliki sumber daya lebih besar.
Dalam melakukan pencegahan terhadap buzzer yang pasti sarat akan tindakan merusak kualitas demokrasi, tentu harus ada yang namanya regulasi yang jelas dan tegas dari pemerintah serta lembaga pemilu.
Regulasi ini harus mencakup pengawasan ketat terhadap aktivitas kampanye digital, termasuk pembatasan penggunaan akun-akun anonim yang sering kali menjadi sumber penyebaran disinformasi. Di samping itu, kampanye politik harus diarahkan untuk berjalan secara transparan dan sesuai dengan kode etik yang berlaku.
Edukasi kepada masyarakat juga menjadi langkah penting dalam menangkal dampak negatif buzzer. Literasi digital harus ditingkatkan agar masyarakat dapat memverifikasi informasi yang diterima dan membedakan antara fakta dan opini, dan tentu ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, harus adanya sinergitas yang berkelanjutan, tidak hanya sekadar seremonial belaka, dan harus menjadi titik point view bagi instansi terkait.
Di samping itu, dalam teori "critical media literacy", kemampuan untuk memahami dan menganalisis media merupakan kunci bagi masyarakat dalam melawan manipulasi informasi, dan jelas ini adalah pekerjaan yang berat untuk di hadapkan pada persoalan hari ini.
Sebagai bagian dari solusi, perlu ditekankan bahwa suara rakyat dalam pemilu harus didasarkan pada informasi yang akurat dan objektif, bukan manipulasi atau tekanan dari pihak tertentu. Demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud apabila setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, tanpa terdistorsi oleh disinformasi berbayar yang disebarkan oleh buzzer.
Sebagai akhir dari tulisan ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa keberadaan buzzer memang tidak dapat dihindari dalam era digital. Namun, keberadaan mereka harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi ancaman bagi demokrasi.
Hanya dengan komitmen kolektif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, lembaga pemilu, dan masyarakat itu sendiri, kualitas demokrasi dapat terjaga. Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tetapi juga memastikan bahwa proses tersebut berlangsung secara adil, jujur, dan transparan.
Penulis: Revalina Deska (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)