Konfigurasi koalisi partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden semakin dinamis. Belum selesai publik membicarakan bergabungnya PAN dan Partai Golkar ke dalam Koalisi kebangkitan Indonesia Raya, publik dikejutkan dengan dideklarasikannya pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhamin Iskandar oleh Partai Nasdem, PKB dan PKS. Padahal sebelumnya sudah ada Koalisi yang dibentuk oleh Partai Gerindra dengan PKB untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Sayangnya, masuknya PAN dan Golkar ini dianggap semakin memperkecil peluang Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. Apalagi selama ini Prabowo tidak kunjung mendeklarasikan Muhamin sebagai calon wakil presidennya. Tentu sedikit banyaknya pendukung Muhaimin yang berasal dari kalangan Nahdliyin ini akan berpindah sehingga mempengaruhi dukungan yag diberikannya kepada Prabowo Subianto selama ini.
Lalu, apakah koalisi yang ditinggalkan Muhamin Iskandar yang menyisakan Partai Gerindra, Partai Golkar dan PAN akan efektif memenangkan Prabowo Subianto sebagai presiden pada Pemilu mendatang? Jelas ini akan menjadi perhatian publik beberapa waktu ke depan. Hal yang sama juga akan menjadi pertanyaan publik siapa yang akan menjadi pasangan Ganjar Pranowo yang sudah diusung PDIP sebagai calon presiden pada Pemilu 2024. Satu yang pasti kondisi ini akan terus berkembang dan dinamis sampai masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden ditutup. Elite partai politik terus melakukan konsolidasi dan kalkulasi politik menakar semua peluang yang ada serta menyusun strategi untuk memenangkan pemilu mendatang.
Pembagian Kekuasaan
Hal yang rumit dalam membangun koalisi ini adalah bagaimana membagi kekuasaan (power sharing) pasca pemilihan presiden. Pembicaraan yang paling menantang di antara elite partai politik yang menjalin koalisi adalah bagaimana pembagian kekuasaan dilakukan di antara peserta koalisi yang terlibat. Partai politik yang ikut koalisi tentu tidak ingin memberi tiket kosong kepada calon presiden. Mereka menginginkan adanya kejelasan bagaimana kekuasaan disepakati di awal "siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana." Karena faktanya setelah membentuk pemerintahan, presdrden terpilih seringkali meninggalkan partai koalisi yang mendukungnya. Ini memang menjadi karakter dalam kabinet presidensiil yang berbeda dengan kabinet dalam sistem parlementer yang masih ada kekuatan mengawasinya di parlemen. Akibatnya posisi partai politik dalam kebijakan yang dibuat tidak jelas, apalagi jika ingin melaksanakan manifesto partainya dalam pemerintahan tentu akan lebih sulit lagi.
Bagi partai politik yang mendukung calon presiden di luar kadernya sendiri, tentu berharap adanya pembagian kekuasaan yang jelas. Menarik dalam pemilu 2024 ini walaupun tidak dalam rangka mempertahankan kekuasaan petahana, pembagian kekuasaan tersebut diperkirakan juga akan melibatkan pengaruh Presiden Jokowi. Paling tidak ini dapat dilihat dari fenomena bergabungnya partai-partai pendukung pemerintah ke dalam Koalisi kebangkitan Indonesia Maju. Hampir semua ketua umum partai politik Koalisi Indonesia Maju sekarang ini adalah bagian dari kabinet Presiden Jokowi. Jadi wajar saja publik menilai bahwa koalisi partai politik ini adalah refleksi pemerintahan hari ini untuk kepentingan status quo.
Walaupun fenomena bergabungnya PAN dan Partai Golkar ke dalam koalisi ini terus melakukan konsolidasi pasca ditinggalkan PKB, tetap saja orientasi peserta koalisi ini adalah kesepakatan apa yang bisa dijalankan bersama. Bisa jadi partai politik yang ada saat ini juga akan menarik diri, jika tidak terjadi kesepakatan di antara mereka. Karenanya apa yang terjadi menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden ini dibuka sangatlah dinamis. Apalagi posisi partai koalisi ini masih dalam upaya memenuhi presidential threshold agar bisa mendaftarkan calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung. Hanya PDI Perjuangan yang leluasa untuk menentukan bagaimana format kekuasaan yang akan diselenggarakan mengingat partai ini satu-satunya yang memenuhi nilai ambang batas pencalonan presiden dalam pemilu 2024.
Dinamika ke Depan
Koalisi Kebangkitan Indonesia Maju masih terus menghitung peluang kemenangan dalam Pemilu 2024 mendatang, termasuk siapa yang pantas menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo Subianto. Hal lain yang juga perlu mereka sepakati adalah pembagian kekuasaan seperti
apa yang harus dijalankan jika Pemilu ini dapat dimenangkan. Pembagian kekuasaan ini tidak akan mudah karena masing-masing partai politik akan berhitung kontribusi yang mereka berikan untuk memenangkan calon presiden dan wakil presiden yang didukung sekaligus mendapatkan kursi di DPR.
Tidak ada yang bisa memprediksi dengan pasti bagaimana koalisi konfigurasi pencalonan presiden ini ke depan. Selain pertimbangan kepentingan masing-masing partai politik koalisi, juga ada pertimbangan lain seperti kebijakan geopolitik dan geostrategis yang akan diambil oleh calon presiden ke depan. Tidak dapat dimungkiri, Indonesia menjadi bagian dari kepentingan negara-negara maju yang juga memiliki kepentingan secara tidak langsung dengan calon presiden yang akan terpilih nantinya.
Memang tidak akan mudah menghasilkan kesepakatan jika hanya berorientasi kepentingan jangka pendek masing-masing partai politik. Harus ada satu kesepakatan bersama guna mengakomodir semua kepentingan partai politik koalisi. Walaupun sudah ada nama calon presiden yang disebut oleh masing-masing koalisi partai politik, bukan tidak mungkin tiga nama tersebut bisa saja berubah menjadi alternatif wakil presiden untuk mengatasi kebuntuan politik dalam mencari wakil presiden dan memenangkan Pemilu secara efektif dan efisien. Sepanjang kepentingan masing-masing elite partai politik dapat diakomodir, apa pun bisa terjadi dalam politik! (*)
Prof. Dr. Asrinaldi A. adalah Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas