Oleh: Erna Permata Sari
Sebelum memahami hubungan antara misionarisme, orientalisme, dan kolonialisme, penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan masing-masing konsep tersebut. Misionarisme adalah upaya umat Kristen untuk menyebarkan agama mereka ke berbagai wilayah sebagai bagian dari misi Kristus.
Orientalisme merupakan studi yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap dunia Timur, mencakup berbagai aspek seperti agama, budaya, ilmu pengetahuan, hukum, dan lainnya. Sementara itu, kolonialisme adalah praktik penguasaan oleh suatu negara terhadap wilayah lain dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam, ekonomi, serta sumber daya manusia wilayah tersebut.
Adapun misionarisme memiliki keterkaitan erat dengan orientalisme, terutama pada awal kebangkitan Barat. Studi bahasa Arab dan ajaran Islam di Barat sering kali dimulai oleh tokoh-tokoh misionaris, seperti Gerbert de Aurillac, Peter the Venerable, Adelard of Bath, dan Thomas Aquinas.
Keputusan Konferensi Gereja Wina tahun 1312 menjadi tonggak penting dalam perkembangan orientalisme, dengan memasukkan studi bahasa Arab dan Islam ke dalam kurikulum universitas-universitas Barat.
Motivasi para misionaris untuk mempelajari Islam tidak hanya karena Islam dianggap sebagai ancaman terhadap Kekristenan, tetapi juga karena Islam memiliki hubungan historis dengan agama Kristen. Islam mengakui keberadaan agama Nasrani sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, meskipun dianggap telah menyimpang setelah wafatnya Nabi Isa.
Doktrin-doktrin Kristen seperti Ketuhanan Yesus dan konsep Trinitas ditolak oleh Islam. Selain itu, keberhasilan Islam menguasai wilayah-wilayah Kristen seperti Palestina, Suriah, Persia, Mesir, Maroko, Andalusia, Sisilia, dan Toledo dianggap sebagai kekalahan besar bagi Kristen.
Kalau kita tilik dalam hal ini misionarisme menjadi sarana strategis untuk mereduksi pengaruh Islam. Studi orientalisme membantu misionaris memahami ajaran Islam, sehingga mereka dapat mengidentifikasi kelemahan yang dapat digunakan untuk meyakinkan umat Muslim agar berpindah agama. Strategi ini juga melibatkan penciptaan narasi yang mendiskreditkan Islam melalui karya-karya orientalis.
Di samping itu, orientalisme erat kaitannya dengan kolonialisme. Dalam praktik kolonialisme, bangsa Barat tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia, tetapi juga mempelajari agama, bahasa, budaya, dan sejarah wilayah yang mereka jajah. Orientalisme menjadi alat penting untuk memahami masyarakat lokal, yang kemudian dimanfaatkan untuk mengontrol mereka.
Dalam segi budaya, orientalisme sering digunakan untuk menciptakan stereotip yang melemahkan identitas masyarakat jajahan. Budaya lokal digambarkan sebagai primitif dan stagnan, sementara budaya Barat diklaim sebagai maju dan superior. Hal ini digunakan untuk membenarkan kolonialisme dengan narasi bahwa penjajahan dilakukan demi "memajukan" masyarakat Timur.
Selain itu, orientalisme memberikan justifikasi akademis dan politik bagi kolonialisme, dengan mengklaim bahwa Barat memahami kepentingan masyarakat Timur lebih baik daripada mereka sendiri.
Adapun kembali terkait hubungan kolonialisme dan misionarisme, sangat saling berkaitan dan sering kali berjalan bersamaan. Salah satu motivasi kolonialisme adalah kekalahan Barat dalam Perang Salib I (1096–1099) dan Perang Salib II (1147–1149), serta jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 yang memutus jalur perdagangan ke dunia Barat. Untuk menemukan jalur baru, bangsa Barat melakukan eksplorasi ke berbagai penjuru dunia, yang disertai dengan misi penyebaran agama Kristen.
Namun, misionarisme tidak hanya berfungsi sebagai alat penyebaran agama, tetapi juga sebagai sarana untuk melemahkan pengaruh Islam. Dalam praktiknya, kolonialisme menggunakan misionarisme untuk menguatkan posisi mereka di wilayah jajahan, dengan dalih membawa kemajuan di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Sebaliknya, misionarisme mendukung kolonialisme melalui pengaruhnya terhadap perubahan budaya dan agama masyarakat lokal.
Dapat kita ambil benang merah, bahwa misionarisme, orientalisme, dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat dan saling mendukung. Dalam praktik kolonialisme, bangsa Barat tidak hanya menjajah secara fisik tetapi juga menggunakan orientalisme untuk memahami masyarakat lokal dan misionarisme untuk memengaruhi keyakinan agama mereka.
Orientalisme berfungsi sebagai alat analisis untuk menemukan kelemahan-kelemahan budaya dan agama lokal, yang kemudian dimanfaatkan dalam misi kolonialisme dan misionarisme.
Jikalau kita memahami hubungan ini, kita dapat melihat bagaimana dominasi Barat di masa lalu tidak hanya berbasis pada kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga pada manipulasi intelektual dan budaya. Pendekatan ini memberikan landasan bagi perlawanan terhadap praktik-praktik serupa yang mungkin masih terjadi dalam bentuk yang lebih halus di era modern. (*)
Penulis: Erna Permata Sari (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)