Digital Discourse: Fenomena Hashtag Activism dan Narasi Visual dalam Partisipasi Politik Gen Z

Digital Discourse: Fenomena Hashtag Activism dan Narasi Visual dalam Partisipasi Politik Gen Z

Fadhil Ahmad Fajri. (Foto: Dok. Pribadi)

Dalam beberapa tahun terakhir, Gen Z telah menunjukkan kecenderungan yang kuat dalam memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana partisipasi politik dan sosial. Aksi mereka tidak hanya terbatas pada demonstrasi jalanan, tetapi juga memanfaatkan platform media sosial untuk mengkoordinasi gerakan protes, menyebarkan informasi, dan memobilisasi massa. Salah satu fenomena terbaru yang mencerminkan hal ini adalah penggunaan hashtag activism dan narasi visual, seperti meme, sebagai bentuk partisipasi politik Gen Z di Indonesia, khususnya dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini.

Generasi Z, atau mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam dunia yang sangat terhubung secara digital. Mereka terbiasa dengan teknologi informasi yang memungkinkan akses cepat terhadap berita dan isu-isu sosial. Salah satu ciri khas dari partisipasi politik Gen Z adalah penggunaan hashtag activism, di mana tagar (#) seperti #peringatandarurat digunakan untuk menyuarakan protes terkait isu Kawal Putusan MK bulan lalu.

Mengutip dari suatu wawancara bersama Dr. Bagong Suyanto, seorang sosiolog dari Universitas Airlangga, ia menyatakan bahwa "Generasi Z lebih berani mengekspresikan pandangan politik mereka secara terbuka di media sosial dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Media sosial bagi mereka adalah sarana penting untuk memperjuangkan isu-isu keadilan sosial, di mana mereka dapat menggabungkan aktivitas online dengan aksi nyata" (Suyanto, 2023).

Dalam kasus putusan MK bulan lalu, tagar ini menjadi simbol perlawanan digital dan bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap keputusan yang diambil. Media sosial seperti Twitter,Tiktok dan Instagram menjadi platform utama di mana hashtag ini viral, menyatukan ribuan suara anak muda di seluruh Indonesia. Hashtag activism ini memungkinkan mobilisasi sosial yang cepat dan efektif, di mana informasi dapat tersebar luas dalam hitungan detik. Ini sejalan dengan teori interaksi simbolik dalam Sosiologi Anak dan Remaja, di mana simbol-simbol seperti hashtag berperan penting dalam membentuk interaksi sosial dan solidaritas di kalangan pengguna.

Selain hashtag, Gen Z juga memanfaatkan narasi visual seperti meme dan poster digital sebagai alat untuk menyampaikan pesan politik mereka. Meme, dengan sifatnya yang humoris namun penuh makna, sering kali menjadi cara yang efektif bagi Gen Z untuk menyederhanakan isu kompleks dan menjangkau audiens yang lebih luas. Narasi visual ini memberikan elemen emosional dan estetika yang memperkuat pesan politik yang ingin disampaikan, menciptakan efek viral yang kuat.

Media sosial bukan hanya sarana hiburan bagi Gen Z, tetapi juga platform pendidikan politik. Melalui platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, Gen Z dapat belajar tentang isu-isu sosial dan politik dari sesama pengguna, influencer, atau aktivis. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial berperan dalam sosialisasi politik, di mana anak muda terlibat aktif dalam diskusi politik dan membangun identitas politik mereka.

Peran media sosial sebagai agen sosialisasi politik ini menjadi semakin relevan. Bagong Suyanto (2013) dalam bukunya tentang masalah sosial anak, menekankan pentingnya memahami bagaimana media sosial memengaruhi persepsi anak muda terhadap dunia sosial mereka. Gen Z menggunakan media sosial tidak hanya untuk mengekspresikan opini pribadi, tetapi juga untuk menyatukan suara dalam aksi kolektif, seperti yang terlihat dalam kasus putusan MK dengan menggunakan hashtag #peringatandarurat.

Partisipasi politik melalui media sosial memiliki keuntungan tersendiri, terutama dalam hal kecepatan penyebaran informasi dan mobilisasi massa yang lebih luas. Namun, efektivitas protes digital dibandingkan dengan aksi fisik di dunia nyata masih menjadi perdebatan. Meski protes digital seperti yang dilakukan Gen Z dengan menyuarakan Kawal Putusan MK serta hashtag #peringatandarurat memiliki daya jangkau yang besar, pertanyaan mengenai dampak jangka panjang dan kemampuan protes digital untuk benar-benar memengaruhi kebijakan masih menjadi tantangan.

Di sisi lain, penggunaan meme dan narasi visual menunjukkan bahwa Gen Z mampu menciptakan bentuk partisipasi politik yang berbeda dari generasi sebelumnya. Dengan memanfaatkan alat-alat digital, mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen konten yang dapat memengaruhi wacana publik.

Fenomena hashtag activism dan narasi visual dalam partisipasi politik Gen Z menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi arena baru bagi aksi sosial dan politik. Dalam Sosiologi Anak dan Remaja, ini mencerminkan bagaimana generasi muda membentuk identitas politik mereka dan berinteraksi dengan dunia sosial di sekitar mereka. Melalui hashtag seperti #peringatandarurat, Gen Z berhasil memobilisasi massa dan menyuarakan pendapat mereka dalam bentuk yang lebih modern dan efektif. Meskipun masih ada tantangan dalam hal efektivitas jangka panjang, tidak dapat disangkal bahwa pengaruh media sosial dalam partisipasi politik Gen Z telah membawa perubahan signifikan dalam cara anak muda terlibat dalam isu-isu politik.

*Penulis: Fadhil Ahmad Fajri (Mahasiswa Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Peran Media Sosial dalam Menggerakkan Partisipasi Politik: Kekuatan atau Bahaya?
Peran Media Sosial dalam Menggerakkan Partisipasi Politik: Kekuatan atau Bahaya?
Kreativitas dalam Mengelola Bouquet Bunga di Kota Padang
Kreativitas dalam Mengelola Bouquet Bunga di Kota Padang
Budaya Minangkabau dan Komunikasi Antarpribadi
Budaya Minangkabau dan Komunikasi Antarpribadi
Pentingnya Efektifitas Mendengar dalam Kelancaran Komunikasi Interpersonal
Pentingnya Efektifitas Mendengar dalam Kelancaran Komunikasi Interpersonal
Rahasia di Balik Persepsi: Kunci Komunikasi yang Lebih Efektif
Rahasia di Balik Persepsi: Kunci Komunikasi yang Lebih Efektif
79 Tahun Merdeka, Petani Indonesia Masih Terjajah
79 Tahun Merdeka, Petani Indonesia Masih Terjajah