Di Balik Topeng Energi Hijau: Membedah Kontroversi PLTS Terapung Danau Singkarak

Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: KPK RI mencatat telah terjadi total 490 pelanggaran di Danau Singkarak. 

Danau Singkarak. [foto: IG @dsingkarak]

Arief Paderi*

Di tengah hiruk pikuk transisi energi nasional, sebuah konflik kepentingan tengah memanas di tanah Minangkabau. Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Danau Singkarak tidak hanya memantik perdebatan, tetapi juga membuka luka lama masyarakat adat. Proyek kolaborasi antara PLN dan ACWA Power yang telah diangkat sebagai Proyek Strategis Nasional ini (bisnis.com, Kamis 26/12/2024) seolah menjadi cermin betapa pembangunan masih kerap mengabaikan suara rakyat.

Memang benar, Indonesia perlu bergerak cepat dalam agenda transisi energi untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon. PLTS terapung Danau Singkarak, dengan kapasitas 77 megawatt peak (MWp), diklaim sebagai langkah strategis menuju masa depan energi yang lebih bersih. Namun, di balik narasi indah tentang energi terbarukan, tersembunyi kisah perjuangan masyarakat lokal mempertahankan hak dan martabatnya.

Luka Lama yang Belum Sembuh

Penolakan keras dari 13 nagari di sekitar danau (Langgam.id, Kamis 26/12/2024) bukan sekadar resistensi terhadap pembangunan. Ini adalah perlawanan terhadap arogansi pembangunan yang mengabaikan konteks sosial-ekologis dan trauma historis masyarakat. Pengalaman pahit dengan proyek PLTA sebelumnya telah membuktikan bahwa kalkulasi teknis dan ekonomi semata tidak cukup untuk menjamin keberlanjutan sebuah proyek energi.

Bagi masyarakat nagari di salingka danau Singkarak, skeptisisme terhadap proyek PLTS terapung bukanlah tanpa alasan. Luka menganga akibat proyek PLTA 2016 masih membekas dalam ingatan kolektif mereka. Bagaimana tidak? Proyek yang diklaim akan membawa kesejahteraan itu justru meninggalkan jejak kerusakan ekosistem yang memilukan – sawah mengering, mata air menghilang, dan kehidupan masyarakat porak-poranda. Kini, ketika PLTS terapung diwacanakan, trauma itu kembali menguat.

Menurut penulis, penting untuk dipahami bahwa penolakan masyarakat ini bukanlah bentuk antipati terhadap kemajuan atau energi terbarukan. Mereka sangat memahami urgensi transisi energi untuk masa depan. Namun, kekhawatiran mereka sangat beralasan – bagaimana mungkin mereka bisa yakin bahwa sejarah tidak akan berulang? Bagaimana bisa percaya bahwa proyek baru ini tidak akan kembali mengorbankan ekosistem danau yang telah menjadi urat nadi kehidupan mereka selama bergenerasi? Di mata masyarakat lokal, janji-janji pembangunan tak lebih berharga dari kelestarian lingkungan dan kelangsungan mata pencaharian yang telah mereka jaga secara turun-temurun.

Dilema Hukum dan HAM

Dalam perspektif hukum lingkungan, rencana PLTS terapung ini memang menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Meski area yang akan digunakan relatif kecil – hanya 0,26% dari total luas danau – potensi dampaknya terhadap ekosistem tidak bisa dianggap remeh. Habitat ikan endemik seperti ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat lokal memerlukan perlindungan khusus. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tegas mengharuskan adanya kajian komprehensif tentang dampak ekologis sebelum proyek ini berjalan.

Lebih jauh lagi, kerangka UN Guiding Principles on Business and Human Rights memberikan panduan yang jelas tentang tanggung jawab korporasi dalam menghormati hak asasi manusia. PLN dan ACWA Power memiliki kewajiban untuk melakukan human rights due diligence yang menyeluruh. Ini bukan sekadar formalitas – ini mencakup pemetaan mendalam tentang potensi dampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, dari hak atas mata pencaharian hingga akses terhadap air bersih. Trauma masyarakat akibat proyek PLTA sebelumnya harus menjadi pembelajaran berharga dalam setiap langkah perencanaan.

Yang tidak kalah krusial adalah perlindungan hak-hak masyarakat adat yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Masyarakat Minangkabau di sekitar Danau Singkarak memiliki hak ulayat dan sistem pengelolaan sumber daya alam tradisional yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) menjadi kunci untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat tidak tergerus dalam arus pembangunan ini.

Mengabaikan aspek hukum dan HAM dalam proyek ini sama seperti menanam bom waktu. Gelombang resistensi sosial yang kini mulai tampak hanyalah permulaan dari masalah yang jauh lebih besar. Jalan keluar dari kebuntuan ini hanya satu: pendekatan yang menempatkan perlindungan lingkungan dan penghormatan HAM sebagai fondasi utama pembangunan, bukan sekadar pelengkap administratif yang bisa dikompromikan demi kepentingan ekonomi semata.

Defisit Tata Kelola: Ketika Dialog Bermakna Terabaikan

Dalam konteks tata kelola, PLN dan ACWA Power tampaknya belum menerapkan prinsip-prinsip yang memadai. Sejak penandatanganan Letter of Intent pada Desember 2023, informasi yang sampai ke publik sangat terbatas. Masyarakat hanya mengetahui angka-angka teknis – 0,26% luas danau dan kapasitas 77 MWp – tanpa pemahaman mendalam tentang dampak potensial terhadap ekosistem danau dan kehidupan mereka.

Penolakan dari 13 nagari menunjukkan bahwa proses perencanaan berjalan tanpa keterlibatan bermakna dari masyarakat lokal. Seolah-olah trauma masyarakat dari pengalaman PLTA sebelumnya dianggap angin lalu. Ketiadaan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas jika terjadi kerusakan lingkungan semakin mempertebal kekhawatiran warga.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat serta Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok pun belum menunjukkan komitmen yang memadai dalam menerapkan prinsip tata kelola yang baik. Masyarakat adat, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pengelolaan sumber daya alam di Minangkabau, justru terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan. Status Proyek Strategis Nasional seakan menjadi tameng untuk mengenyampingkan pentingnya dialog bermakna dengan masyarakat lokal.

Defisit tata kelola semacam ini bisa menjadi preseden buruk dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Tanpa perbaikan mendasar dalam aspek transparansi, akuntabilitas, dan pelibatan masyarakat, kita mungkin akan menyaksikan resistensi serupa di lokasi-lokasi lain. Diperlukan keseimbangan yang lebih baik, di mana agenda transisi energi nasional tidak mengorbankan hak dan kepentingan masyarakat setempat.

Bagi masyarakat Minangkabau, Danau Singkarak bukan sekadar hamparan air. Ia adalah entitas budaya yang menyimpan nilai-nilai khusus. Bagi masyarakat salingka Singkarak, danau ini merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem adat yang telah mengakar selama berabad-abad. Lebih dari sekadar sumber penghidupan, danau ini adalah ruang budaya yang menyimpan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.

Kearifan lokal dalam pengelolaan Danau Singkarak telah membuktikan diri mampu menjaga keseimbangan ekosistem selama bergenerasi. Praktik-praktik tradisional ini bukan sekadar ritual kosong, melainkan sistem pengetahuan yang telah teruji waktu. Oleh karena itu, rencana pembangunan PLTS terapung harus mempertimbangkan kompleksitas sosial-budaya ini dengan sangat hati-hati. Mengabaikan dimensi kultural dan sistem pengelolaan berbasis adat bukan hanya akan memicu resistensi, tetapi juga berpotensi merusak tatanan sosial yang telah terbukti menjaga keberlanjutan ekosistem Danau Singkarak.

Jalan Tengah Menuju Transisi Energi yang Berkeadilan

Untuk mengatasi kompleksitas ini, diperlukan pendekatan yang lebih cermat dan inklusif. Langkah pertama yang krusial adalah melakukan reformulasi perencanaan secara menyeluruh. Ini mencakup peninjauan ulang lokasi proyek dengan mempertimbangkan alternatif yang lebih dapat diterima masyarakat. Kearifan lokal harus diintegrasikan ke dalam desain proyek, dan kajian dampak lingkungan yang lebih komprehensif perlu dilakukan dengan melibatkan para ahli lokal dan nasional.

Dialog dan partisipasi masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam mencari jalan keluar. Bukan sekadar konsultasi formal, tetapi dibutuhkan mekanisme dialog berkelanjutan yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Lembaga adat harus diberi peran sentral dalam pengambilan keputusan, mengingat posisi kuncinya dalam struktur sosial Minangkabau. Sistem pemantauan partisipatif perlu dikembangkan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas proyek dari hulu ke hilir.

Perlindungan ekosistem dan mata pencaharian masyarakat tidak bisa ditawar. Diperlukan rencana konservasi ekosistem danau yang terukur dan mempertimbangkan keseimbangan ekologis jangka panjang. Program alternatif mata pencaharian harus disiapkan untuk mengantisipasi potensi dampak terhadap aktivitas ekonomi tradisional. Pembentukan dana amanah untuk pemulihan lingkungan juga menjadi keharusan sebagai jaminan keberlanjutan ekosistem.

Tata kelola yang kuat menjadi fondasi penting dalam implementasi proyek. Tim koordinasi multi-level yang efektif perlu dibentuk untuk memastikan komunikasi yang baik antara berbagai tingkat pemerintahan dan pemangku kepentingan. Sistem monitoring terpadu harus dikembangkan untuk memantau berbagai aspek proyek, dari dampak lingkungan hingga sosial-ekonomi. Peran pengawasan DPRD dan masyarakat sipil perlu diperkuat untuk menjamin akuntabilitas di setiap tahapan.

Yang tak kalah penting adalah pembagian manfaat yang adil. Skema kompensasi yang transparan harus dirancang dengan melibatkan semua pihak terdampak. Program pemberdayaan masyarakat harus menjamin bahwa proyek memberikan manfaat langsung bagi penduduk lokal. Akses masyarakat terhadap listrik yang dihasilkan harus dijamin, sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton dalam proyek energi terbarukan di tanah mereka sendiri.

Kasus PLTS terapung Danau Singkarak memberikan pelajaran berharga tentang kompleksitas implementasi proyek energi terbarukan. Transisi energi memang penting, tetapi prosesnya harus memperhatikan konteks lokal dan melibatkan masyarakat secara bermakna. Pendekatan top-down dalam pembangunan sudah tidak relevan dengan semangat demokratisasi dan otonomi daerah yang kita anut.

Ke depan, Indonesia membutuhkan model pengembangan energi terbarukan yang lebih adaptif dan inklusif. Model yang mampu mengakomodasi kepentingan nasional untuk transisi energi sambil menghormati hak-hak dan kearifan lokal masyarakat. Hanya dengan pendekatan seimbang seperti ini, proyek-proyek energi terbarukan dapat memberikan manfaat optimal bagi semua pihak.

Danau Singkarak bisa menjadi laboratorium pembelajaran tentang bagaimana menyelaraskan agenda pembangunan nasional dengan kepentingan lokal. Bagaimana kita mengelola kontroversi ini akan menentukan wajah implementasi proyek-proyek serupa di masa depan. Saatnya membuktikan bahwa transisi energi bisa berjalan seiring dengan penghormatan terhadap hak dan martabat masyarakat lokal. (*Rep-https://pragmaintegra.com/di-balik-topeng-energi-hijau-membedah-kontroversi-plts-terapung-danau-singkarak/)

*Penulis adalah pendiri dan Direktur Pelaksana Pragma Integra Law Firm, dengan keahlian hukum bisnis, hukum perusahaan, dan hukum pajak.

Baca Juga

Investasi PLTS Terapung Danau Singkarak, Mahyeldi: Datangkan Banyak Manfaat untuk Sumbar
Investasi PLTS Terapung Danau Singkarak, Mahyeldi: Datangkan Banyak Manfaat untuk Sumbar
Berita Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar – berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI bakal mengawasi pelaksanaan pembongkaran reklamasi Danau Singkarak. 
Rencana PLTS Terapung di Danau Singkarak, Ahli Geologi: Perlu Alternatif Lain
Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: KPK RI mencatat telah terjadi total 490 pelanggaran di Danau Singkarak. 
Masyarakat Batipuah Selatan Tolak Pembangunan PLTS di Danau Singkarak Lantaran Merusak Ekosistem
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat anumerta kepada AKP Ryanto Ulil Anshari yang
Penembakan di Polres Solsel, PBHI Sumbar Desak Evaluasi Perlindungan Pejuang Lingkungan
Stockpile Batu Bara Diduga Ilegal Ditemukan di Pinggir Jalan Lintas Padang - Painan
Stockpile Batu Bara Diduga Ilegal Ditemukan di Pinggir Jalan Lintas Padang - Painan
Al-Qur'an dan Alam: Panduan Ilahi untuk Kehidupan Berkelanjutan
Al-Qur'an dan Alam: Panduan Ilahi untuk Kehidupan Berkelanjutan