Di Balik Prestasi Sumatra Barat

Aidil Aulya

Aidil Aulya

Setelah riuh soal data ekonomi di kuartal II, muncul pelbagai macam reaksi masyarakat Sumatra Barat di linimasa. Sebagian mungkin murni lahir dari diskursus publik, sebagian lain bisa saja disusun dengan sadar untuk membangun kontra narasi.

Setidaknya ada dua pola argumen yang bisa diamati. Pertama, narasi yang menyentuh sisi emosional dan identitas kultural, misalnya mengutip adagium yang hidup dalam masyarakat Minang “jan kan ka kalah, podo se ndak namuah.” Orang Minang katanya tidak perlu pusing dengan data ekonomi tersebut karena aset yang dimiliki masih bisa membuatnya tegak dengan kokoh.

Kedua, narasi yang menampilkan data statistik lain, yang sekilas memberi kesan keberhasilan di sektor berbeda. Setidaknya, itu yang saya temukan dalam pamflet yang berjudul “80 tahun Provinsi Sumatera Barat.” Data pamflet itu diambil dari BPS dan Dikcapil Sumbar.

Sayangnya, dua pendekatan ini agak terkesan hanya sibuk merapikan bingkai cerita daripada masuk ke inti masalah. Narasi sentimental kultural gagal menjawab soal perlambatan ekonomi, walau agak berhasil menggugah kebanggaan emosional yang bersifat sesaat dan memainkan otak reptil pembaca. Akan tetapi, itu semua tidak lebih dari hiburan retoris.

Narasi statistik hanya mengalihkan sorotan dengan angka-angka lain yang tampak lebih cerah. Alhasil, publik dibawa berputar di lorong-lorong data yang semu dan mengaburkan inti persoalan. Kontra narasi seperti itu, “bak maeto kain saruang” saja. Sia-sia!!! Semakin dijawab semakin lucut ditampar fakta.

Darrel Huff dalam buku How to Lie with Statistik sudah mengingatkan bagaimana angka bisa dipakai untuk menipu. Angka tidak pernah bohong, tetapi orang yang memilih, mengolah, dan menyajikannya bisa dengan mudah membuatnya tampak sesuai keinginan. Strategi komunikasi politik yang jamak dilakukan seperti penggunaan grafik, pemilihan data yang menguntungkan, dan dikemas dengan narasi-narasi utopis. Publik yang awam dengan metodologi statistik pun akhirnya luluh, terpesona oleh tabel dan persentase. Namun, pada titik ini publik harus sadar, bahwa bukan data yang berbahaya, melainkan cara data dipakai untuk menutup kenyataan.

Mark Twain dalam Autobiography of Mark Twainmenyebutkan, “There are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics.” Statistik bukan sekadar berfungsi sebgai alat penjelas saja, melainkan bisa berubah menjadi tirai-tirai lusuh yang menutupi kenyataan. Perlu dipupuk kewaspadaan bahwa data danangka apapun bisa dipoles, tetapi realita tak bisa ditipu selamanya. Statistik bisa dijadikan tirai untuk menyurukkan kenyataan dan itu penanda bahaya.

Padahal, inti persoalan bukan terletak pada angka dan data yang bisa dipilih seenaknya. Ini soal arah, kepemimpinan, dan keberanian menata prioritas. Pembangunan ekonomi tidak bisa disulap dengan postingan media sosial dan atau filosofi kultural yang diulang-ulang. Pembangunan harus diukur dari kerja nyata yang terstruktur, konsisten, dan berkelanjutan. Perlu ada kebijakan yang tajam, prioritas yang jelas, dan keberanian untuk bekerja serius di ruang-ruang hening yang tidak disorot kamera.

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Energi besar tercurah untuk mengelola citra, bukan mengelola tantangan nyata. Bahkan, tak jarang pula ada Aparatur Sipil Negara yang dieksploitasi untuk menjadi buzzergratisan. Diperintahkan untuk membuat postingan keberhasilan dan merapikan narasi pencitraan secara masif, alih-alih fokus pada tugas utamanya. Pemerintah akhirnya lebih mirip seperti jasa biro iklan. Atau lebih bahaya lagi, apakah budaya “asal bapak senang” masih bersemayam di dalam prilaku birokrasi kita?

Kontra narasi yang digulirkan pun sarat paradoks. Di satu sisi, publik diajak percaya bahwa orang Minang tidak pernah kalah, karena masih mampu membeli kendaraan bermotor dan memiliki sertifikat tanah. Di sisi lain, fakta tetap tak terbantahkan bahwa kapasitas produksi dan pertumbuhan ekonomi Sumbar berada di papan bawah nasional. Filosofi budaya tidak bisa dijadikan alasan pembenar bagi kinerja yang kusut masai itu. Sampai kapan kita mau terjebak dalam glorifikasi, sementara kenyataan pahit terus menghentak?

Tulisan ini dibuat bukan untuk mendeskripsikan kebencian, melainkan sebagai bentuk kecintaan pada Sumbar dan pemimpinnya. Dengan alasan cinta itulah sepahit apapun nuansa batin harus disampaikan. Apalagi ketika pemerintah sendiri mengusung slogan “Gerak Cepat untuk Sumbar.” Gerak cepat itu seharusnya hadir dalam manajemen kepemimpinan dan berdampak pada pembangunan, keberanian mengubah prioritas, dan ketegasan melawan stagnasi. Gerak cepat itu bukan soal cepat menanggapi caruik saja, tetapi cepat menanggapi kebutuhan rakyat. Tak usah pula meracau dengan setiap kritikan yang datang.

Berhentilah berpura-pura bekerja di depan kamera, lalu panik setiap kali linimasa gaduh dengan “caruik” warganet. Mulailah bekerja serius di ruang-ruang yang sepi sorotan, tapi nyata dampaknya bagi rakyat. Popularitas tidak akan pernah bisa menjawab persoalan nyata. Citra manipulatif hanya menunda kekecewaan. Sekali kekecewaan itu meledak, pencitraan sehebat apapun hanyalah bahan ejekan.

Pada akhirnya, kita tidak butuh pemimpin yang lihai membantah dan beretorika. Publik sudah terlalu sering disuguhi angka dan kata-kata. Mungkin sudahsaatnya menunggu aksi nyata. Jangan biasakan menutupi minimnya prestasi dengan membangun mimpi yang tak akan pernah diwujudkan. Kita tidak butuh kelihaian dalam membantah fakta.

Disclaimer: Penulis bukan ekonom, bukan pula pengamat statistik. Hanya seorang yang ingin melihat daerahnya kembali dikenal karena prestasi nyata, bukan karena narasi kultural atau data yang dipoles sedemikian rupa.

Baca Juga

Trickle-Down Effect: “Mitos yang Gagal Menetes”
Trickle-Down Effect: “Mitos yang Gagal Menetes”
Mencermati analisis Statistik Pendidikan Indonesia yang diluncurkan Badan Pusat Statistik pada 2023 lalu, terutama jenjang perguruan tinggi.
Membaca Ulang Hubungan Teater dengan penontonnya: Catatan Festival Teater Sumatra Barat 2025
110 Siswa Keracunan MBG di Kabupaten Agam, Pemkab Tetapkan KLB dan SPPG Ditutup Sementara
110 Siswa Keracunan MBG di Kabupaten Agam, Pemkab Tetapkan KLB dan SPPG Ditutup Sementara
54 Siswa SD di Kabupaten Agam Diduga Keracunan MBG
54 Siswa SD di Kabupaten Agam Diduga Keracunan MBG
Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Para pedagang toko Pasar Raya Padang mengaku usaha mereka dibunuh Perwako 438.
Pemprov Sumbar Umbar Capaian Ekonomi, Pengamat: Jangan Silau dengan Angka-angka
Banjir yang melanda satu kecamatan di Kabupaten Solok Agustus tahun lalu.
Peringatan Dini Cuaca Ekstrem, Pemprov Sumbar Tetapkan Status Siaga Darurat