Langgam.id - "Waktu itu jam empat pagi. Mungkin jam lima. Aku berbaring di tempat tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku nyalang sama sekali. Malam itu adalah malam yang sunyi sepi. Tiada terdengar suara yang ganjil. Sesungguhnya, pun tidak terdengar suara yang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang.
Tiba-tiba mereka terbangun oleh bunyi yang semakin santer. Mula-mula menderu seperti guntur. Suara yang menggulung-gulung itu semakin keras, semakin keras, semakin keras lagi. Bunyi yang menakutkan dan membikin badan jadi dingin membeku adalah gunturnya kereta-kereta berlapis-baja dan tank-tank dari balatentara berjalan-kaki berbaris memasuki Kota Padang. Jepang sudah datang."
Ir. Sukarno menceritakan kesannya saat Jepang tiba di Padang tersebut, kepada Cindy Adams, yang kemudian menulisnya di Buku 'Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' (1966).
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan merinci tanggal yang dimaksud Bung Karno. "Sebagai bagian dari Perang Asia Timur Raya, tanggal 17 Maret 1942, angkatan perang Dai Nippon memasuki Kota Padang," tulisnya dalam Buku 'Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC Hingga Reformasi' (2006). Peristiwa itu, tepat terjadi 77 tahun yang lalu dari hari ini, Ahad (17/3/2019).
Pada hari kedatangan Jepang tersebut, Bung Karno kira-kira sudah sepekan berada di Padang. Ia bebas dari tawanan Belanda karena mereka melarikan diri dari Jepang yang akan masuk ke Padang. Sebelumnya, Bung Karno dibawa Belanda dari pembuangannya di Bengkulu ke Padang, dengan berjalan kaki. (Baca: Ultimatum Jepang dan Cerita Gerobak Sapi Bung Karno Menuju Padang).
Setelah sampai di Padang, saat menunggu Jepang datang, Sukarno bahkan sudah sempat menggelar rapat dengan tokoh masyarakat dan berpidato di Padang. Ia mengimbau agar jangan melakukan perlawanan kepada tentara Jepang yang sangat kuat secara militer, sementara kita tidak bersenjata. (Baca: Akhir Hindia Belanda, Sukarno dan Suasana Padang Jelang Jepang Datang).
Menurut Gusti Asnan, hanya dalam hitungan hari seluruh wilayah Sumatra Barat berada dalam kontrol Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang yang ditugaskan menguasai Sumatra.
"Jepang disambut dengan teriakan 'banzai', serta lambaian Merah Putih dan Hinomaru oleh penduduk," tulis Gusti.
Bung Karno menyampaikan hal serupa. "Di setiap jalanan, Jepang disambut dengan sorak-sorai kemenangan," katanya kepada Cindy Adams. "Apa sebabnya ini?" tanya Waworuntu, kawan Bung Karno, tempat ia menumpang selama di Padang.
"Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan-tuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang mendepaknya keluar. Di samping itu, tuan-tuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu bertekuk-lutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka," ujar Bung Karno.
Namun, di samping itu, menurut Gusti Asnan, penyambutan terhadap Jepang sudah disiapkan secara sistematis sejak lama. "Sambutan suka cita dari penduduk itu diperkirakan terjadi karena adanya pendekatan oleh intelijen dan pemerintah Jepang sebelum kedatangan mereka," tulisnya.
Diduga, menurut Gusti, sebagian dari orang Jepang (mulai dari pengusaha dan para tukang, hingga pekerja seks) yang sejak dekade kedua abad ke-20 bermukim dan berusaha di Sumbar, adalah bagian dari anggota intelijen. Menurutnya, mereka dikirim guna melapangkan jalan bagi okupasi Jepang.
Ada pula, kata Gusti, peranan Fujiwara Kikan (F-Kikan), pasukan penelusup yang sudah melakukan infiltrasi sebelum pendaratan pasukan utama Jepang. Pasukan yang diorganisir di Tokyo sejak 1941 itu, menurutnya, sudah merekrut 10 orang di Sumatra (lima di antaranya di Sumbar) untuk membantu Jepang masuk ke Sumatra.
Di samping itu, pendekatan kepada tokoh agama yang didekati dan diundang dalam acara Jepang, dinilai tak dapat dikatakan kecil pengaruhnya. "Bila tokoh agama dan agama dihargai, secara sadar atau tidak, orang yang menghargai itu (Jepang) turut dihargai serta disambut dengan baik," tulis Gusti.
Setahun pertama di Sumbar, Jepang melakukan konsolidasi pemerintahan. Awalnya, Sumatra dibagi menjadi 10 Shu (identik dengan residen pada masa Belanda atau provinsi pada masa sekarang) menginduk ke Singapura. Setahun setelah itu, seluruh Sumatra berinduk ke jantung Sumatra Barat.
Pada Mei 1943, Bukittinggi resmi menjadi pusat pemerintahan Jepang di Sumatra. Karena itu pula, pertahanan tentara Jepang di kota ini disiapkan dengan lebih kuat. Termasuk dalam hal, lubang pertahanan yang dikenal sebagai Lubang Jepang yang masih bisa dilihat hingga kini.
Pada masa-masa itulah, Jepang mengadakan pendekatan ke mana-mana. Namun, pada masa itu pula karakter penjajahannya sudah terbaca oleh masyarakat.
Hal yang sebenarnya sudah terlihat satu-persatu sejak awal. Di seberang jalan dari tempat Bung Karno berdialog dengan temannya Waworuntu di hari pertama Jepang sampai di Padang, seorang serdadu memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan. Saat itu, Waworuntu bertanya kepada Bung Karno, "Apakah Bung juga menjambutnya sebagai pembebas?"
Bung Karno menjawab, "Tidak! Saya tahu siapa mereka. Saya sudah melihat perbuatan mereka di masa yang lalu. Saya tahu bahwa mereka orang fasis. Akan tetapi sayapun tahu, bahwa inilah saat berakhirnya imperialisme Belanda. Pun seperti yang saya ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Jepang. Disusul kemudian dengan menyingsingnya fajar kemerdekaan, di mana kita bebas dari segala dominasi asing untuk selama-lamanya."
Menurut Bung Karno, ketika tentara Jepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah Putih. "Rakyat menyangka mereka
dibebaskan. Setelah berabad-abad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami Sang
Merah Putih yang suci itu melambai-lambai dengan megahnya. Akan tetapi tidak lama, segera keluar pengumuman yang ditempelkan di pohon-pohon dan di depan toko-toko, bahwa hanyalah bendera Matahari Terbit yang boleh dikibarkan. Serentak dengan kejadian ini, yang terasa sebagai suatu tamparan. 'Pembebasan' Kota Padang tidak lama umurnya."
Ir. Sukarno kemudian memang menjadi target Jepang. Ia didatangi dengan sangat santun oleh Komandan Tentara Jepang di Padang Kapten Sakaguchi yang menyatakan menghormatinya dan ingin menjaganya.
Pernyataan yang kemudian hari berbuntut, dengan banyak permintaan saat Sukarno diminta datang ke Bukittinggi untuk bertemu dengan Kolonel Fujiyama, komandan tentara Jepang di Sumatra. Sukarno mulai memainkan banyak peran di masa Jepang setelah kembali ke Batavia lima bulan kemudian dan membuat kesepakatan dengan Hatta dan Sjahrir. (HM)