Ada beberapa definisi dari kata tuah. Tuah dapat berarti kebahagiaan, kekuasaan, kemasyuran, kehebatan dan keistimewaan. Secara teoritik makna kata itu tergantung dari kolokasi dan konteks penggunaan. Beberapa contohnya seperti ’tuah sakato’ (tuah sekata), ’pangulu basa batuah’ (pangulu besar bertuah), ’maajan-ajan tuah’ (mengejan-ejan tuah), ’tuah bagele’ (tuah bergilir). Makna ’tuah’ dalam ’tuah bagele’ dapat berarti kekuasaan.
Tuah bagele adalah salah satu sistem pemilihan yang lazim tumbuh di dalam masyarakat tradisional Minangkabau. Sistem ini biasa dipakai untuk menunjuk pemimpin suatu nagari; nagari yang terbentuk atas federasi empat suku besar. Perwakilan dari masing-masing suku secara bergilir menjadi pemimpin nagari, seperti penunjukan ketua Kerapatan Adat Nagari. Tentunya sistem ini tidak sama dengan sistem pemilihan demokrasi modern yang berbasis individu atau tidak sama dengan sistem penentuan raja dalam sistem aristokrat.
Penting untuk memperhatikan hubungan antara kepemilikan tanah dengan sistem kekuasaan yang ditumbuhkan di atasnya. Dalam sistem feodal, tuan tanah memiliki kekuasaan karena kepemilikan atas tanah dan orang-orang yang hidup dari tanah itu adalah pengikutnya dan dibawah perlindungannya. Kesetiaan dan kepatuhan menjadi pengikat antara yang dipimpin dengan yang memimpin. Dalam sistem ini, tidak mungkin pengabdi akan menjadi pemimpin.
Berdasarkan untaian sejarah, feodalisme ini kemudian menguatkan keberlangsungan sistem kerajaan. Untuk konteks Eropa, mengkawin-kawinkan sesama anak keturunan raja tentunya berkaitan dengan memperkuat kekuasaan atas tanah dan orang-orang yang hidup dari tanah itu. Distribusi kekuasaan dan distribusi pengolahan tanah kemudian terjadi dari rapat-rapat keluarga saja. Pengangkatan siapa yang menjadi penguasa di suatu wilayah tidak lebih lahir dari perbincangan makan malam orang-orang bertahta tersebut.
Modernisme membawa sistem ekonomi yang tidak saja bertumpu pada usaha pengolahan tanah. Namun praktek kekuasaan tetap menggunakan ruh feodalisme. Situasi ini bagi sebagian orang yang merasa tertindas memunculkan ide komunisme atau sosialisme. Kaum buruh mencoba membebaskan dirinya dari kesetiaan. Pengotakan kelas sosial yang keras sulit dicairkan karena berdasarkan garis keturunan dan kepemilikan aset. Dalam konsep negara modern, sosialisme kemudian menghilangkan sistem kepemilikan individu. Sistem kekuasaan seperti ini tentu tidak disukai oleh kaum kapitalis.
Lain pula dengan sejarah kekuasaan di tanah jajahan. Orang-orang Eropa melancong ke tanah-tanah bangsa lain. Mereka merampas tanah dan kemudian mendirikan negara yang mereka sebut dengan state. Contoh yang paling baik adalah negara Amerika Serikat. Negara baru yang didirikan atas dasar kolonialisme. Sejarah kepemilikan tanah dipotong, dibuat baru. Berbagai bangsa Eropah yang mencokol di sana kemudian membuat kesepakatan. Karena itu adalah perundingan sesama pendatang, maka hak individu yang merdeka dari feodalisme, kukuh berdiri. Inilah akar dari demokrasi yang berbasis kemerdekaan individu.
Minangkabau memiliki sejarah pembentukan nagari-nagari. Sejarah sosial berhubungkait dengan bentuk kekuasaan dan pembagian kekuasaan. Sekelompok orang meneruka lahan baru. Membentuk peladangan. Menciptkan sistem ekonomi untuk menghidupi dusun. Membuat jalan untuk berdirinya kota. Menyusun barih balobeh sebagai dasar konstitusi berdirinya suatu nagari. Setiap orang mengakui orang asal yang lebih dahulu menempati tanah. Bagi yang kemudian datang diberi hak pengolahan tanah dan rumah gadangnya kemudian didirikan bersama. Dididirikanlah soko (gelar adat) atas dasar kepemilikan tanah (pusoko). Soko pun diwariskan seperti halnya pusoko. Kekuasaan tidak berdasarkan eksistensi individu, tapi komunal kaum.
Visi utama pengelolaan suatu nagari adalah untuk menciptakan ’salamaik-samparono’ bagi kehidupan anak-kemenakan. Yang menjadi pagaran dari pengelolaan itu adalah malu; malu yang juga berada di tataran kaum. Jadi jika individu menciptakan malu, itu adalah malu bagi kaum. Harta akan digunakan untuk menutup malu ini. Begitulah sistem harga diri di Minangkabau; menjaga malu lebih penting dari pada sekedar memiliki pusaka. Hilang dari malu adalah cara menuju salamaik-samparono. Keadilan dan moralitas bersandar ke sini.
Perlu dicatat bahwa pengelompokan empat suku besar tidak lah sama dengan partai politik. Empat suku besar memiliki histori yang badaulu-bakudian. Mereka yang datang lebih dahulu memiliki lebih banyak penguasaan tanah. Hal ini dapatdilihat dari jumlah soko yang dibangun. Kelompok kaumyang kemudian datang tentu memiliki jumlah pangulu yang lebih sedikit sehingga pemilikan pusaka juga lebih sedikit. Partai politik tidak bersandar kepada kepemilikan tanah atau hak historis. Mungkin partai politik saat ini lebih bersandar kepada pemilik modal, yang pada akhirnya juga berkaitan dengan penguasaan tanah. Malu tidak dapat dibagi; suku tidak dapat diasak, sementara partai boleh berbeda walau dalam satu keluarga.
Dengan perbedaan historis dan perbedaan relasi dengan tanah, maka sistem pemilihan pimpinan wilayah adat lebih tepat menggunakan sistem tuah bagele. Gadang karena diambak; tinggi karena dianjuang. Mengkikat padi dengan daunnya. Bulek kato dek mufakat. Basamo mangko manjadi. Pituah-pituah adat ini bernafas non-individual. Komunalitas menjadipokok dari tercapainya keadilan dan kemaslahatan.
Sementara sistem demokrasi mewujudkan kekuasaan kepada hak individu. Satu orang satu suara. Semua orang memiliki hak yang setara. Hak historis dan relasi dengan tanah tidak terwakili di sini. Konsepsi yang serupa ini berterima dalam konteks negara modern seperti Amerika Serikat. Mereka datang dari Eropa dan membagi-bagi tanah kekuasaan dengan semangat kebebasan dari feodalisme dan belenggu agama. Sesama mereka secara terbuka saling berkompetisi. Siapa yang menang berkuasa akan memerintah, dan yang kalah akan menjadi oposisi. Sistem harga diri dan malu juga dibentukoleh sistem ini.
Minangkabau tidak mungkin menciptakan oposisi. Hal iniberlawanan dengan sistem malu dan sistem harga diri. Tidak mungkin dalam suatu keluarga terdapat satu anggota partaipemerintah dan anggota keluarga yang lain adalah anggotapartai oposisi. Kacau lah sistem malu. Artinya, sistemdemokrasi yang berbasis individu tidaklah cocok dalampemilihan atau penunjukan pemimpin wilayah adat. Itu dapat dipakai untuk penunjukan kekuasaan dalam relasi modern. Tuah bagele adalah cara yang baik dalam menata malu dan moralitas anak-kemenakan Minangkabau tradisional.[]
Nofel Nofiadri adalah Dosen UIN Imam Bonjol Padang







