BEBERAPA waktu lalu, kita dihebohkan oleh aksi sekelompok anak muda yang mengakui diri mereka sebagai anak ideologis Bung Karno. Mereka dengan semangat ala pemuda mengebu-ngebu menyuarakan protes. Penyebabnya adalah rumah persinggahan Bung Karno di Kota Padang, Sumatera Barat telah dirobohkan. Ini terbilang hal positif mengingat masih ada anak muda yang memiliki hubungan erat dengan sejarah.
Berbicara tentang Bung Karno juga mengingatkan kita akan Bung Hatta, begitu juga sebaliknya. Iwan Fals juga menyatakan hal yang sama dalam lirik lagunya.
“Terlintas nama seorang sahabat (Bung Karno).
Yang tak lepas dari namamu (Bung Hatta)…“
Sebuah lagu yang mungkin sudah jarang diputar dan terlupa dari ingatan kita bersama. Lagu tersebut berjudul Bung Hatta.
Baca Juga: Duka Saat Bung Hatta Berpulang
Karena itu, mendekati tahun pemilu ini mari kita menggali kembali ingatan kita atas Bung Hatta. Kali ini bukan kisah tentang Bung Hatta dan sepatu Bally, atau kisah Bung Hatta menjadikan buku Alam Pikiran Yunani miliknya sebagai mahar, bukan juga kisah tentang Bung Hatta yang tidak mau dimakaMkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Kita akan mengingat kembali Bapak Proklamator ini lewat bukunya yang berjudul “Demokrasi Kita”.
Demokrasi Kita
Tulisan ini dibuat tahun 1960 dan dimuat dalam majalah Islam yang dipimpin oleh Buya Hamka yaitu Pandji Masjarakat. Muncul sebagai pengingat atas tindakan Bung Karno di akhir kepemimpinannya yang dinilai mengancam demokrasi. Walau sempat dilarang untuk terbit, dibaca, dan diedarkan pada saat itu, tulisan ini diterbitkan lagi tahun 1966 menjadi sebuah buku.
Dalam tulisannya, Bung Hatta mengawali dengan menyorot pertentangan idealisme dan realita yang terjadi pada pemerintahan Presiden Soekarno saat itu. Seperti tindakannya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, pembubaran Konstituante yang dipilih rakyat, dan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat pilihan Presiden Soekarno sendiri.
Alasan Presiden Soekarno saat itu adalah revolusi Indonesia untuk mencapai adil dan makmur berlum selesai. Dia tidak menentang demokrasi karena semua yang dilakukan bersifat sementara. Sampai tercapainya demokrasi gotong royong yang lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia. Itu juga bentuk penolakan Bung Karno atas demokrasi Barat karena bersifat free fight dan menghambat revolusi.
Banyak yang menganggap tindakan tersebut membuat demokrasi lenyap dari Indonesia. Namun Bung Hatta dalam tulisannya menolak anggapan tersebut. Baginya demokrasi Indonesia tidak akan pernah hilang. Karena demokrasi Indonesia berasal dari pengalaman hidup masyarakat.
“Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dalam keinsafan” tulisnya.
Krisis demokrasi yang terjadi disebabkan oleh munculnya semangat demokrasi yang “terlalu demokratis”. Para pemimpin politik lupa bahwa Indonesia baru merdeka. Sistem pemerintahan presidensial diubah menjadi sistem parlementer ala Eropa Barat. Tindakan ini melemahkan dan membunuh karakter dwitunggal Soekarno-Hatta. Padahal wibawa dwitunggal masih begitu penting karena sangat dohormati rakyat. Mereka berfungsi melindungi kabinet dari kecaman dan rasa tidak puas oleh rakyat.
Baca Juga: Antara Persatuan dan Persatean, Polemik Perjuangan Sukarno-Hatta
Ada kelompok yang menilai keberadaan dwitunggal menghalang munculnya pemimpin politik baru. Pandangan kelompok tersebut lupa atas keadaan yang lebih penting saat itu. Demokrasi ala Barat belum cocok dengan Indonesia, daerah Indonesia baru lepas dari zaman kerajaan dan penjajahan. Masih minim praktik demokrasi dalam menjalankan pemerintahan.
Dampak dari sistem parlementer adalah munculnya banyak partai politik. Sejalan dengan itu, untuk memperkuat suara juga menarik orang-orang yang tidak memiliki pengalaman politik. Partai yang banyak juga menandai banyak kelompok kepentingan baru. Sulit membangun koalisi untuk tujuan bersama. Maka tidak heran kabinet sering bertukar karena rusak dari luar dan dalam. Akibatnya pemerintah disibukan oleh persoalan tersebut dan lupa memikirkan masalah yang krusial yaitu ekonomi dan pembangunan.
Kemudian muncul gejolak di masyarakat karena pembangunan yang tidak merata. Pada keadaan yang demikian tentara menangani ketidakpuasan masyarakat itu. Karena peran tersebut, militer merasa mereka juga memiliki hak terlibat dalam pemerintahan. Caranya adalah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan sistem kabinet presidensial. Maka militer mulai masuk ke dalam pemerintahan dan mendukung langkah-langkah Presiden Soekarno.
Itulah situasi yang menyebabkan Presiden Soekarno melakukan tindakan-tindakan yang dinilai tidak demokratis. Walau pada akhirnya tindakan itu juga yang mendorong Presiden Soekarno menjadi pemimpin diktator.
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Sosial
Demokrasi liberal lahir dari peristiwa Revolusi Prancis tahun 1798 yang menjadi dasar demokrasi Barat. Semboyannya adalah “Liberte, Egalite, Fraternite” yang berarti kebebasan, keadilan, dan persaudaraan. Revolusi ini bertujuan untuk menumbangkan sistem feodal dan menekankan kebebasan individu. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, masyarakat biasa dan bangsawan, sama rata dan sama rasa dalam politik.
Namun dalam perekonomian kebebasaan individu menjadi dominan. Maka pesatlah perkembangan kapitalisme dan individualisme. Ini mendorong terjadinya pertentangan kelas yang berujung pada konflik antar. Karena itu gugurlah keadilan serta persaudaraan dalam ekonomi. Melihat itu, pentinglah kiranya demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi untuk benar-benar memerdekakan manusia.
Sistem demokrasi liberal yang demikian tidak cocok dengan Indonesia. Demokrasi di Indonesia dilatari oleh tiga hal. Pertama, paham sosialis Barat yang memperjuangkan kemanusiaan. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan bermasyarakat. Ketiga, sifat kolektivisme masyarkat Indonesia itu sendiri. Dasar itu ditambah dengan pengalaman perjuangan yang tidak hanya ingin melepaskan diri dari sistem feodalisme tetapi juga dari penjajahan Belanda.
Di dalam sistem kerajaan yang feodal, masyarakat Indonesia tetap bersifat demokratis. Tidak hanya itu, tanah sebagai dasar kemerdekaan dan kekuasaan dikuasai oleh masyarakat. Dalam membuat keputusan masyarakat berlandaskan pada musyawarah dan mufakat, kepentingan umum dibicarakan bersama. Dalam melakukan pekerjaan yang berat mereka bergotong-royong. Misalnya membangun rumah, mengerjakan sawah, dan sebagainya.
Itulah demokrasi sosial, walau demokrasi asli Indonesia tersebut tidak selalu bisa dipraktekan, tapi itu bagus sebagai pedoman bermasyarkat yang demokratis. Karena bersumber dari jati diri bangsa Indonesia itu sendiri.
Bung Hatta menengaskan selain demokrasi sosial juga penting demokrasi ekonomi. Karena itu dia menyatakan bahwa koperasi adalah wujud dari demokrasi ekonomi. Koperasi memuat semangat gotong royong dan keadilan. Dia meyakini, hanya dengan koperasilah kemakmuran untuk rakyat bisa terwujud.
Indonesia Hari Ini
Demokrasi kita yang ditulis oleh Bung Hatta tidak hanya berlaku di zamannya. Apa yang Bung Hatta tulis bisa menjadi refleksi dalam melihat Indonesia kita hari ini. Survei Litbang Kompas terbaru pada Februari 2023. Tentang tingkat kepuasan publik menempatkan partai politik (52%), Polri (50%), dan DPR (49%) di urutan akhir dari 12 lembaga negara. Ini menjadi sebuah sinyal atas kekecewaan masyarakat pada pemerintahan hari ini. Dalam tulisannya, Bung Hatta mengingatkan pentingnya kesadaraan akan tanggung jawab dan toleransi dalam bernegara.
Dalam berbagai lembaga negara sangat penting berpegang pada the right man in the ringt place atau memberikan posisi kepada orang yang tepat. Bukan hanya sedekar loyalitas dan kepentingan, apalagi kepentingan partai. Itulah yang dikritik Bung Hatta atas semakin banyaknya partai dan kepentingan. Mereka lebih mengutamakan golongan sendiri daripada mengutamakan masyarkat banyak. Berupaya masuk ke pemerintahan guna mengumpulkan modal untuk jaminan dan biaya pemilu selanjutnya. Akhirnya korupsi dan demoralisasi mengerogoti kekuasaan.
Maka dari itu, kita perlu memahami lagi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Karena di dalamnya tertuang cita-cita bangsa yang luhur. Yaitu menentang penjajahan atas dasar kemanusiaan dan keadilan, meyakini kemerdekaan mereka atas berkat Tuhan dan menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta menciptakan perdamaian dunia.
Karena itulah kita juga harus memahami Pancasila. Sebab Pancasila berdiri diatas dua kaki. Kaki pertama bernama moral yang berlandaskan pada Ketuhanan yang Maha Esa. Dan kaki kedua bernama politik yang berlandaskan pada kemanusian, demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka sudah sepatutnya masyarakat dan para perwakilannya di pemerintahan setia kepada moral dan kebenaran. Karena demokrasi Pancasila bukan demokrasi-demokrasian atau topeng belaka.
Menuju Pemilu 2024
Hari ini, jika kita mencoba merenungkan dan melihat bangsa kita. Terdapat banyak hal-hal yang tidak menyenangkan. Menyaksikan masyarkat yang semakin tenggelam dalam konstruksi demokrasi liberal yang berbeda dari cita-cita kita bersama.
Praktik kapitalisme yang merusak kehidupan kita bernegara, merusak kehidupan kita bermasyarakat, dan merusak kehidupan kita dengan alam. Dari yang demikian itu terkikislah karakter bangsa, begitu juga dengan budaya dan kearifan lokal serta ketersediaan pangan kita. Menimbulkan budaya impor, budaya hutang, pekerjaan yang tidak mengsejahterakan, kelaparan, kemiskinan dan ketidakpedulian serta konflik agraria. Tanah sebagai kedaulatan masyarakat dierbut untuk kepentingan golongan. Sebenarnya semua itu sudah diperingatkan Bung Hatta kepada kita “tanggung jawab dan toleransi” serta setia kepada masyarakat banyak.
Dan jika kita pergi ke kampus yang diresmikan Bung Hatta pada 13 September 1956. Walau tanggal itu selalu diperingati sebagai hari jadi, tapi tidak akan kita dapati patungnya sebagai pengingat kita bahwa dia pernah ada. Akan sulit kita temui fakultas yang mengajarkan demokrasi ekonomi yang wujud konkretnya koperasi. Begitu juga dengan demokrasi sosial yang tidak akrab ditelinga mahasiswa. Maka secara tidak langsung, untuk kedua kalinya dia mati dan kali ini dalam ingatan serta pikiran kita.
Saat kita menyadari itu semua, sudah waktunya kita membaca kembali sejarah. Kesalahan yang telah terjadi kita gunakan sebagai antisipasi. Pencapaian yang belum maksimal kita jadikan sebagai evaluasi. Kehebatan masa lalu kita jadikan motivasi. Sejarah selalu memberikan kita harapan untuk kehidupan demokrasi yang lebih baik. Karena itu, semangat Anak Ideologis Bung Karno patut dihargai. Mereka mereka mengingatkan kita akan peran besar anak muda dalam menjaga sejarah lewat semangatnya.
Jika sudah demikian, dengan lapang hati kita akan melangkah menuju tahun 2024. Mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup kita memilih atas kesadaran sendiri. Seperti keyakinan Bung Hatta dalam Demokrasi Kita bahwa demokrasi akan selalu ada, begitu juga dengan semangat anak muda. Angin perubahan selalu berhembus di setiap generasi yang menyadari tanggung jawab mereka untuk perubahan itu.
“Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi baru dihargai apabila hilang sementara waktu”
Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita (*)
Andrezal adalah mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unand