Langgam.id - Pagi itu, mendung berarak masih menyelimuti hamparan tanah di Nagari Kapa, Pasaman Barat. Di tengah jalan yang menghubungkan lahan pertanian, sebuah barisan manusia terbentuk. Deretan perempuan tua berkerudung terlihat berhimpun rapi di tengah jalan, sebagian besar berusia lanjut, mengenakan pakaian yang tampak lusuh. Wajah-wajah mereka mencerminkan keteguhan, penuh keriput yang bercerita tentang tahun-tahun kerja keras di ladang. Di hadapan mereka, sebuah alat berat—bulldozer—berdiri angkuh, dijaga aparat.
Suasana tegang. Namun tiba-tiba, suara yang lirih namun syahdu mulai terdengar. Sebuah lagu yang diambil dari "Buruh Tani" diubah nadanya menjadi lebih tenang, namun sarat makna. "Demi sesuap nasi, apa pun kita hadapi…" Lirik itu dilantunkan oleh para perempuan petani dengan penuh khidmat. Di antara suara yang mengalun, seorang perempuan bernama Atnurmely (50) menjadi pemimpin nyanyian itu, suaranya pecah namun tak kehilangan kekuatan.
Lagu itu bukan hanya sekadar nyanyian bagi mereka. Itu adalah seruan perjuangan, sebuah doa yang mewakili hidup dan mati mereka di tanah ulayat yang telah mereka rawat beberapa tahun belakang. "Tanah ini adalah hidup kami," ujar Atnurmely ketika ditanya apa yang membuat para perempuan ini bersikeras mempertahankan lahan tersebut, Sabtu (05/10/2024). "Kalau tidak ada lahan ini, kami tidak tahu lagi harus bagaimana. Di sini kami bertani, di sini kami mendapatkan uang untuk makan, menyekolahkan anak-anak, dan menghidupi keluarga."
Atnurmely, bersama dengan sekitar 200 keluarga lainnya, telah lama menjadi bagian dari konflik agraria ini. Selama lima tahun terakhir, lahan yang mereka kelola berada di bawah ancaman perusahaan sawit PT Permata Hijau Pasaman 1 (PHP 1). Perusahaan itu, menurut keterangan dari warga dan Serikat Petani Indonesia (SPI), terus-menerus mencoba menggusur tanah tersebut untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, meski tanah ini telah diklaim warga sebagai hak ulayat masyarakat adat Nagari Kapa.
"Ini bukan hanya tentang tanah," lanjut Atnurmely. "Ini tentang kehidupan kami. Kalau tanah ini hilang, kami akan kehilangan semuanya." Atnurmely menjelaskan bahwa hampir semua perempuan yang berada di barisan itu berusia di atas 40 tahun, banyak di antara mereka adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani. "Kalau bukan dari tanah ini, kami tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada lahan lain yang bisa kami garap, dan kesempatan kerja untuk kami, perempuan-perempuan tua ini, juga sangat sedikit."
Kehidupan warga di Nagari Kapa sebagian besar memang bergantung pada tanah pertanian. Lahan tersebut menjadi satu-satunya harapan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Atnurmely menuturkan, di lahan itu mereka menanam padi, jagung, dan tanaman lain yang menjadi sumber utama pangan bagi masyarakat. "Setiap butir nasi yang kami makan, kami dapatkan dengan keringat sendiri. Tanah ini juga bukan hanya untuk kami, tapi untuk anak cucu kami di masa depan. Jika kami menyerah, mereka tidak akan punya apa-apa lagi."
Sembari terus bercerita, kenangan tentang bagaimana tanah itu menjadi pusat kehidupan masyarakat mengalir begitu saja dari lisannya. "Kami bekerja di sini pagi sampai sore, meski sudah tua. Tapi kami lakukan itu demi anak-anak kami. Tanah ini adalah harta kami yang paling berharga," ucapnya.
Tapi, pertarungan untuk mempertahankan tanah ini tidak pernah mudah. Sehari sebelumnya, Atnurmely bersama sembilan petani lainnya sempat dibawa oleh aparat kepolisian ke Polda Sumbar. Mereka ditangkap karena dianggap menghalangi operasi perusahaan. Namun, alih-alih gentar, penangkapan itu justru semakin memicu semangat perjuangan warga. "Kami ditangkap polisi, ya tidak apa-apa. Kalau memang harus mati demi tanah ini, kami sudah siap. Tanah ini lebih dari sekadar tanah, ini hidup kami."
Bersamaan dengan kisah Atnurmely, dzikir dan ayat-ayat suci terdengar mengiringi barisan perempuan petani yang tak beranjak dari posisinya. Meski menghadapi bulldozer dan polisi, mereka tidak bergeming. Sembari melantunkan doa dan lagu perjuangan, mereka tampak tegar, menahan laju alat berat perusahaan yang ingin memasuki lahan.
Diki Rafiki, Koordinator Advokasi dari LBH Padang, menjelaskan bahwa konflik agraria di Nagari Kapa sebenarnya sudah berlangsung sejak 1997, namun tak kunjung terselesaikan. Pada tahun 2024, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) bahkan telah menetapkan tanah ini sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), tetapi penggusuran tetap dilakukan oleh perusahaan sawit dengan dalih kepemilikan lahan.
"Masyarakat telah mengajukan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sesuai dengan Peraturan Presiden tahun 2023. Namun, hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang jelas, dan tindakan perusahaan yang terus-menerus melakukan penggusuran sangat disayangkan," katanya, Jum'at (04/10/2024).
Kini, para perempuan petani itu tetap bersiaga, menunggu datangnya keputusan yang berpihak pada mereka. Di tengah suasana yang penuh ketidakpastian, mereka bersatu, menggenggam harapan dalam keteguhan. Bagi Atnurmely dan kawan-kawannya, pertarungan ini bukan hanya soal mempertahankan sebidang tanah, tetapi mempertahankan kehidupan generasi mereka, juga masa depan anak cucu mereka.
"Demi sesuap nasi, apa pun kita hadapi," begitu lirik lagu yang mereka nyanyikan dengan penuh khidmat, seakan menjadi sumpah tak tertulis yang akan terus mereka junjung hingga akhir perjuangan. (*/Yh)