Merantau telah lama menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Secara historis, kaum muda berani merantau jauh dari rumah, didorong oleh janji peluang yang lebih baik di negeri orang. Namun, saya berpendapat bahwa sebaiknya hanya 5% teratas orang Sumatera Barat, terutama yang berbakat secara intelektual, yang merantau. Creme de la creme. Individu-individu ini lebih mungkin untuk berkembang dan memberikan kontribusi signifikan di tempatnya orang-orang terbaik. Sisanya, sebaiknya tetap tinggal di Ranah Minang, membangun ekonomi dan sosial kampung halaman.
Saya sendiri adalah perantau, namun ini adalah adalah pilihan terakhir yang terpaksa diambil, didorong oleh kurangnya peluang kerja di kampung halaman. Idealnya, saya lebih suka tetap tinggal, dikelilingi oleh keluarga besar saya. Keputusan untuk merantau bukanlah yang diambil dengan ringan, melainkan karena kebutuhan. Pengalaman pribadi ini membuat saya mendorong pendekatan yang lebih strategis terhadap merantau, yang tidak menguras sumber daya manusia di nagari-nagari kita.
Bagi mereka yang mencari pekerjaan kasar atau posisi dengan upah minimum, tidak perlu meninggalkan ranah. Demikian pula, mengejar gelar sarjana tidak harus mengharuskan merantau, karena ada institusi terkemuka di Sumatera Barat yang dapat memberikan pendidikan yang solid. Tanggung jawab kolektif kita adalah menciptakan peluang kerja yang beragam bagi kaum muda kita dan meningkatkan Perguruan Tinggi di Sumbar sehingga menjadi pilihan utama bagi mahasiswa di seluruh negeri.
Mengkritik tradisi merantau mungkin sedikit naif dan kontroversial, tetapi hal ini perlu dilakukan. Eksodus kaum muda kita telah membuat nagari-nagari menjadi lengang, mengurangi perputaran uang dan menghambat aktivitas ekonomi. Pada masa kecil saya, buah-buahan seperti rambutan dan jambu biji tidak pernah matang di pohon karena anak-anak dengan antusias memetiknya. Sekarang, buah-buahan ini sering membusuk di batang, sebuah bukti betapa sepinya nagari-nagari kita saat ini. Mungkin juga ada faktor keberhasilan program KB. Tapi apapun itu, kampung kita terasa lengang di hari-hari biasa. Mungkin ramainya hanya ketika hari raya tiba.
Catatan sejarah dari era kolonial mengungkapkan bahwa pada awal abad ke-20, Pelabuhan Teluk Bayur di Padang adalah salah satu pelabuhan utama di Indonesia, sebanding dengan yang ada di Batavia, Semarang, Makassar, dan Surabaya. . Sebuah posisi penting yang menunjukkan besarnya pergerakan arus barang dan orang di masa itu. Saat ini, Teluk Bayur tertinggal jauh di belakang pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, bahkan yang ada di Sumatera. Penurunan ini mencerminkan stagnasi yang lebih luas yang dihadapi oleh Sumatera Barat.
Orang Minangkabau telah lama terwakili di atas proporsi populasi nasional (over representative) di bidang-bidang tertentu, terutama di bidang kedokteran, diplomasi, dan bisnis. Namun, kelompok etnis lain terus maju, dan representasi berlebihan ini mulai memudar. Pergeseran ini tidak selalu negatif; ini adalah kemajuan alami menuju kesetaraan sesama anak bangsa.
Gelombang merantau signifikan yang terjadi pasca-PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada akhir 1950-an dan awal 1960-an telah berkontribusi pada brain drain, karena banyak dari pikiran cemerlang kita pergi dan tidak kembali. Untuk mengatasi hal ini, Sumatera Barat perlu memulihkan sumber daya manusia dan modal untuk merevitalisasi kampung halaman kita.
Upaya seperti ini pernah dicoba sebelumnya. Pada tahun 1980-an dan 1990-an, gerakan Gebu Minang diluncurkan, yang berasal dari "Gerakan Seribu Minang." Setiap perantau didorong untuk menyumbang seribu rupiah kembali ke kampung halaman mereka, jumlah yang sederhana yang dapat terkumpul menjadi modal yang signifikan. Inisiatif ini, yang diusulkan oleh Presiden Soeharto dalam acara Pekan Penghijauan Nasional di Aripan Solok, pertengahan dekade 80an, awalnya mendapat dukungan yang antusias. Berbagai proyek dilaksanakan, termasuk pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di bawah yayasan Gebu Minang untuk memberikan modal kepada pengusaha lokal dan termasuk pembentukan sekolah unggul yang diharapkan dapat menyediakan sumber daya yang cakap untuk memajukan ekonomi Sumatera Barat. Namun, seiring waktu, upaya ini meredup dan gagal membawa perubahan yang berkelanjutan.
Hari ini, sangat penting bagi Sumatra Barat untuk merancang strategi besar untuk mengembangkan diri melalui repatriasi yang efektif. Sumber daya manusia terbaik harus didorong untuk tetap tinggal di Sumatra Barat, berkontribusi pada kemajuan daerah. Selain itu, aliran modal yang terencana dan terarah sangat penting untuk mendorong pembangunan ekonomi regional. Strategi besar ini harus menjadi upaya kolaboratif, yang melibatkan akademisi, pemerintah daerah, pengusaha perantau, dan intelektual perantau.
Langkah pertama dalam strategi ini adalah menciptakan peluang menarik di Sumatra Barat. Ini melibatkan investasi dalam pendidikan dan infrastruktur untuk membuat wilayah ini menjadi tempat yang lebih menarik bagi talenta terbaik. Universitas lokal harus ditingkatkan untuk menawarkan program-program kompetitif yang dapat menyaingi yang ada di bagian lain Indonesia. Dengan demikian, siswa akan memiliki insentif yang lebih sedikit untuk pergi, mengetahui bahwa mereka dapat menerima pendidikan berkualitas dekat dengan rumah.
Secara bersamaan, ekonomi lokal perlu didiversifikasi untuk menyediakan berbagai peluang kerja. Ini membutuhkan pembentukan industri-industri yang dapat berkembang dalam konteks unik Sumatera Barat, memanfaatkan sumber daya dan keterampilan lokal. Misalnya, mengembangkan sektor pariwisata dapat menyediakan banyak pekerjaan dan merangsang pertumbuhan ekonomi, mengingat warisan budaya yang kaya dan keindahan alam di wilayah ini.
Selain itu, upaya harus dilakukan untuk menarik investasi dari diaspora Minangkabau. Ini dapat dicapai melalui inisiatif seperti yang disebutkan sebelumnya, Gebu Minang, tetapi dengan pendekatan modern yang memanfaatkan teknologi saat ini dan konektivitas global. Menciptakan platform bagi diaspora untuk berkontribusi secara finansial dan intelektual ke kampung halaman mereka dapat memanfaatkan potensi mereka yang telah merantau.
Terakhir, sistem dukungan yang kuat bagi perantau yang kembali sangat penting. Ini termasuk menyediakan sumber daya dan bantuan untuk membantu mereka berintegrasi kembali ke dalam ekonomi dan masyarakat lokal. Dengan menawarkan insentif seperti keringanan pajak, hibah, atau pinjaman, daerah ini dapat menarik individu yang terampil kembali ke Sumatera Barat, memastikan bahwa keahlian mereka bermanfaat bagi kampung halaman mereka.
Tradisi merantau perlu dievaluasi ulang. Sementara itu telah membawa peluang bagi banyak orang, juga meninggalkan nagari-nagari kita semakin lengang. Dengan mendorong 5% teratas untuk merantau dan berkembang di lingkungan yang kompetitif sambil memastikan sisanya tetap tinggal untuk membangun dan mengembangkan komunitas lokal kita, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang mendorong pertumbuhan baik di dalam maupun di luar negeri. Upaya strategis dan kolektif yang melibatkan semua pemangku kepentingan—akademisi, pemerintah, pengusaha, dan diaspora—diperlukan untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi Sumatra Barat. Hanya dengan demikian kita dapat berharap melihat nagari-nagari kita penuh dengan aktivitas ekonomi. (*)
Yoss Fitrayadi adalah Praktisi Digital Marketing & Pemerhati Budaya