Oleh: Habibur Rahman
Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada tahun 2020. Khusus di momen-momen seperti Ramadan dan Idul Fitri, pertumbuhan konsumsi tersebut bahkan bisa meningkat hingga tujuh kali lipat.
Fenomena ini menggambarkan betapa kuatnya semangat keberislaman masyarakat Indonesia, terkhususnya dalam berbusana. Di berbagai tempat umum, seperti kafe, tempat acara-acara sosial, dan kerumunan lainnya, perempuan berhijab menjadi pemandangan yang sangat lazim untuk kita saksikan.
Begitu pula dengan pria berjenggot atau bercelana cingkrang yang baru-baru ini sangat menyeruak dimana-mana, yang tidak lagi dianggap asing di kalangan masyarakat, karena adanya perkembangan yang semakin pesat dari waktu ke waktu.
Di samping itu, sebuah hadis dari Riwayat Bukhari mengatakan :
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
"Apa yang menjulur di bawah mata kaki adalah di neraka"
Namun, sering kali hal di atas menjadi landasan argumen sebagian Muslim yang memilih untuk memendekkan celananya hingga di atas mata kaki. Dan, pemahaman terhadap hadis ini sering kali berhenti pada tataran harfiah tanpa mengaitkannya dengan konteks hukum atau ‘illat' (alasan hukum) yang mendasari.
Kita perlu tahu, bahwasanya dalam sejarahnya, Nabi Muhammad ﷺ menginstruksikan umatnya untuk tidak menyerupai tradisi kaum musyrik, seperti bangsa Romawi, yang memanjangkan pakaian hingga menyentuh tanah sebagai simbol keangkuhan dan kemewahan. Dengan demikian, ‘illat' dari larangan isbal bukan semata-mata panjangnya pakaian, tetapi sifat sombong yang melekat dalam perilaku tersebut.
Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq pernah mengkhawatirkan celananya yang terkadang menjulur di bawah mata kaki. Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi, beliau ﷺ bertanya apakah hal itu dilakukan karena kesombongan. Abu Bakar menjawab tidak, dan Nabi pun menegaskan bahwa Abu Bakar tidak termasuk orang yang diancam oleh larangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa fokus utama dari larangan isbal adalah niat dan sifat hati seseorang, bukan semata-mata panjang celana.
Akan tetapi, di era modern ini, konteks budaya dan nilai-nilai masyarakat telah mengalami perubahan. Pakaian yang menjulur ke bawah mata kaki tidak lagi selalu menjadi simbol kesombongan atau keangkuhan. Sebaliknya, kesombongan justru bisa muncul dalam bentuk lain, seperti kebanggaan berlebihan atas merek pakaian yang mahal atau penampilan tertentu yang dianggap lebih Islami, duh islami hehe.
Misalnya, seseorang yang bercelana cingkrang merasa dirinya lebih benar secara syariat dibandingkan mereka yang tidak melakukannya. Ini menjadi tantangan besar dalam menjaga esensi ajaran Islam yang sesungguhnya.
Seorang Sosiolog asal Prancis pernah menyebutkan bahwa identitas sering kali menjadi alat untuk memperoleh legitimasi sosial. Dan itu kita bisa lihat, secara terang benderang hari ini, betapa praktik keagamaan tertentu dapat dijadikan simbol status untuk mendapatkan pengakuan dalam komunitas religius, ya komunitas dengan nama-nama yang mereka buat.
Hal ini bisa menjadi problematik apabila simbol-simbol keagamaan tersebut lebih banyak diorientasikan untuk mempertegas identitas dibandingkan dengan menjalankan esensi ajarannya. Dengan kata lain, ada risiko "Islam Identitas," yaitu ketika seseorang berhenti pada aspek-aspek simbolis keislaman tanpa mendalami maknanya.
Fenomena "Islam Identitas" ini, bagi Fazlur Rahman, dapat dilihat sebagai pengabaian konsep tafaqquh fid-din (pemahaman mendalam terhadap agama) yang menjadi inti keberislaman. Seharusnya, setiap ajaran Islam tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi juga dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kejujuran, dan rendah hati. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencari bahkan meninjau kembali nilai-nilai mendasar dari ajaran Islam yang melampaui sekadar aspek lahiriah atau simbolis.
Sebagai contoh, jika kita meninjau hadis tentang larangan isbal, kita dapat memahaminya sebagai seruan untuk menjauhi kesombongan, baik melalui penampilan maupun perilaku. Larangan tersebut tidak boleh diinterpretasikan secara sempit sebagai kewajiban mutlak memendekkan pakaian, melainkan harus dipahami sebagai ajakan untuk menanamkan sikap tawadhu’ (rendah hati) dalam kehidupan sehari-hari.
Jikalau kita berbicara dalam tataran modern, ini bisa diwujudkan dengan tidak berlebihan dalam berpakaian, tidak memamerkan kekayaan, atau tidak merendahkan orang lain yang memiliki pemahaman berbeda.
Dengan kita berusaha memahami makna mendalam di balik ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama, kita dapat menghindari jebakan eksklusivitas yang hanya berfokus pada penampilan luar. Keberislaman yang sejati tidak hanya tercermin dari bagaimana seseorang berpakaian, tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan sesama manusia, menjaga keadilan, dan menegakkan kebenaran. Sebab, Islam adalah agama yang menyentuh setiap aspek kehidupan, dari yang terlihat hingga yang tersembunyi di dalam hati.
Fenomena meningkatnya semangat keberislaman di Indonesia, baik melalui simbol-simbol seperti hijab atau celana cingkrang, adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Tapi, catatan yang perlu dibawa ialah, bahwa semangat ini harus diimbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang esensi Islam itu sendiri.
Jangan sampai semangat tersebut berhenti pada simbol-simbol identitas belaka tanpa diiringi usaha untuk merealisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Berislam bukan hanya soal penampilan, tetapi juga soal makna dan tindakan nyata.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.