Langgam.id - "Sutan Sjahrir yang mengandung dalam kalbunya cita-cita itu, hidupnya hanya berjuang, menderita dan berkorban untuk menciptakan, supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala tindasan. Ia meninggal dengan tiada mencapainya."
Wartawan Rosihan Anwar mengutip pidato Bung Hatta tersebut dalam Bukunya, "Sutan Sjahrir, Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya' (2011). Pidato Bung Hatta tersebut, menurut Rosihan, disampaikan dengan intonasi yang datar, rata dan dengan wajah yang dingin. Tidak mencerminkan isi kalbunya yang sebenarnya. "Di balik topeng tadi terdapat manusia Hatta yang sayang kepada Sjahrir, teman seperjuangannya dalam menggapai Indonesia merdeka," tulis Rosihan.
Sesekali di tengah pidatonya, suara Bung Hatta tersendat karena keharuannya. Pidato itu disampaikannya dalam rangka melepas jenazah Perdana Menteri Republik Indonesia Pertama Sutan Sjahrir di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta.
Sjahrir wafat setelah dirawat selama beberapa bulan di Zurich, Swiss pada 9 April 1966, atau tepat 53 tahun yang lalu dari hari ini, Selasa (9/4/2019). Hal yang paling membuat pedih bagi Hatta, teman-teman Sjahrir dan banyak masyarakat Indonesia ketika itu, Sjahrir meninggal dunia dalam status sebagai tahanan pemerintah.
Setelah tak lagi jadi perdana menteri pada Kabinet Sjahrir III, Sjahrir menjadi penasehat presiden sekaligus duta besar keliling. Namun selepas pengakuan kedaulatan, sejak 1950, Sjahrir tak lagi punya jabatan resmi di pemerintahan.
Partai Sosialis Indonesia yang didirikannya pada 1948 sempat punya perwakilan menteri dan bergabung dengan beberapa kabinet koalisi. Namun, pada Pemilu 1955, PSI gagal mendapat dukungan signifikan. "PSI hanya dapat lima kursi dari dalam parlemen yang terdiri dari 257 kursi," tulis Rudolf Mrazek dalam Biografi 'Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia'(1996).
Saat terjadi peristiwa PRRI, beberapa angggota Sjahrir di PSI seperti Soemitro, Mr. Sutan Mohammad Rasjid dan Des Alwi terlibat dalam aksi itu. PSI bersama Masyumi kemudian dituduh ada di belakang peristiwa yang dianggap pemerintah sebagai pemberontakan dan ditumpas dengan cara-cara militer itu. Hubungan dengan Sukarno semakin memburuk, saat PSI dibubarkan Sukarno tahun 1960.
Cerita buruk kemudian, berawal dari sebuah undangan dari Bali pada 18 Agustus 1961. Sebagaimana ditulis Rosihan, Anak Agung Gde Agung, mantan menteri pada kabinet Burhanuddin Harahap mengundang sejumlah tokoh untuk menghadiri upacara 'ngaben' ayahnya, raja Gianyar. "Tamu-tamu itu adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri dan Sultan Hamid II dari Pontianak," tulis Rosihan.
Reuni para tokoh di acara keluarga Anak Agung Gde Agung ini malah kemudian dituduh sebagai tindakan subversif. Menteri Luar Negeri Soebandrio dalam kedudukannya sebagai kepala pusat intelijen, mengaku mendapat laporan intelijen.
Menurut laporan yang diteruskan Soebandrio kepada Presiden Sukarno, di Bali telah terjadi konspirasi persekongkolan subversif kepada negara.
Tanggal 7 Januari 1962, saat berkunjung ke Makassar, rombongan Presiden Sukarno dilempari granat. Menurut Rosihan, Tak ada anggota rombongan yang tewas. Namun, menurut Mrazek, ada tiga masyarakat yang meninggal dunia.
"Kelompok Bali" langsung dihubungkan dengan kejadian ini, dan dikaitkan dengan Persatuan Korps Gerakan Bawah Tanah atau Verenigd Ondergronds Corps, disingkat VOC. Sama dengan akronim, perseketuan dagang Belanda pada masa silam.
"Laporan spion-spion Melayu tadi tampaknya direkayasa oleh dr. Soebandrio. Orang ini pada 1945, pengikut Sjahrir, anggota Partai Sosialis, kepala perwakilan Indonesia di London. Untuk memenuhi ambisi politiknya, Soebandrio berbalik dan menjadi lawan politik Sjahrir," tulis Rosihan.
Ketika diwawancarai Wartawan Amerika Arnold Brackman, sebut Rosihan, Soebandrio menyebut tak ada tempat bagi orang-orang seperti Sjahrir. "Sjahrir adalah sasaran yang harus diabisin," kata Rosihan.
Maka, pada 16 Januari 1962 pukul 4 pagi, pemerintah menangkap Sjahrir berikut Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo, Sultan Hamid II Alkadri. Juga tokoh-tokoh Masyumi: Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, KH. Isa Anshary dan Mohammad Roem.
Sjahrir, yang keluar masuk tahanan Belanda bersama Hatta sejak 1930-an dari Boven Digoel, Banda Neira hingga Sukabumi. Sjahrir yang menyiapkan gerakan bawah tanah selama zaman Jepang untuk persiapan kemerdekaan.
Sjahrir, perdana menteri pertama Republik Indonesia memimpin hingga tiga kabinet. Sjahrir, yang mengawal perjanjian Linggarjati, diplomasi awal di PBB dan mencetuskan ide politik bebas aktif hingga berujung pengakuan Indonesia di dunia internasional. Sjahrir yang juga jadi tawanan bersama tokoh-tokoh lain saat Agresi Militer II itu.
Kini ia menjadi tahanan negaranya. Dan, tak ada peradilan untuk penahanan ini. Subandrio dituding jadi dalangnya dengan alasan balas dendam. Namun, ia membantah. Seperti ditulis Mrazek, Subandrio mengatakan, Nasution yang bertanggung jawab.
Nasution juga membantah. Ia mengaku, diminta menandatangani perintah penangkapan dengan nama-nama yang belum diisi. "Sebenarnya Sukarno berada di belakang perintah penangkapan..." kata Nasution sebagaimana dikutip Mrazek.
Sukarno menjelaskan apa yang dilakukannya tersebut dua tahun kemudian. "Beberapa waktu yang lalu, Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan. Kini Sjahrir dalam penjara. Aku tidak menaruh dendam. Aku menyadari bawah ini suatu permainan dua sisi yang mengerikan dan aku terlibat. Permainan untuk kelangsungan hidup," katanya dalam An Autobiography, sebagaimana dikutip Mrazek.
Maka, Sjahrir serta para tokoh lain pun menjalani penahanan itu. Awalnya di Jakarta, tiga bulan kemudian dipindahkan ke penjara Madiun. Sebuah penjara rumah, dengan lapangan tenis dan kolam renang serta sipir yang tidak terlalu ketat.
Namun, menurut Rosihan dalam Buku 'Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1962' (1981) yang dikutip Mrazek, Sjarir lebih menderita dalam tahanan kali ini dibanding ketika dibuang ke Boven Digul oleh Pemeritah Kolonial.
"Yang dirasakannya sekarang adalah siksaan spiritual, karena di Digul dia masih bujangan. Sedangkan kini dia mempunyai istri dan anak-anak dan pikiran terpisah dari keluarga sangat mengganggunya," tulis Rosihan.
Mohammad Roem yang ditahan bersama menyaksikan Sjahrir menyusun-nyusun foto istri dan anak-anaknya saat ia membaca buku.
Sjahrir kemudian juga menulis buku harian, "Aku tak pernah dan tidak akan pernah mengharap pengakuan, dan setidaknya kehormatan dari bangsa dan rakyatku. Namun, aku tidak pernah bermimpi bahwa negara, bangsa dan rakyat mencurigaiku tidak setia kepada Negara..."
Upaya mencoba mengalihkan perhatian dan mencari kesibukan itu tak selalu berhasil. Sjahrir kemudian menderita darah tinggi. Ia diizinkan pindah ke Jakarta dan dirawat di rumah sakit selama delapan bulan. Kemudian masuk penjara lagi. Sampai kemudian pada Februari 1965 ia dipindahkan ke rumah tahanan militer Budi Utomo dan menempati kamar yang pengap dan sempit.
"Dia tidak diizinkan lagi menerima makanan dari rumah. Dalam waktu beberapa minggu, dia kena stroke," tulis Rosihan.
Seorang tahanan kemudian melihat Sjahrir pingsan di kamar mandi. Ia tak langsung dapat pertolongan. Ketika esoknya dibawa ke rumah sakit dan dioperasi, Sjahrir tak bisa lagi berbicara ketika siuman.
Istrinya, Poppy kemudian mengajukan permohonan agar bisa membawa Sjahrir dirawat di luar negeri. Presiden Sukarno mengizinkan, namun statusnya tetap tahanan. Ia juga tak boleh berobat ke Belanda, sehingga keluarga memilih Swiss.
Pada 21 Juli 1965, Sjahrir, Poppy serta Buyung dan Upik, anak pasangan itu meninggalkan Kemayoran diantar para sahabat. Sebagian besar dari mereka, kali itu untuk terakhir melihat Sjahrir dalam keadaan hidup.
Dirawat dalam kondisi naik turun selama hampir sembilan bulan, pada 9 April 1966, Sjahrir meninggal dunia di usia 57 tahun. Di hari yang sama, Sukarno mengeluarkan keputusan presiden, mengangkatnya jadi pahlawan nasional. Negara minta izin Poppy untuk memakamkan Sjahril secara resmi di Taman Makam Pahlawan.
Ketika surat itu diterima, Poppy Sjahrir dan adiknya Soedjatmoko, menangis. "Alangkah berubahnya, beberapa hari yang lalu tahanan, dan kini pahlawan!" katanya dalam wawancara dengan Mrazek.
Tanggal 17 April jenazah Sjahrir tiba di Bandara Kemayoran. Esok harinya, menurut Rosihan, puluhan ribu rakyat berdiri di pinggir jalan melepas jenazahnya. Dr. J. Leimena menjadi inspektur upacara pelepasan jenazah, didampingi Sultan Hamengkubuwono IX dan Jenderal Soeharto.
Demi melepas negarawan keturunan Kotogadang yang lahir di Padang Panjang tersebut, Bung Hatta yang sejak mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1956 tak bicara di depan publik, pada hari itu berpidato.
"Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia merdeka, ikut serta membina Indonesia merdeka, tetapi ia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka... Saudaraku Sutan Sjahrir, sampai di sinilah kami mengantarkan engkau ke kampung akhirat..." (HM)