Dari Machiavelisme Hingga Kambing dan Singa

Penyanyi di panggung depan melengkingkan irama musik yang bising. Ketenangan saya menyesap segelas kopi sedang terancam. Namun apalah daya, pemilik kafe ini sudah mulai menggaet pelanggan lewat pertunjukan yang melelahkan kuping itu. Hujan turun, sementara teman bicara saya tengah melewati waktu dengan menyunting tulisannya, tepat di seberang kursi saya.

Baru minggu lalu, saya menonton kembali film buatan orang Belanda berjudul Max Havelaar, diproduksi tahun 1976. Kisah film itu masih terbayang di benak saya. Namun, sekali lagi, suara bising di panggung itu menganggu.

Dalam situasi itu, saya ingat berapa banyak orang yang tak mampu duduk di kafe ini, bahkan hanya untuk menikmati kopi pancung. Mereka mendekam dalam siksa ekonomi, bahkan terkadang harus mengutang sana-sini untuk memenuhi kebutuhannya. Hati saya berasa tersayat.

Hujan turun saat saya mengenang masa lalu. Saya, yang mulai hidup di era Orde Baru merasakan bagaimana rezim berubah dari waktu ke waktu. Wataknya tak luntur, seolah berpihak pada rakyat namun sesungguhnya menghisap rakyat.

Dalam konteks ini, saya ingat Machiavelli, tepatnya Niccolò Machiavelli. Seorang filsuf yang banyak menyoroti filosofi, terutama di bidang politik. Di kemudian hari, pemikirannya dikenal dengan Machiavelisme.

Machiavelisme mengakar kuat di rezim hari ini. Secara turun-temurun, paham ini kita bawa dan dianganggap sebagai hal yang wajar. Pemikiran ini merupakan sebuah konsep yang menekankan bahwa tujuan negara dan pemerintahan adalah untuk stabilitas kekuasaan. Tabiat yang dibangun menggunakan segala cara, trik dan teknik untuk menciptakan kekuasaan yang kuat. Paham ini sering dikaitkan dengan pemikiran bahwa penguasa boleh menggunakan cara-cara yang tidak etis, bahkan jauh dari kata elegan, termasuk menggunakan tipu daya, kekerasan, sampai kepada manipulasi, apa pun yang menjamin tujuannya tercapai.

Kuatkan penguasa, lemahkan rakyat. Begitulah sederhananya.

Penguasa menggunakan cara-cara pragmatis untuk memenuhi syahwat kekuasaannya. Tak jarang, kekuasaan juga bertindak semaunya dan membasmi semua hal yang merintangi kemauan itu. Sementara di sisi lain, rakyat dipaksa tunduk di bawah aturan yang ketat. Tak jarang aturan-aturan tersebut dijalankan tanpa etika dan cenderung memaksa.

Bagi saya, ini adalah titik balik kegagalan demokrasi liberal yang telah menguasai dunia seabad belakangan. Sistem ini terpuruk, dihantui beban ekonomi kapitalistik yang menyertainya.

Kopi saya sudah lesap setengahnya. Hujan mendera semakin kuat. Petir di atas sana membahana. Saya masih duduk termenung.

Kita, sebagai sebuah bangsa dan negara sedang berada di ambang keruntuhan. Ya, sebuah fase sudah mulai kita jalani: kepercayaan publik atas pemerintah yang semakin merosot, serta dormansi pertumbuhan ekonomi.

Saya tidak akan merinci kasus korupsi di negeri ini, tidak pula hendak mengatakan secara detil seberapa beban yang ditanggung rakyat atas pajak, membengkak dan tak terbayarnya utang luar negeri, tak pula mengangkat prahara politik dan ekonomi yang tak kunjung membaik. Kebebasan berekspresi sudah lama saya lupakan, seiring dengan serangkaian beredel atas media massa di masa lalu, beragam aturan mengenai demosntrasi dan pengerahan massa aksi.

Jika kata-kata di media sosialpun sudah mulai diseleksi, lalu apa lagi yang bisa diharapkan? Machiavelisme menyiksa rakyat dengan cemeti yang ada di tangan penguasa. Situasi ini mungkin akan masuk ke fase berikutnya; rezim yang berkhianat.

Atau apakah kita sudah berada di fase ini?

Keruntuhan bangsa dan negara ini juga dicirikan dengan tingkat kekerasan yang semakin tinggi, serta kerusuhan masal. Ingat kisruh politik tahun ‘65? Malari tahun ‘74? Kerusuhan tahun ‘98? Kita sama-sama menunggu; apa lagi yang akan terjadi setelah ini?

Kendati kehancuran itu ada di depan mata, bukan berarti kita harus diam. Saya lupa siapa orang bijaknya, tapi orang itu berkata: sekelompok kambing akan menjadi kelompok berbahaya jika dipimpin seekor singa. Jujur, saya tidak percaya itu. Justru yang saya takutkan adalah kambing-kambing itu akan menjadi santapan Sang Singa. Bagi saya, kambing hanya cocok dipimpin oleh kambing. Sebaliknya, singa hanya akan dipimpin oleh singa.

Pertanyaannya, apa yang kita harapkan? Pilihan bahwa kita akan dipimpin singa ataupun kambing, semua tergantung pada diri kita, rakyat. Jika rakyat membangun dirinya menjadi singa, maka suatu saat kita akan dipimpin oleh seorang berwatak singa. Tapi kalau kita membiarkan diri larut menjadi seekor kambing, maka bersyukurlah kalau kita hanya akan dipimpin oleh kambing.

Secara teknis, kehancuran negara ini tidak akan terjadi dengan syarat. Rakyatnya harus kuat, dalam arti positif. Bukan kuat menyuburkan korupsi di rumah tangganya sendiri, bukan pula menganiaya keluarga sendiri.

Kita harus mulai dari rumah tangga. Transformasi sosial akan menang melawan rekayasa sosial yang dilakukan rezim jika rumah tangga di negeri ini bertransformasi menjadi rumah tangga yang kuat, maka mulailah dari anak, istri, atau suami kita sendiri. Kuatkan mereka, berikan mereka pemahaman yg layak sebagai rakyat ataupun sebagai pemimpin.

Ini mengingatkan saya pada program Keluarga Berencana (KB) dan gerakan Pramuka. Keduanya dibangun atas landasan filosofis yang kuat. Bahwa perubahan menjadi massif jika dimulai dari kelompok terorganisir. Kendati keduanya belakangan sarat dengan kepentingan ekonomi-politik, namun setidaknya keduanya mampu melakukan perubahan signifikan terhadap tatanan masyarakat.

Jika kita berada dalam lingkup organisasi, maka jangan luput juga memulai dari organisasi itu. Jadilah pribadi yang kita inginkan. Mari buang mental jongos yang memperdaya kemerdekaan berpikir, singkirkan segala takhayul feodal, dan buang semua kepicikan sosial kita.

Gelas kedua tak terasa sudah kosong. Saatnya kembali, menyesap bau tanah bekas hujan yang wangi. Tanah yang mendukung kehidupan negeri ini. Saya jatuh cinta lagi padamu, Indonesia.

* Aktivis dan Penulis
-Sebuah renungan Sabtu malam, 9 Agustus 2025 di Medan-

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Bisnis Trump: Dari Perang Dagang Menuju Perang Nuklir
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Perang Dagang Sebagai Tantangan Sistem Ekonomi Pancasila
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Asumsi Makro 2026: Antara Optimisme dan Kewaspadaan
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
America First: Strategi Negara Dagang
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Risiko Stagflasi Global: Apa Dampaknya bagi Rupiah dan Ekspor Indonesia?
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Fluktuasi Rupiah dan Modal Asing Kabur: Pemerintah Harus Bertindak!