Dari Hijir Ismail ke Hajar Aswad: Jejak Ketulusan di Tanah Suci

Hari itu matahari bersinar terik di atas Masjidil Haram. Udara Makkah begitu panas menyengat namun lantai marmer di sekitar Ka’bah tetap sejuk di telapak kaki para jamaah. Suasana di pelataran Ka’bah selalu penuh dengan lautan manusia dari berbagai bangsa. Semua bergerak berputar sebanyak tujuh putaran, mengelilingi Ka’bah berlawanan dengan arah jarum jam. Semua bergerak diiringi lantunan doa, zikir, dan tangisan bercampur menjadi irama batin, melankolis, dan reflektif, dengan satu tujuan, mendekatkan diri, tunduk dan patuh kepada Allah.

Saya ingat betul, hari itu saya bersama tiga nenek dari rombongan haji kami, meminta saya menemani mereka tawaf. Kami pun melangkah ke lingkaran tawaf. Saya berada di tengah, dua lengan saya diapit erat oleh Nenek Salimah dan Nenek Aminah, sementara di belakang Nenek Zubaedah memegang pinggang saya, takut terlepas dari arus manusia.

Putaran demi putaran kami jalani dengan keringat yang membasahi wajah dan tubuh.  Saya merasakan tubuh mereka bergetar, entah karena usia ataupun lelah, atau justru karena semangat dan haru mereka yang tawaf sangat dekat dengan Kabah, baru pertama ke Masjidil Haram. Sampai pada putaran terakhir, kerumunan seakan mengerti, memberi kami celah hingga sampai di dekat Hijir Ismail. Saya memberanikan diri memberi isyarat kepada Asykar Masjidil Haram. Alhamdulillah, dengan izin Allah kami dipersilakan masuk.

Begitu kaki menapaki area Hijir Ismail, air mata menetes tak terbendung. Tempat mulia, salah satu bagian dari Ka’bah yang dipercaya penuh keberkahan menerima kami yang penuh kekurangan. Selama kurang lebih lima belas menit kami shalat sunnah dan berdoa. Terdengar suara-suara lirih ketiga nenek itu, doa-doa panjang mohon ampunan, kesehatan, dan anak cucu yang shaleh. Masya Allah, betapa bahagianya hati kami saat itu.

Sepulang dari Masjidil Haram, ketiga nenek itu bercerita kepada teman-teman satu maktab. Mata mereka berbinar-binar menceritakan kebahagiaan sederhana yang lahir dari pengalaman spiritual. Saya tersenyum, merasa Allah telah menghadiahkan mereka kebahagiaan karena kesabaran dan daya juang mereka.

Allah Maha Baik membalas dengan cara-Nya. Pada saat Tawaf Ifadah - tawaf penutup yang menunjukkan selesainya rangkaian ibadah haji, tiba-tiba saya berjumpa dengan seorang perempuan Afrika bertubuh tinggi besar, menoleh, tersenyum, dan meraih tangan saya, lalu berkata singkat, “Hold my waist.” Tanpa ragu saya memegang pinggangnya. Ia membuka jalan di antara lautan manusia yang ingin mendekat ke Ka’bah. Hingga di putaran terakhir, tiba-tiba saya sudah begitu dekat dengan dinding Ka’bah. Pegangan saya terlepas, namun tubuh saya justru menempel pada dinding suci itu. Dengan sisa tenaga, saya berhasil naik ke syadarwan, tembok rendah di bagian bawah Ka’bah dan tangan saya berpegangan pada batu-batu di dinding Ka’bah. Langkah saya terasa ringan di atasnya hingga saya tiba di depan Hajar Aswad. Masya Allah! Dengan hati bergetar, air mata berlinang, dan perasaan mengharu biru, saya berhasil mencium Hajar Aswad. Ituah momen yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Setelah itu tubuh saya terhempas, namun kemudian terangkat, ditopang, dioper di atas kepala para jamaah yang tingi-tinggi, seperti arus pasang membawa perahu kecil. Saya melayang di atas gelombang manusia hingga akhirnya terdampar di lingkaran terluar arus tawaf, berjumpa dengan teman-teman satu maktab.

Saya terdiam, masih mencoba memahami kejadian yang bagi saya luar biasa. Saya memandang lautan manusia, mencari perempuan Afrika yang menolong saya tadi. Namun tak pernah saya jumpai lagi dirinya hingga akhir ibadah haji. Entah ia benar-benar jamaah atau malaikat yang diutus Allah dalam rupa manusia.

Di tanah suci, saya belajar satu rahasia. Kebaikan yang kita tanam, meski sederhana, akan kembali menghampiri kita dalam bentuk yang lebih indah. Tiga nenek itu tak pernah tahu bahwa karena mereka, Allah memudahkan saya mencium Hajar Aswad. Perempuan Afrika itu juga tak pernah tahu bahwa tindakannya adalah jawaban doa saya.

Pengalaman itu mengajarkan saya satu hal besar. Ibnu Qayyim Al Jauziyah pernah menulis:

“Barang siapa yang memudahkan urusan saudaranya, maka Allah akan memudahkan urusannya; barang siapa yang menolong hamba Allah, maka Allah akan menolongnya dengan cara yang tak ia sangka.”

Haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan hati. Di tengah panasnya kota suci yang menyengat, di balik jutaan manusia yang memenuhi Masjidil Haram, saya menemukan kesejukan yang abadi: ketulusan dan janji Allah. Bahwa siapa yang menolong dalam kebaikan, maka ia akan ditolong.

Diceritakan dari kisah nyata oleh Lucy Suraiya (Dosen Sastra Inggris – Universitas Andalas)

Tag:

Baca Juga

Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), Mochamad Irfan Yusuf memberikan kuliah umum di Auditorium Universitas Negeri Padang (UNP),
BP Haji Harap Adanya Kontribusi Perguruan Tinggi Dukung Suksesnya Penyelenggaraan Haji
Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Debarkasi Padang memulangkan 3.110 jemaah haji ke tanah suci yang tergabung dalam 6 (enam) kloter.
3.110 Jemaah Haji Debarkasi Padang Telah Kembali ke Tanah Air
Pemulangan jemaah haji Debarkasi Padang asal Provinsi Bengkulu ditutup dengan kedatangan kloter 5 dari tanah air pada Kamis (19/6/2025) malam
Tiba di Tanah Air, Kloter 5 Tutup Fase Pemulangan Jemaah Haji Asal Bengkulu
Pesawat Lion Air JT3081 yang mengangkut jemaah haji kloter 04 Debarkasi Padang mendarat di Bandara International Minangkabau (BIM),
Transit 4 Jam di BIM, Jemaah Kloter 04 Debarkasi Padang Lanjut ke Bengkulu
Jumlah jemaah haji Embarkasi Padang yang meninggal dunia di Tanah Suci bertambah. Terbaru, satu emaah kloter 06 asal Tanah Datar dinyatakan
Satu Jemaah Haji Asal Tanah Datar Meninggal di Tanah Suci, Dimakamkan di Makkah
Pemulangan jemaah haji Indonesia ke Tanah Air akan dimulai pada 11 Juni 2025. Saat ini seluruh jemaah bersiap memasuki fase akhir ibadah
Pemulangan Jemaah Haji Dimulai Besok, Kloter 1 Embarkasi Padang Tiba di Tanah Air 12 Juni