Daerah Menangis, Tunggu Apalagi atas Belum Adanya Penetapan Bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional

Daerah Menangis, Tunggu Apalagi atas Belum Adanya Penetapan Bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional

Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Foto: Dok. Pribadi)

Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera tidak hanya menghadirkan kehancuran fisik dan korban kemanusiaan, tetapi juga memperlihatkan persoalan mendasar dalam tata kelola negara: keengganan pemerintah pusat menetapkan peristiwa tersebut sebagai bencana nasional. Sikap ini menimbulkan pertanyaan serius, bukan semata soal teknis administrasi, melainkan soal keberpihakan negara terhadap warga yang terdampak bencana dalam skala luas dan kompleks.

Dalam konteks negara hukum, setiap kebijakan atau ketidakberanian mengambil kebijakan, harus diuji melalui kerangka normatif dan logis. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah memberikan panduan yang jelas mengenai tanggung jawab negara, kriteria bencana, dan mekanisme penetapan status. Ketika pemerintah pusat memilih untuk menahan status nasional, maka yang patut dikritisi bukan hanya keputusannya, tetapi juga logika dan kepatuhannya terhadap mandat undang-undang itu sendiri.

Bencana dalam UU 24/2007 Antara Definisi Hukum dan Realitas Lapangan

UU No. 24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana bukan semata dari penyebab alamiah, tetapi terutama dari dampak yang ditimbulkan: korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta terganggunya kehidupan dan penghidupan masyarakat. Definisi ini penting karena menegaskan bahwa skala bencana diukur dari konsekuensi sosial, bukan dari klaim kesiapan birokrasi.

Jika banjir bandang di Sumatera telah menyebabkan korban meninggal, ribuan warga mengungsi, rusaknya infrastruktur publik, terputusnya akses ekonomi, dan lumpuhnya layanan dasar, maka secara normatif unsur-unsur bencana besar sebagaimana dimaksud UU telah terpenuhi. Menolak penetapan bencana nasional dalam situasi demikian menunjukkan adanya penyempitan tafsir hukum yang tidak sejalan dengan semangat undang-undang.

Penetapan Status Bencana sebagai Instrumen Perlindungan, Bukan Simbol Kegagalan

Dalam praktik kebijakan, status “bencana nasional” kerap diperlakukan sebagai simbol kegagalan pemerintah, sehingga dihindari sebisa mungkin. Padahal, dalam kerangka UU 24/2007, penetapan status justru merupakan instrumen hukum untuk mempercepat perlindungan warga, membuka akses sumber daya nasional, dan memperkuat koordinasi lintas lembaga.

UU 24/2007 memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menetapkan status dan tingkat bencana. Kewenangan ini bukan bersifat opsional secara politis, melainkan melekat sebagai tanggung jawab konstitusional. Ketika pemerintah pusat enggan menggunakan kewenangan ini, maka negara justru membatasi dirinya sendiri dalam merespons penderitaan rakyat.

Daerah sedang Menangis atas Keterbatasan Kemampuan Menangani Korban Bencana apalagi Paska Bencana nanti.

Salah satu argumen yang sering muncul adalah bahwa pemerintah daerah masih mampu menangani bencana, sehingga status nasional belum diperlukan. Argumen ini problematis, karena UU 24/2007 tidak mensyaratkan “kolaps total” daerah sebagai prasyarat penetapan bencana nasional. Undang-undang justru mendorong pendekatan preventif dan responsif, bukan menunggu kondisi terburuk.

Lebih dari itu, beban bencana tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga sosial, ekologis, dan psikologis. Ketika kapasitas daerah dipaksakan bekerja dalam kondisi darurat berkepanjangan tanpa dukungan penuh negara, maka yang terjadi adalah kelelahan struktural ( institutional fatigue ) yang berisiko memperburuk dampak bencana.

Aceh menangis. Sumatera Utara menangis. Sumatera Barat menangis. Yang terkena bencana di daerah lain juga menangis. Janganlah negara menaruh curiga apa apa terhadap rakyat yang sedang menangis. Negara lah yang harus langsung mengeluarkan instrumen status Bencana Nasional. Negara janganlah mengambil ketakutan setiap ucapan dan tindakan rakyat yang sedang menangis dalam derita berat bencana ini apalagi menempatkan kecurigaan kecurigaan aneka ragam.

Sensitif terhadap Solidaritas terhadap Korban Bencana

Salah satu aspek paling problematis dalam kasus ini adalah sikap pemerintah pusat yang tampak sensitif—bahkan defensif—ketika pihak non-pemerintah turun langsung membantu korban. Alih-alih memperkuat koordinasi, negara justru terkesan “baper”, seolah kehadiran relawan, LSM, kampus, dan masyarakat sipil adalah pesaing legitimasi.

Padahal, UU 24/2007 menjamin hak masyarakat untuk berperan serta dalam penanggulangan bencana. Bantuan non-pemerintah bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan manifestasi solidaritas sosial yang justru seharusnya difasilitasi negara. Negara yang alergi terhadap bantuan independen menunjukkan krisis kepercayaan diri dalam menjalankan mandat kemanusiaannya.

Koordinasi atau Kontrol Narasi

Dalih “koordinasi” sering digunakan untuk membenarkan pembatasan peran aktor non-negara. Namun dalam praktik, koordinasi sering bergeser menjadi kontrol narasi: siapa yang boleh tampil, siapa yang memberi bantuan, dan siapa yang boleh diakui. Fokus bergeser dari korban ke citra pemerintah.

UU 24/2007 tidak pernah memberi mandat kepada negara untuk memonopoli panggung kemanusiaan. Negara ditugaskan menjadi koordinator agar bantuan tepat sasaran, bukan menjadi penjaga ego institusional. Ketika negara lebih sibuk mengatur persepsi daripada memperluas perlindungan, maka tujuan undang-undang telah disimpangkan.

Implikasi Hukum dan Fiskal dari Bencana Status Nasional

Penetapan bencana nasional membawa konsekuensi penting: kemudahan penggunaan APBN, percepatan pengadaan barang dan jasa, serta legitimasi mobilisasi sumber daya nasional. Dengan menolak status ini, pemerintah pusat secara sadar membatasi ruang geraknya sendiri, lalu menutupinya dengan pernyataan bahwa “pemerintah tetap hadir”.

Kehadiran simbolik tidak setara dengan kehadiran struktural. UU 24/2007 dirancang agar negara tidak terhambat oleh prosedur normal dalam kondisi luar biasa. Ketika pemerintah pusat memilih prosedur biasa untuk situasi luar biasa, maka itu bukan kehati-hatian, melainkan penghindaran tanggung jawab.

Etika Kebencanaan dan Kegagalan Penanggulang dengan Instrumen Bencana Nasional oleh Negara

Penanggulangan bencana bukan hanya urusan teknis, tetapi juga urusan etika publik. Negara diharapkan hadir dengan empati, kerendahan hati, dan keberanian mengakui skala penderitaan warga. Keengganan menetapkan bencana nasional mencerminkan kegagalan empati struktural, di mana penderitaan direduksi menjadi variabel politik.

UU 24/2007 lahir dari trauma kolektif bangsa, terutama pasca-tsunami Aceh, dengan pesan utama, negara tidak boleh lambat, tidak boleh defensif, dan tidak boleh merasa tersaingi oleh solidaritas rakyatnya sendiri. Mengabaikan pesan historis ini adalah bentuk amnesia kebijakan.

Negara Tidak Sedang Bersaing dalam Urusan Derita Rakyat Terkena Bencana

Kritik terhadap pemerintah pusat dalam kasus banjir bandang Sumatera bukanlah kritik emosional, melainkan kritik normatif dan konstitusional. UU No. 24 Tahun 2007 telah memberi dasar hukum yang cukup untuk menetapkan status bencana nasional demi perlindungan maksimal bagi warga. Tidak menetapkan status tersebut berarti menolak menggunakan instrumen hukum yang sah untuk tujuan kemanusiaan.

Negara tidak boleh baper ketika rakyat saling menolong. Negara tidak boleh ragu menamai penderitaan warganya. Dan negara tidak boleh menjadikan undang-undang sebagai teks mati yang hanya hidup dalam pidato, bukan dalam keputusan. Dalam bencana, yang diuji bukan citra kekuasaan, melainkan keberanian negara untuk hadir sepenuhnya tanpa gengsi, tanpa defensif, dan tanpa rasa tersaingi oleh kemanusiaan itu sendiri.

*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)

Baca Juga

Industri Anugerah Sawit Tanpa Batas Membawa Hutan Terus Terkuras
Industri Anugerah Sawit Tanpa Batas Membawa Hutan Terus Terkuras
Ujian Fiskal Bencana Sumatra
Ujian Fiskal Bencana Sumatra
Kepemimpinan Negara yang Defensif Negatif dalam Ujian Bencana Kemanusiaan
Kepemimpinan Negara yang Defensif Negatif dalam Ujian Bencana Kemanusiaan
Bencana Sumatra, Bantuan Internasional, dan Defisit Transaksi Berjalan
Bencana Sumatra, Bantuan Internasional, dan Defisit Transaksi Berjalan
Bencana Sumatra dan Paradoks Fiskal Pusat–Daerah
Bencana Sumatra dan Paradoks Fiskal Pusat–Daerah
Membaca Diamnya Izin Bantuan Asing untuk Korban Bencana dalam Berbagai Perspektif Teori
Membaca Diamnya Izin Bantuan Asing untuk Korban Bencana dalam Berbagai Perspektif Teori