Langgam.id - Kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami seorang mahasiswi dari seorang dosen Universitas Negeri Padang (UNP) terus bergulir. Bahkan, dosen tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka setelah pihak kepolisian melakukan gelar perkara.
Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Barat (Sumbar) juga telah menjadwalkan pemanggilan terhadap dosen itu untuk diperiksa sebagai tersangka. Pemanggilan direncanakan akan berlangsung pada Jumat (28/2/2020).
Seperti diketahui, kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi ini mencuat setelah korban berani membuat laporan ke Polda Sumbar tanggal 15 Januari 2020 dengan nomor: LP/17/I/2020/SPKT-BR. Dari laporan itu, diketahui pelecehan seksual ini terjadi di lingkungan kampus pada 10 Desember 2019.
Lantas bagaimana tanggapan korban dengan penetapan dosen sebagai tersangka? Kemudian bagaimana kronologi kejadian sebenarnya? Langgam.id berkesempatan untuk mewawancarai korban di suatu tempat di Kota Padang, Sumbar, Selasa (25/2/2020).
Saat ditemui langgam.id, korban ditemani salah seorang rekan satu kuliahnya. Korban pun bersedia untuk diwawancarai dan berani blak-blakan atas kasus yang dialami. Berikut hasil wawancara bersama korban.
Oknum dosen sudah ditetapkan tersangka, bagaimana perasaannya sekarang?
Dengan penetapan tersangka, ya lumayan tenang, karena sudah menjadi tersangka (dosen). Tapi, sekarang itu lagi prepare sama diri untuk lebih berhati-hati dalam berbicara atau pun ngomong sama orang. Sebenarnya bukan untuk menjatuhkan dia, tapi menjatuhkan perilakunya dia.
Makanya sudah lumayan tenang. Harapan sih dia mendapat pelajaran yang membuatnya jera aja, (kasus ini) karena perilakunya sendiri, bukan karena aku, karena sikapnya sendiri. Kalau itu hukuman dia (ditahan) ya pastinya itu harapan aku.
Ketika kasus ini mencuat beredar tangkapan layar percakapan via WhatsApp sama dosen, betulkah itu?
Iya, itu memang benar chat-nya. Tapi itu bukan murni aku ngebalas. Aku ngadu sama senior, terus senior bilang balas aja kayak gini, (tujuan) kita cari korban-korban lainnya. Makanya kami saling ngebalas (chat), bukan aku aja, ada yang lain yang membalas. Sebenarnya aku takut, tapi (senior) bilang enggak usah takut, kita cuman mencari korban lain untuk ngebalas itu (chat). Itu screenshot dari aku, tapi malah menjadi boomerang bagi dia. Itu dekan yang minta.
Ada korban lainnya?
Ada, satu jurusan. Enggak bisa juga paksa dia (korban lain) speak-up kan karena tergantung mentalnya dia udah siap atau belum. Kalau aku kan sebulanan (berani lapor), diyakini (rekan).
Sebenarnya bagaimana kronologis pelecahan terjadi?
Waktu itu aku lagi duduk di...terus dia nanya kemana tahun baru. Terus dia ngajakin check in. Habis ngajakin chek-in terus aku bilang, check in? Kalau rame-rame pak, bilang gitu kan. Enggak berdua aja (jawabnya). Enggaklah pak, kalau berdua aja ajaklah istri, kata aku kan. Terus dia bilang enggak enak lagi. Terus ditanyakan lagi, pacar mana? Lagi bertengkar? Biasanya kayak gitu-gitu sama pacar gimana? Gitu kan. (Dijawab) apa ini pak, enggak pernah. Terus tiba-tiba dia nyubit betis. Apa pak? Enggak ada gemes.
Terus dia (bilang) mau yang panas-panas. Ya bikin panas-panas kopi tadi, bikin kopi kan, ya udah. Jalan ke atas, berdiri di depan dapur baru ambil gelas. Bapak ke toilet dulu, pergilah pak. Tiba-tiba tangan aku ditarik. Di luar toilet dulu digituin, langsung dipeluk. Terus kepala aku didorong ke dalam toilet, tiba-tiba ya sudah terjadilah yang tidak diinginkan.
Terus aku keluar dari toilet, aku bilang ujian randai mau mulai, bapak dosennya. Tunggu sebentar, tunggu sebentar (jawabannya) sambil itulah dia. Pak ujian randai mau mulai bapak dosennya, udahlah pak, sambil aku dorong-dorongan bahunya. Buka pintu.
(Dia jawab) terus besok kita check in, ya. Lihatlah besok pak. Aku bilang lihat besoklah pak itu, aku pikir biar cepat-cepat keluar dari toilet. Terus sampai di parkiran mobil, ditanya, kamu besok kuliah jam berapa. Jam 1 atau jam 2 pak. Jam 10 kamu temui bapak di jurusan ya. Insyallah pak. (Dijawabnya) aku suka gaya kamu, sambil colek dada. Langsung termenung, dong.
(Setelah kejadian) panggil ini (teman) sama panggil ketua BP, dia yang saksikan. (Aku) nangis-nangis, tinju kepala, tampar-tampar muka, gini-gini leher, gigit-gigit kuku. Aku enggak pernah diginiin, baru sekali ini aku digituin bapak ini, tolong bagaimana caranya. Shock, frustasi.
Sebelum kejadian pelecehan pernah komunikasi sama dosen?
Komunikasi hanya kirim link (berita) ketika aku tampil. Komunikasi biasa seperti dosen sama mahasiswa. Malah ketemu hanya salam doang, tidak pernah keluar kata-kata menggoda dari aku.
Alasan melapor setelah kejadian cukup lama?
Aku drop (awalnya), aku masih mikir bagaimana pandangan orang sekarang lah, ada yang bilang suka sama suka. Ada yang menilai latar belakang aku gimana, keluarga aku gimana.
Baru selama sebulan, baru pikirkan itu. Aku pikir untuk melaporkan (ke polisi) ya aku pikirkan dari pada ada korban-korban lain. Aku tidak pengen itu. Itu alasan aku melaporkan. Aku tak ingin ada kejadian seperti ini.
Awal melapor ke polisi si dosen tahu enggak?
Enggak. Awalnya dia enggak tahu. Cuman dia tahu setelah diadukan ke jurusan. Aku yang ngadu ke jurusan. Ya sudah jadinya dia jadi tahu. Pas sorenya baru dia tahu aku melaporkan.
Setelah si dosen tahu ada komunikasi?
Enggak. Cuman istrinya aja. Istrinya langsung nangis minta tolong dicabut laporan. (Dijawab) enggak bisa buk, untuk naikkan aja aku mikir dua kali, apalagi aku cabut, enggak semudah itu. Karena perbuatannya sudah kelewatan.
Setelah itu pernah diancaman?
Dia enggak pernah mengancam. Hanya meminta maaf. Cuman opini dari pengacaranya, nuntut undang-undang ITE, padahal aku enggak pernah nyebar ke media sosial, dan menjelekkan dia. Itu kan dia orang dapat-dapat dari Polda aja kronologi gitu orang yang nyebarkan. Katanya hanya itu ancaman dia.
Tapi ancaman dari kampus kemarin sempat, karena kampus belum tahu kronologi aslinya dulu sebelum sidang kode etik. Kampus ancam oh nilai IP kamu nol, kamu bisa keluarkan juga dari kampus. Kayak gitu sih.
Berapa kali dipanggil pihak kampus?
Yang dari fakultas hanya tiga kali. Habis itu dia panggil aku kabur dari rumah. Karena bosan kena intimidasi, bosan lah mama papa karena enggak tahu cerita aslinya. Kenapa aku bersikeras, karena itu menurut aku sudah kelewatan.
Atas dasar suka sama suka dari mananya, aku enggak ada ngapa-ngapain. Sampai menyakinkan mama papa selama empat hari, mereka baru mencari ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) dan LBH sangat membantu dan Nurani Perempuan. Di situ lah baru tahu mama papa kronologi, dan mereka mendukung.
Tanggapan teman sekampus dengan terjadi ini gimana?
Enggak ada sih, mereka lebih banyak diam aja. Ya udah enggak pernah mau membahas tentang itu. Karena di luar dari mereka kan.
Sudah cuti kuliah berapa lama?
Satu semester ini. Ketika kejadian kan masih ujian, aku enggak ikut ujian. Kalau IP nol ini itu tidak ada masalah dengan kasus. Ini kelalaian aku sebagai mahasiswi, bukan sangkut pautnya dengan kasus. (Tapi) ada yang support dan kontra.
Tanggapan kampus bagaimana sekarang?
Pihak kampus sudah menyerahkan ke jalur hukum. Mereka tidak ingin ikut campur. Enggak jadi di DO, karena mereka sudah tahu, makanya ambil tindakan tegas terhadap pelaku dan korban.
Respon pacar gimana?
Mau pukul-lah (si dosen). Mau diserang. Aku larang, malu dia nanti. Tapi pacar support terus aku.
Apa yang membuat bangkit kembali?
Yang membuat aku bangkit kayak tim solidaritas bisa mensuport aku dari belakang. Lebih mengerti bagaimana egois aku, bagaimana anak-anak aku. Mereka selalu berangkul, tidak lepas tangan sama juga sama teman-teman saksi-saksi. Padahal mereka juga down juga nih, kami diginiin pihak kampus, sampai nangis dengar cerita. Tapi mereka bangkit lagi kami saling support. Yang support tak sedikit, banyak. Yang kita bela dan diadukan itu benar, bukan mengada-ada. Kami saling support. (Irwanda/ICA)