Salah satu bidang penting dalam studi dan pembahasan mengenai entrepreneurship/kewirausahaan adalah bahasan dan kajian mengenai Co-preneurship. Hal ini dilandasi dengan begitu banyaknya fakta yang menunjukkan banyaknya pasangan pria-wanita yang memilih untuk menjalankan bisnis secara bersama dan membagi kepemilikan maupun pengelolaan bisnis yang dimiliki. Bidang bisnis yang dimasuki pun cukup beragam, mulai dari bisnis yang menghasilkan produk bagi konsumen akhir, maupun produk bagi bisnis dan industri. Semakin meningkatnya dinamika yang terjadi pada generasi millennial maupun generasi Z membuat pola/bentuk pengelolaan bisnis melalui co-preneurship ini menjadi semakin diminati dan dipilih oleh banyak pasangan pria-wanita.
Istilah dan terminologi co-preneurship pertama kali diperkenalkan oleh Barnett dan Barnett pada tahun 1988 untuk menggambarkan sebuah bisnis yang dilakukan oleh sepasang pengusaha baik suami/istri, atau pasangan yang berpacaran – yang lebih lanjut berbagi peran, komitmen maupun tugas dalam pengoperasian maupun pengelolaan usaha tersebut. Prinsip dan filosofi co-preneurship menganut pandangan bahwa proses berwirausaha tidaklah mengenal unsur gender. Dalam artian bahwa baik pria maupun wanita dipandang memiliki status, peran maupun fungsi yang seimbang satu sama lain.
Kalaupun ada pembeda, maka hal tersebut utamanya terletak pada kesepakatan awal dari tiap pasangan untuk membagi status, peran maupun fungsi mereka masing-masing dalam bisnis yang dijalankan. Dalam telaah literatur mengenai co-preneurship, terdapat berbagai dimensi yang membuatnya berbeda dengan pola pemilikan maupun pengelolaan bisnis seperti biasanya. Dalam co-preneurship, masing-masing pasangan secara otomatis memiliki hubungan bisnis maupun personal (de Bruin dan Lewis, 2004), adanya komitmen maupun tanggung jawab (Barnet dan Barnet, 1988), serta adanya hubungan timbal balik dari pelaksanaan peran individu sebagai pelaku bisnis maupun bagian dari anggota keluarga (Peregrino-Dartey, 2018).
Mengingat begitu besarnya keterlibatan gender dalam pengoperasian dan pengelolaan bisnis dengan pola co-preneurship, maka keberadaan unsur dan elemen yang berkaitan dengan peran gender tidak dapat ditepis begitu saja. Tentunya mengkaji tentang peran gender dalam bisnis tidak akan terlepas dari latar belakang sosial, budaya dan unsur relijiusitas keagamaan yang dianut oleh para pasangan yang melakukan bisnis.
Sebagaimana yang kita ketahui, terkadang sistem sosial, budaya maupun relijiusitas keagamaan justru memberikan batasan yang membuat masing-masing individu menjadi kurang nyaman dalam berwirausaha, sebagai dampak adanya beban psikologis yang harus ditanggung terkait hal tersebut. Tentunya menjadi menarik untuk mengetahui, bagaimanakah pandangan dari masing-masing individu pengusaha dengan pola co-preneuraship terkati dengan peran yang mereka jalankan dalam bisnis, serta hubungannya dengan perspektif sosial, budaya maupun relijiusitas keagamaan.
Dalam studi tentang co-preneurship yang penulis lakukan bersama tim peneliti, diperoleh berbagai temuan menarik yang layak diungkap ke publik terkait pelaksanaan bisnis dengan pola co-preneurship ini. Dengan mengambil sudut pandang sosial, budaya dan relijiusitas keagamaan sebagai parameter, kajian tentang co-preneurship ini dilakukan pada pengusaha yang melakukan bisnis secara berpasangan di tiga etnis di Indonesia (etnis Minangkabau, Jawa dan Polewali Mandar-Sulawesi Barat). Tujuannya adalah untuk melihat sampai sejauh mana para pelaku bisnis dengan pola co-preneurship ini baik pria maupun wanita memandang pola bisnis tersebut berdasarkan pertimbangan pada peran gender.
Dari sudut pandang hubungan sosial terkait peran gender dalam co-preneurship ditemui fakta bahwa ternyata tiap individu (baik pasangan pria maupun pasangan wanita) memiliki peran yang jelas dan tertentu didalam bisnis yang dimiliki bersama. Peran ini dirancang diawal pendirian bisnis, untuk selanjutnya disepakati dan dijalankan bersama secara konsekwen dan penuh tanggung jawab.
Rancangan peran ini lebih lanjut ditransformasi melalui penetapan distribusi tugas dan tanggung jawab yang jelas dalam tiap aktivitas bisnis yang dijalankan dan semuanya bersandarkan pada aturan dan kesepakatan yang dibuat bersama. Ini tentunya menunjukkan bahwa pola co-preneurship dapat membantu terdistribusinya tugas dan tanggung jawab secara adil dan merata antara pria dan wanita, yang lebih banyak didasarkan atas pertimbangan kapasitas individu yang dimiliki tiap pasangan.
Menariknya, baik pasangan pria maupun wanita justru memandang pasangan mereka sebagai kolega bisnis, ketimbang mempermasalahkan status sebagai suami ataupun istri dalam melakukan ativitas bisnis harian. Dengan adanya aturan dan kesepakatan, distribusi peran yang jelas, serta penetapan peran berdasarkan kapasitas individu, tentunya menghendaki kita merubah pandangan akan stereotype yang melekat pada peran dan status wanita didalam bisnis (yang dipandang lebih inferior/lebih rendah ketimbang pria). Dalam ruang lingkup sosial kemasyarakatan, adanya persepsi dan stereotype yang masih cenderung memandang wanita sebagai pihak yang inferior dalam berbisnis dengan demikian harus dihilangkan sedari dini.
Dari sudut pandang budaya, kajian kami menemukan fakta yang membuktikan bahwa praktek co-preneurship pada prinsipnya telah membantu menekan dan meminimalisir konstruksi psikologis dalam bentuk perasaan egoistik yang dimiliki pria, yang muncul sebagai konsekwensi atas budaya patrilineal yang dianut sebagian besar budaya di Indonesia.
Upaya menekan dan meminimalisir ego pria dalam pola co-preneurship ini terlihat dari diberikannya kebebasan bagi pasangan wanita untuk turut menentukan seperti apa peran yang dapat mereka lakukan pada bisnis yang dimiliki berdua. Kebebasan dalam menentukan peran dalam berbisnis dilakukan dan disepakati diawal masa pendirian usaha. Sehingga pada akhirnya, pasangan wanita yang diberi kebebasan tersebut cenderung dapat berpikir logis dan rasional untuk menyeimbangkan tugas dan tanggung jawab pribadinya, baik sebagai kollega bisnis maupun sebagai seorang anggota keluarga (sebagai istri dan ibu).
Semakin adanya toleransi atas ego pria yang diiringi dengan semakin meningkatnya kesadaran pasangan wanita akan tugas, tanggung jawab serta perannya sebagai kolega bisnis maupun sebagai pengelola keluarga, membawa implikasi berupa semakin berkembangnya perasaan respect/penghargaan terhadap eksistensi masing-masing pasangan. Tingkat respect yang makin meningkat dengan sendirinya akan semakin memperkecil potensi konflik yang kemungkinan terjadi antar pasangan. Hal ini tentunya merupakan sebuah manfaat positif dalam bentuk semakin berkembangnya budaya yang mengakui eksistensi wanita didalam belantara budaya patrilineal yang lebih mengedepankan pria sebagai pihak yang harus lebih diutamakan.
Dari perspektif relijiusitas keagamaan, studi kami memperlihatkan bahwa ternyata para narasumber kajian kami menilai bahwa agama dan relijiusitas mereka tidaklah begitu mengekang peran pasangan wanita didalam bisnis. Menggunakan relijiusitas keislaman sebagai parameter, narasumber studi kami yang seluruhnya beragama Islam meyakini bahwa Islam secara moderat telah mengatur batasan tugas dan tanggungjawab serta peran wanita, baik dalam rumah tangga (sebagai istri dan ibu) maupun dalam hal lain selain rumah tangga. Sehingga dengan demikian, yang perlu dituntut hanyalah kesadaran/awareness wanita untuk menyeimbangkan kehidupannya dalam berbisnis dengan kehidupan rumah tangganya dalam posisi sebagai istri maupun ibu. Dengan menggunakan konteks bisnis co-preneurship yang dimiliki dan dioperasikan berdua antara suami-istri yang dinilai merupakan upaya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan keluarga, tentunya peran berimbang antar gender amat diperlukan, baik sebagai mitra dalam berbisnis maupun sebagai pengelola keluarga/rumah tangga.
Menyimpulkan kesemua temuan terkasit praktek pola co-preneurship tersebut, dapat dikatakan bahwa distribusi peran gender dalam pola co-preneurship secara murni dilakukan berdasarkan hal berikut [a] kemampuan, potensi dan kompetensi, [b] kolaborasi dalam mencapai kesuksesan, [c] terciptanya komunikasi dan interaksi yang mesra antar pasangan, [d] penggunaan waktu yang lebih produktif, dan [e] kepercayaan yang bersumber dari adanya saling respect. Bentuk respect yang paling terlihat dalam praktek co-preneurship yang dilakukan oleh para narasumber kajian memperlihatkan adanya pengakuan terhadap kapasitas, potensi maupun kemampuan pasangan wanita dari pasangan pria.
Hal ini diperlihatkan dari terbentuknya prinsip kepercayaan untuk mengelola bisnis secara keseluruhan, mulai dari ide-ide bisnis, hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, menjalin komunikasi bersama klien, dan menentukan konsep bisnis seperti apa yang akan diaplikasikan pada bisnis yang dimiliki berdua. Tidak ada unsur paksaan ataupun tekanan sedikitpun yang terlihat dari pihak pasangan pria, yang merupakan sinyal kuat akan semakin tolerannya pasangan pria terhadap pasaangan wanitanya dalam berbisnis. Dengan demikian lebih lanjut bisa disimpulkan bahwa stereotype yang memandang posisi wanita sebagai pihak yang lebih inferior dibanding pria dalam berbisnis menjadi sebuah hal yang tidak terjadi dalam praktek co-preneurship.
Berbagai temuan yang sudah disampaikan terdahulu terkait peran gender dalam praktek co-preneurship ini menimbulkan satu implikasi penting dalam memahami peran gender khususnya wanita didalam bisnis. Pasangan wanita yang selama ini di-stereotype-kan sebagai pihak yang memiliki handicap/keterbatasan didalam berbisnis bersama pria, ternyata tidaklah demikian adanya. Peran masing-masing gender didalam co-preneurship ternyata tidak bertabrakan dengan apa yang dituntut secara sosial, budaya bahkan relijiusitas yang lebih lanjut membentuk nilai-nilai serta norma yang dianut.
Bahkan sebaliknya, pola dan praktek co-preneurship secara filosofis sebenarnya telah menancapkan akar yang kuat terkait profesionalisme antar gender terkait peran yang harus didalami dan dilakukan dalam bisnis. Prinsip utama profesionalisme berupa respect/saling menghargai, openness/keterbukaan yang ditunjukkan melalui transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan tugas-tanggung jawab, serta pengakuan terhadap kapasitas, kemampuan dan potensi masing-masing pihak merupakan sesuatu yang ternyata bisa ditawarkan melalui pola dan praktek berbisnis dengan model co-preneurship.
Hal ini tentunya merupakan angin segar bagi para wanita yang berencana untuk berbisnis setelah memiliki pasangan hidup, yang dapat dijadikan jaminan bagi pasangannya/suami bahwa keterlibatan mereka secara aktif dalam bisnis yang dimiliki berdua merupakan sebuah keuntungan tersendiri. Dengan demikian wanita sesuai perannya didalam bisnis seharusnya tidaklah dinilai sebagai sebuah handicap yang membentuk stereotype negatif ditengah masyarakat. Peran wanita dalam berbisnis sebaliknya justru harus dipandang sebagai pemicu bagi terciptanya profesionalitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab antar gender dalam berbisnis.
Hafiz Rahman
Dosen-Peneliti Kewirausahaan dan UKM – Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas
Direktur - Center for Excellence in Entrepreneurial Dynamics (CEEDy) – Universitas Andalas
Research Fellow/Peneliti Post-Doktoral - Brandenburgische Technische Universitaet (BTU) Cottbus, Jerman