Langgam.id - Meski berada dalam kota yang terisoliasi, kondisi mahasiswa Indonesia di Kota Wuhan, Tiongkok masih bertahan. Sempat dikabarkan kekurangan logistik, namun menurut Yuliannova Lestari Chaniago, salah seorang mahasiswa Indonesia, situasinya tidak segawat itu. Mereka masih bisa mencukupi logistik.
Selain karena isolasi, situasi tambah sepi karena libur Imlek. Namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-sehari, ia menilai masih kondusif. Kebutuhan warga di kota tersebut, menurutnya, masih aman karena masih ada toko yang buka dan ada pasokan logistik.
"(Untuk soal kebutuhan sehari-hari), kami di sini baik-baik saja. Situasinya tidak seburuk kabar yang banyak beredar," katanya kepada Langgam.id, saat dihubungi via telpon, Senin (27/1/2020).
Segala kebutuhan sehari-hari seperti logistik, masih bisa dibeli di beberapa toko yang buka. "Karena lagi libur Imlek, memang tak banyak toko yang buka. Tapi masih ada yang buka dan menjual berbagai kebutuhan," katanya.
Wuhan adalah ibu kota Provinsi Hubei, Tiongkok. Kota ini berjarak lebih 1000 kilometer dari Beijing, ibu kota Tiongkok. "Kota ini bagian dari provinsi yang besar," kata Yuli.
Saat libur Imlek, menurutnya, Wuhan memang cenderung sepi. Warga setempat banyak yang berlibur ke luar kota, termasuk beberapa pelajar asal Indonesia.
"Saya sendiri memang tak pulang (ke Tanah Air) kalau libur Imlek. Karena liburnya tak terlalu lama. Libur yang lebih lama itu saat musim panas," ujarnya.
Yuliannova Lestari Chaniago (26) adalah kandidat doktor hubungan internasional di Central China Normal University, Wuhan. Lahir di Banda Aceh dari orang tua keturunan Minang dan Jawa, Yuli besar di berbagai kota.
Ia menyelesaikan S1 di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh pada 2016 dan pada 2017 mendapat beasiswa S2 di Wuhan. Ini adalah tahun ketiganya di kota tersebut. Dua tahun pertama, ia menempuh S2, dan sudah setahun menjadi mahasiswa S3.
"Kami berkomunikasi intens dengan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) Beijing soal kondisi di sini. Berdasar data KBRI, ada 97 orang warga Indonesia di kota ini. Di Provinsi Hubei sendiri ada 251 warga Indonesia. Mayoritas adalah pelajar," tuturnya.
Menurut Yuli, setelah virus diketahui menyebar dan mengakibatkan kematian beberapa orang, Pemerintah Tiongkok mengisolasi kota tersebut. Tak boleh keluar dan masuk ke kota itu. Meski demikian, pemerintah setempat menjamin kebutuhan logistik warga setempat. "Yang penting adalah menjaga diri mengenakan masker."
Kepada KBRI, menurut Yuli, para pelajar memang meminta bisa keluar dari Wuhan. Namun, mereka juga paham, harus mengikuti standar prosedur pemerintah Tiongkok yang sudah menerapkan larangan masuk dan keluar.
"Tentu pemerintah Tiongkok tidak segampang itu mengizinkan orang keluar dari sini. Karena harus preventif. Tapi, tentu juga pemerintah kita juga ingin menjamin keamanan diaspora. Yang penting, komunikasi kami intensif dengan KBRI Beijing. Mereka memperhatikan kami," katanya.
Bila nanti sudah diizinkan, ulas Yuli, tentu mereka juga harus menjalani pemeriksaan sebelum meninggalkan Wuhan.
Sembari menunggu itu, menurutnya, para pelajar berbagai negara-negara di dunia di asrama yang dia tinggali maupun pelajar Indonesia terus saling berkomunikasi. "Komunikasi intens. Hingga saat ini, orang Indonesia di sin belum ada yang terinfeksi virus. Semua masih sehat," tuturnya.
Ia mengatakan, pemerintah setempat juga membagikan termometer. Bila suhu tubuh naik, bisa mendatangi rumah sakit untuk diperiksa.
Sejauh ini, menurut Yuli, warga yang meninggal akibat virus corona tersebut, sudah berusia lanjut. Sementara, yang lain masih dirawat.
"Mohon doa dan dukungan agar kami tetap tenang dan tidak panik dalam menghadapi situasi sekarang," katanya.
Soal Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) yang sedang mencari apakah ada warga asal Sumbar di Wuhan, Yuli menyarankan ke KBRI. "Saya kenal dua orang. Satu orang di sini, satu lagi di luar kota tapi masih di provinsi yang sama. Namun, lebih baik memakai data KBRI." (HM)