Saya sangat kaget dengan lahirnya SKB 3 menteri yang mengatur terkait seragam sekolah. Miris, prihatin sekaligus kecewa. Hanya beberapa hari saja, tidak sampai satu bulan dari peristiwa "jilbab" di SMKN 2 Padang, SKB 3 Menteri itu langsung keluar.
Segitu darurat dan emergensikah permasalahan ini? Adakah nyawa yang melayang, atau ancaman nyata disintergrasi bangsa dengan permasalahan jibab tersebut? Atau adakah bencana besar yang akan mengancam dunia pendidikan, sehingga segitunya respons menteri dan pemerintah pusat?
Tidak satu atau dua orang guru, kepala sekolah dan praktisi pendidikan yang menjapri saya setelah SKB itu diumumkan. Semuanya mengekspresikan kecemasan dan kekhawatiran terhadap perilaku peserta didik ke depan.
Saya sangat memaklumi dan ikut merasakan suasana kebatinan tersebut. Sebab saya juga seorang guru dan pendidik. Ada beberapa catatan penting saya atas SKB 3 Menteri tersebut:
Pertama, SKB tersebut bermaksud untuk menghadirkan toleransi dan menghapuskan intoleransi di dunia pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah negeri. Tapi sayangnya pengertian intoleransinya sudah berlebihan. Harusnya yang dilarang itu adalah pemaksaan seragam sebuah agama ke penganut agama lain. Itu saja sudah cukup. Selesai masalah, karena memang akar masalahnya itu saja.
Tapi, ini justru kepada yang seagama juga tidak dibolehkan penyeragaman. Sungguh ini sudah keluar dari kontek dan substansi masalah. Apakah para siswi muslimah diseragamkan pakai jilbab dianggap intoleransi? Lalu kalau bebas tak pakai jilbab menjadi toleransi? Khawatirnya malah mengarah kepada sekulerisasi.
Kedua, SKB tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan bagi pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Maka memakai jilbab dan menutup aurat adalah kewajiban bagi setiap muslimah. Sehingga ketika sekolah mewajibkan atau menyeragamkan hal itu kepada siswi yang muslimah saja, pada hakekatnya itu telah sejalan dengan agama dan dilindungi oleh UUD 1945.
Ketiga, SKB juga telah menafikan adat dan budaya serta kearifan lokal masing-masing daerah, yang juga dilindungi oleh UUD 1945 dan juga Undang-Undang.
Banyak daerah selain Aceh yang memiliki akar budaya berbasis agama. Seperti di Sumbar, Riau, Banten, gorontalo dan juga Bali. Adat dan budaya itu selama ini telah tercermin dalam busana dan pakaian resmi sekolah dan perkantoran. Telah berurat berakar bertahun-tahun.
Keempat, secara tidak langsung SKB 3 menteri ini telah menyebabkan pelemahan terhadap institusi pendidikan. Otoritas pilihan pakaian seragam diserahkan sepenuhnya kepada anak dan orang tua. Lembaga atau sekolah tidak berhak lagi mengatur. Nilai-nilai pendidikan dan akhlak mulia yang sudah ditanamkan selama ini oleh pihak sekolah bisa tergerus.
Akibatnya sekolah bisa menjadi semakin tidak berwibawa di mata anak dan orang tua. Jangan heran kalau nanti kasus anak atau siswa yang bersikap kurang sopan kepada guru semakin meningkat. Termasuk orang tua yang sampai berani bersikap kasar kepada guru, atau bahkan pernah terjadi orang tua yang memukul guru.
Disamping itu, kepala sekolah dan guru yang selama ini sudah mulai tertekan dengan ancaman HAM, sekarang ditambah lagi dengan ancaman sanksi karena menertibkan seragam anak-anak didik mereka. Potensi konflik antara anak dan orang tua di satu sisi dan kepala sekolah dan guru di pihak lain, akan meningkat.
Kelima, SKB 3 Menteri ini kurang proporsional dalam menakar masalah. Hanya efek dari sebuah masalah kecil di sebuah sekolah dari puluhan ribu sekolah negeri di Indonesia. Itupun masalahnya sudah selesai.
Masih banyak masalah-masalah besar dan krusial dunia pendidikan yang harus diselesaikan oleh pejabat selevel Menteri. Apalagi pandemi ini belum berakhir. Belajar daring dengan segala permasalahannya belum bisa diselesaikan. SKB 3 Menteri ini perlu direvisi, agar tidak menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari.
Tujuan pendidikan nasional dalam UU sisdiknas tahun 2003 yaitu: mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang baik, akan semakin jauh panggang dari api. Kenakalan remaja yang mereka notabene adalah pelajar dan siswa, hari demi hari semakin meningkat, baik secara jumlah maupun jenisnya.
Jangan sampai, ada tikus yang masuk ke lumbung padi, lumbungnya yang dibakar. Bukan tikusnya yang ditangkap.
Wallahu A'lam.