Langgam.id - Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengeluarkan resolusi baru. Inilah kali ketiga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan terkait haji.
"Resolusi baru tanggal 26 Maret 1831, nomor 24, lebih lanjut menetapkan bahwa mereka yang telah melakukan ziarah (naik haji) tanpa izin, harus membayar dua kali lipat, sebanyak f220 setelah mereka kembali," tulis Th. W. Juynbol dalam 'Handleiding Tot De Kennis Van De Mohammedaansche Wet' (1930).
Peristiwa keluarnya peraturan baru terkait haji tersebut, tepat terjadi 188 tahun yang lalu dari hari ini, Selasa (26/3/2019)
Resolusi Gubernur Jenderal yang ketiga ini mengatur perubahan denda dari f1000 menjadi f220 gulden. Sebelumnya, denda yang sangat besar tersebut diputuskan oleh Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen tanggal 31 Agustus 1827.
Aturan tahun 1827 juga terkait dengan resolusi sebelumnya, pada 18 Oktober 1825. yang mengatur, setiap jamaah haji dari Hindia Belanda harus membayar biaya pass sebanyak f110 gulden. Jadi, bagi mereka yang tidak membayar dan berangkat secara illegal ala Pemerintah Kolonial, didenda dua kali lipat dengan aturan tahun 1831 tersebut.
Semula, aturan itu hanya berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura. Belakangan, pada 3 Mei 1852, Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist juga menerapkan aturan serupa untuk jamaah haji dari Palembang dan Pantai Barat Sumatra alias Sumatra's Westkust (Sumatra Barat).
Menurut M. Shaleh Putuhena dalam Buku 'Historiografi Haji Indonesia', meski ada aturan tersebut, banyak jamaah haji yang tidak membayarnya. Ada yang tidak tahu, ada juga yang tahu tapi tak mau membayar karena dinilai sangat mahal.
Shaleh membandingkan pajak f110 gulden tersebut, dengan harga tiket kapal Padang-Jeddah pada tahun 1870 yang hanya f105 gulden, atau setara 50 dollar. Lagi pula, Pemerintah Hindia Belanda sulit mengontrol jamaah haji karena tidak punya konsulat di Jeddah.
"Oleh karena itu, sebagian jamaah haji mengambil pas jalan di Singapura, Penang atau di Bombay. Dari sana mereka langsung ke Jeddah," tulis Shaleh.
Menurutnya, baru pada 1872, jumlah jamaah haji yang tidak memiliki pass berkurang, setelah Belanda mendirikan konsulat di Jeddah.
Sebelum abad ke-19, umat Islam Nusantara yang ingin naik haji naik kapal dagang. Menurut, Shaleh, baru pada 1825 menggunakan kapal khusu jamaah haji milik Syaikh Umar Bugis.
Melihat Belanda tak masuk ke bisnis ini, pada 1858, sebuah kapal uap Inggris masuk ke bisnis angkutan haji tersebut. Ada lagi orang Arab di Batavia yang membuka rute berangkat dari Batavia, Padang dan terus ke Jeddah.
Melihat makin banyak jamaah. Belanda akhirnya tergiur juga. "Setelah pembukaan Konsulat Belanda di Jeddah pada 1872 dan peresmian penggunaan Terusan Suez dua tahun sebelumnya, Belanda mulai berpartisipasi dalam pengangkutan jamaah haji," tulisnya.
Melalui Staatsblad 1872 No 179, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan empat pelabuhan sebagai embarkasi jamaah haji. Yakni, Pelabuhan Batavia, Semarang, Makassar dan Padang. Pada 1880 kemudian ditambah dengan Pelabuhan Ulee Lheue, Aceh.
Pada 1898 kemudian keluar lagi peraturan baru melalui Staatsblad No 294. Pelabuhan embarkasi haji diciutkan jadi dua, hanya Batavia dan Padang saja.
Di Sumbar, jamaah haji mulai ramai sejak akhir abad ke 17. Christine Dobbin dalam 'Islamic Revivalism in a Changin Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847' menulis, ramainya jamaah haji dari Sumbar karena mulai meningkatnya perekonomian rakyat akibat perdagangan cassia, kopi dan gambir dengan Eropa dan Amerika.
Banyaknya haji yang pulang dari Mekah, di sisi lain memicu pembaruan gerakan Islam di Minangkabau. Hingga akhirnya, jadi gerakan Padri dan pada muaranya jadi lawan Belanda yang tangguh. Usai masa itu, dari mereka yang kemudian belajar agama di Makkah, memicu munculnya banyak ulama intelektual yang kemudian mendirikan sekolah dan pesantren Islam. (HM)