Bulan Peringatan Hari Purbakala: Apa Kabar Pemberdayaan Situs Cagar Budaya?

Bulan Peringatan Hari Purbakala: Apa Kabar Pemberdayaan Situs Cagar Budaya?

Salah satu cagar budaya bekas bunker Jepang di Padang. (Foto: Saraga Mulyana)

Situsku sayang, cagar budayaku malang. Sebuah metafora representatif yang tepat untuk ratapan pada sejarah yang perlahan dilupakan. Di Padang Besi, struktur beton tua bekas peradaban berdiri sepi. Tanpa pagar,tanpa papan pengenal namun dikelilingi bungkus plastik, beling dan segerombol ilalang. Tak ada pertanda jejak sejarah. Ini lebih cocok disebut pembuangan.

Melangkah lebih dekat ke kawasan yang berada di Kota Padang, Sumatra Barat itu, lubang tembak  sedikit mengintip malu di antara belukar. Di balik itu, pintu masuk seakan menunggu, menanti siapa saja yang penasaran untuk masuk dan kembali  mencari tahu. Sayang, tidak satupun orang berkunjung, tidak pelajar, petugas jaga atau bahkan tanda pengenal.

Selepas menapaki belukar ilalang, perjalanan berlanjut. Beberapa meter melangkah ke dalam kompleks  di samping bumi perkemahan, kami menemukan sebuah lubang berundak tangga. Di sini, kondisinya sedikit lebih baik. Terpasang sebuah plang pemberitahuan yang menyatakan bahwa di bawah sana terdapat bunker bekas pendudukan Jepang. Menariknya, pintu masuk tersebut justru tertutup seng berkarat seolah menyambut siapa pun yang masih penasaran. Oh iya, hampir saja salah satu dari kami terjerembap ke dalam lubang di seberang - yang awalnya kami kira septiktank yang ditutupi seng. Ternyata, itu adalah akses masuk lain menuju ruang bawah tanah.

Nasib nahas kompleks bunker Jepang Padang Besi bukan satu-satunya, tapi potret umum dari ratusan situs sejarah di Indonesia. Ditelantarkan perlahan, bukan karena waktu, namun ketidakpedulian tersistematis. Diakuisisi sebagai warisan budaya, namun dibiarkan usang dan hilang. Digemborkan sebagai jejak peradaban, namun dibiarkan luntang-lantung tanpa arah. Bahkan lucunya, status cagar budaya bukan predikat istimewa. Tak ada jaminan terus terawat, dianggap saja mujur. Tak ayal terlintas sebuah helaan, “Cagar budaya saja dibiarkan usang, lalu apa kabar situs yang belum teridentifikasi?”

Apa kabar Undang-Undang Cagar Budaya?

Faktanya, sejak era kolonialisme di Tanah Air, 14 Juni diperingati sebagai Hari Purbakala—hari berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië (Dinas Purbakala Hindia Belanda) pada 14 Juni 1913. Lembaga kolonial ini memainkan peran strategis dalam membentuk fondasi konservasi situs di era pascakemerdekaan. Bahkan dalam catatan sejarah, identifikasi situs dan pola pemetaan cagar budaya merupakan warisan konsep dari lembaga tersebut.Transformasi lembaga ini melahirkan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN), yang kemudian berkembang menjadi Balai Arkeologi dan BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya). Melalui kebijakan nasional, Balai Arkeologi kemudian direorganisasi dan terintegrasi ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).

Perkembangan kelembagaan situs cagar budaya ini boleh saja dianggap sebagai upaya optimalisasi struktur organisasi—memperjelas tugas pokok, fungsi, dan menguatkan peran pemerintah. Namun, semua perubahan nomenklatur dan jalur birokrasi itu seringkali tampak seperti besi rongsok yang dipoles cat baru. Nampak modern di permukaan, tapi usang dalam regulasi dan arah kebijakan.Tak ayal, lagu lama kaset baru menjadi sindiran yang tepat untuk euforia sesaat yang selalu muncul setiap ada transformasi birokrasi. Setelah situs teridentifikasi, apakah ia bertahan atau tergerus zaman, sepenuhnya dikembalikan pada “takdir” masing-masing—tanpa ada jaminan keberlanjutan.

Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 tak ubahnya seperti aturan usang yang disorongkan kepada realitas perkembangan zaman. Ia dipaksa tampil gagah sebagai regulasi, padahal isi dan batang tubuhnya sudah tidak lagi selaras dengan eranya. Kekurangan dalam sejumlah pasal pun tidak ditambal dengan peraturan turunan yang memadai. Undang-undang ini tetap dijadikan dasar pengambilan keputusan, meski bermakna atau tidaknya keputusan tersebut seringkali dianggap urusan belakangan.Kritik tajam ini bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak? Aturan yang disahkan lebih dari 15 tahun lalu masih menyisakan banyak kekosongan. Kompleks pertahanan bunker Jepang di Padang Besi menjadi salah satu potret miris yang masih bisa diidentifikasi. Lalu, bagaimana nasib situs lainnya?

Bahkan di kota yang sama, situs Cagar Budaya Rumah Singgah Soekarno yang berdiri tepat di depan kediaman Wali Kota, beberapa tahun lalu dihancurkan secara terang-terangan. Tidak ada sanksi, tidak ada penyelamatan. Hanya klarifikasi singkat dari Hendri Septa selaku wali kota waktu itu: “Tidak usah kita ribut-ribut.” Jawabannya familiar: ketidaktahuan.

Selain minimnya penegakan unsur pidana yang terkandung dalam regulasi, pengelolaan dan pemeliharaan situs juga lemah. Tidak ada aturan baku soal pola edukasi atau publikasi yang menyesuaikan zaman. Bahkan, tak ada satu pun pasal yang secara konkret membahas insentif bagi pemilik atau pengelola situs.

Singkat kata, pemerintah berperan layaknya juru selamat: gencar memetakan situs cagar budaya, namun setelah itu—tak ada dukungan. Padahal, banyak situs berada di bawah kepemilikan perorangan atau badan usaha, yang memiliki urgensi ekonomi untuk memanfaatkan aset tersebut. Inilah yang kerap jadi latar belakang perusakan situs budaya: ketika ekonomi menjadi musuh sejarah. Konsep Sustainable Cultural Heritage Economy seharusnya sudah menjadi bagian dari kebijakan kita hari ini. Maka pertanyaannya: kesalahan siapa?

Lalu, untuk siapa sebenarnya situs-situs itu diselamatkan?

Jika jawaban klisenya “untuk generasi mendatang”, maka sudah sepatutnya kita bertanya: generasi mana yang dimaksud, jika hari ini saja generasi muda tak diperkenalkan? Sekolah-sekolah abai, pemerintah absen, dan publik dibiarkan menganggap bahwa reruntuhan sejarah adalah sekadar puing tak penting. Maka jangan heran jika suatu hari generasi itu tumbuh tanpa kenangan, tanpa keterikatan, tanpa identitas.

Sementara itu, negara hadir di atas kertas. Dalam bentuk aturan yang kering dan jargon pelestarian yang digembar-gemborkan pada momen-momen seremoni. Undang-Undang Cagar Budaya menjadi kitab suci yang jarang dibuka, apalagi dibaca secara kritis. Ia lebih sering menjadi tameng pembenaran, bukan alat transformasi. Apalagi ketika sanksi terhadap pelanggaran tak pernah benar-benar ditegakkan dan insentif bagi para pelestari tak pernah konkret dirumuskan.

Konsep pelestarian yang seharusnya bersifat dinamis justru kerap dikunci dalam birokrasi yang statis. Proses konservasi situs ditunda dengan alasan administratif, dihambat dengan kewenangan silang lembaga, atau bahkan dikesampingkan demi pembangunan ekonomi yang tidak ramah sejarah. Dalam iklim seperti ini, bagaimana bisa situs cagar budaya berdiri kokoh jika landasan hukumnya sendiri keropos?

Padahal dunia telah melangkah jauh. Di banyak negara, warisan budaya dijaga bukan hanya karena nilai historisnya, tapi karena ia berkontribusi pada ekonomi kreatif, pendidikan, hingga kebanggaan nasional. Di sini, kita masih terjebak pada wacana ‘jangan disentuh’ atau ‘biarkan saja’, alih-alih menjadikannya sumber daya hidup yang terintegrasi dalam pembangunan.

Maka yang perlu ditanyakan bukan lagi siapa yang harus bertanggung jawab, tapi masih pantaskah kita mengaku sebagai bangsa yang menghargai sejarah? Jika situs bersejarah saja dibiarkan runtuh oleh kebijakan yang stagnan dan ketidaktahuan yang dibiarkan subur, barangkali yang tinggal hanya puing-puing simbolik: papan plang, nomenklatur, dan pengakuan resmi—tanpa makna di akar rumput.

Sebab warisan bukan hanya tentang apa yang kita terima dari masa lalu, tetapi apa yang kita pilih untuk pertahankan bagi masa depan. (*)

Saraga Mulyana adalah direktur Komunitas Sagara Project

Baca Juga

Ahli Geologi Sebut Berbatuan yang Ditemukan di Lubuk Alung Struktur Geologi Langka nan Tersingkap
Ahli Geologi Sebut Berbatuan yang Ditemukan di Lubuk Alung Struktur Geologi Langka nan Tersingkap
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
BPK Wilayah III Sumbar Edukasi Pemilik dan Pengguna Cagar Budaya di Agam
BPK Wilayah III Sumbar Edukasi Pemilik dan Pengguna Cagar Budaya di Agam
Ketua Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatra Barat (Sumbar), Undri menyebutkan bahwa bangunan lama SMA 1 Padang yang berada di Jalan
Usai Tinjau Bangunan Lama SMA 1 Padang, Ini Kata Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumbar
Gedung lama SMA 1 Padang yang berada di Jalan Jendral Sudirman mengalami pemugaran di bagian pagar dan salah satu ruangan. Perlu diketahui,
Bangunan Cagar Budaya Bekas SMA 1 Padang Dipugar, Ini yang Diperbaiki
Cagar Budaya Masjid Raya Ganting Butuh Perbaikan, Anggota DPRD Sumbar Minta Perhatian Pemda
Cagar Budaya Masjid Raya Ganting Butuh Perbaikan, Anggota DPRD Sumbar Minta Perhatian Pemda