Langgam.id - Kelompok Diskusi Halaqah Budaya menggelar diskusi dan peluncuran buku "Ibu Kemanusiaan, Catatan-Catanan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif". Kegiatan ini berlangsung di Hotel Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (25/6/2021) lalu.
Direktur Halaqah Budaya Edy Utama dalam rilis kepada media mengatakan, kegiatan tersebut untuk melengkapi perayaan 86 tahun Buya Syafii Maarif yang sebelumnya dinilai sejumlah kalangan belum merespons isu soal perempuan.
Sebanyak 34 penulis buku berasal dari berbagai latar belakang, sejak dari menteri, akademisi, sastrawan, jurnalis hingga politisi. Mereka antara lain, Retno Marsudi (menteri luar negeri), Ayu Utami, Najwa Shihab hingga Grace Natalie. Terdapat juga sejumlah penulis asal Sumbar, seperti Devi Adriyanti, Ka'bati, Rezki Khainidar dan Silfia Hanani.
Menurut Ketua Pelaksana Abrar Datuk Gampo Alam, Buya Ahmad Syafii Maarif adalah seorang Minangkabau sejati, meski dalam tulisan-tulisan beliau tidak dinyatakan secara verbal. "Dari diri Buya, lahir pemikiran yang spektakuler dan melampaui zamannya," katanya.
Perupa asal Lintau Jumaldi Alfi, salah seorang inisiator buku mengatakan, ada kritik mengapa Buya minus membicarakan topik-topik keperempuanan. "Maka untuk ulang tahun Buya yang ke 86, ada inisiasi bagaimana Buya di mata para perempuan," tuturnya.
Hadir dalam peluncuran tersebut Rektor UNP Ganefri. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap upaya membumikan gagasan-gagasan dalam buku ini. Menurutnya, Buya Syafii merupakan sebagai guru bangsa, tokoh yang menguatkan moderasi agama, pejuang toleransi dan humanis.
Tiga Esensi
Dosen UIN Imam Bonjol Muhammad Taufik mengatakan tiga esensi pemikiran Buya Syafii Maarif. Lokus pemikiran Buya menurutnya, soal Keindonesiaan, Keislaman, dan Kemanusiaan.
Devi Adriyanti, salah seorang penulis, mengemukakan catatan kreatif penulisannya yang berlatar belakang kepada empati terhadap isu keperempuanan yang menjadi implementasi pada laku harian Buya. Senada dengan yang dicatat oleh penulis lain, Rezki Khainidar. Menurutnya, sikap Buya yang mandiri, menghindari bantuan orang lain, meskipun untuk orang sekelas beliau, layanan tersebut lumrah diterimanya, terutama dalam urusan domestik adalah bentuk pembelaan dan perlindungan bagi perempuan yang secara umum selalu mendapat beban-beban domestik tersebut.
Pegiat Literasi Sumbar Yusrizal KW mengatakan, Buya merupakan sosok yang independen, bersahaja, dan berpihak kepada kebenaran. Ketika terjadi hal-hal yang intoleran, maka Buya akan jadi tempat berpegang untuk menemukan solusi.
Selepas acara, Abrar Dtk Gampo Alam menyampaikan, diksi "ibu" dalam judul buku. "Maksudnya jelas bukan ibu biologis. Ibu di sini adalah ibu metafora, yang maknanya tidak bisa langsung selurus arti tekstualnya," tuturnya.
Edy Utama mengatakan, buku ini menghidupkan imajinasi pembaca terhubung dengan makna ibu yang selalu menjadi titik pancar sebuah gagasan. Bisa saja, pemaknaan pembaca bisa kembali kepada khazanah berpikir masyarakat budaya di Nusantara. Menurut Edy, misalnya, dalam memberi arti pada semangat kebangsaan yang diiliustrasikan dengan mencintai Ibu Pertiwi, pusat administrasi pemerintahan disebut dengan "ibu kota", dan lain sebagainya. (*/SS)