Oleh: Marc Akmal
Bukit Benteng di Jorong Tigo di Nagari Tanjuang Baringin menjadi salah satu bukti dan saksi bisu Perang Padri yang berlangsung pada abad ke-19.
Bukit yang terletak di Kecamatan Lubuk Sikapiang, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat tersebut, menurut Yulizar (65), tokoh masyarakat setempat, merupakan salah satu bukti sejarah selama Perang Padri.
Sesuai dengan namanya, Bukit Benteng adalah pertahanan yang terletak di perbukitan, dibentuk dengan susunan batu-batu. Benteng ini digunakan oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol ketika menghadang tentara Belanda yang menyerang ke Pasaman.
Pada masa itu, Lubuk Sikaping merupakan salah satu kubu pertahanan pasukan Padri yang dikomandoi oleh Tuanku Imam Bonjol dengan Lembah Alahan Panjang (Bonjol) sebagai daerah pusat pertahanannya.
Daerah ini dipilih sebagai benteng pertahanan pada 1803. Pemilihan daerah ini dilandasi oleh topografi yang berada di kaki bukit dan dekat lahan pertanian, sehingga musuh hanya mempunyai satu jalan ketika terjadi perlawanan. Bagi pasukan Tuanku Imam ini juga mempermudah pasokan perbekalan.
Salah satu benteng yang terletak di kaki Bukit Tajadi, dinamai sesuai nama bukit itu. Tuanku Imam Bonjol berstrategi, mendirikan 90 kubu pertahanan di sekitaran daerah kekuasaannya, salah satunya di daerah Lubuk Sikaping (Madjani Martin, 1984).
Bukit Benteng jadi berfungsi sebagai tempat mengintai musuh dan tempat perlawanan jika ada yang sedang menempuh perjalanan menuju Bonjol. Demi menjaga daerah pusat pertahanan, pasukan Tuanku Imam Bonjol memanfaatkan topografi wilayah perbukitan sebagai benteng untuk menghadapi perlawanan kaum adat.
Pada tahap pertama Perang Padri pada awalnya berhadapan dengan kaum adat. Konflik itu bermula dari penilaian banyaknya bid'ah yang dilakukan kaum adat. Pertentangan ini terjadi selama 18 tahun (1803-1821).
Setelah pertentangan antara kaum adat dengan Kaum Padri. Timbullah pertentangan baru, yaitu antara Masyarakat Minangkabau (gabungan antara kaum adat dan kaum paderi) dengan Belanda (Madjani Martin, 1984).
Maka, tujuan pendirian benteng-benteng pertahanan Kaum Padri tidak lagi sebagai daerah pengintai atau perlawanan terhadap kaum adat, namun serdadu Belanda sebagai gantinya.
Perlawanan pasukan Tuanku Imam Bonjol di tembok benteng ini cukup unik, yaitu dengan senjata tradisional, dengan cara melemparkan pohon besar yang ditebang, lalu batang dari pohon dibagi bagi sekitar per 1 meter, lalu diikat dengan tali.
Senjata yang dibuat oleh masyarakat digunakan setelah dilakukan pengintaian kepada serdadu Belanda. Ketika ada serdadu Belanda mencoba untuk memanjat tembok benteng itu, maka akan dilemparkan atau dilepaskan ikatan tali itu sehingga ruas batang besar itu dapat mengenai mereka.
Cerita turun temurun yang diterima Yulizar dari orang-orang tua Jorong Benteng, pada masa itu, senjata yang digunakan antara lain, ketapel, batu, dan umban tali.
Dengan taktik perlawanan, pasukan Tuanku Imam Bonjol dapat menghadang pergerakan pasukan Belanda melalui Bukit Benteng.
Dilihat dari ujung tebing bukit benteng, memang langsung mengarah ke labuah atau jalan besar yang merupakan salah satu jalur akomodasi dan transportasi pada masa itu, sehingga memudahkan pasukan Tuanku Imam Bonjol untuk mengawasi pergerakan dari kaum adat atau pasukan Belanda.
Pemilihan kontur bukit ini memang cocok ditempatkan sebagai daerah pertahanan pasukan tuanku Imam Bonjol, disebabkan oleh dari sisi depan, belakang, samping kiri dan kanan, dapat mengetahui pergerakan pasukan musuh atau Belanda pada masa itu.
Menurut cerita rakyat Lubuk Sikapiang atau floklor rakyat setempat, di dalam tembok benteng itu Tuanku Imam Bonjol menyembunyikan emas yang ditutup dengan kain sajadahnya.
Emas kemudian disimpan di tembok benteng dengan harapan akan ditemukan oleh orang yang benar-benar susah dan tidak punya apa-apa. Emas itu sampai sekarang ini belum ditemukan.
Saat ini, kondisi bukit benteng ini sudah menjadi perkebunan masyarakat. Jejak peninggalan bukit benteng ini sudah tidak dirawat dan ada beberapa tempat yang sudah menjadi semak belukar tak terurus.
Susunan batu yang dijadikan sebagai benteng pun telah banyak yang tertimbun oleh tanah, sehingga tak jelas bentuk benteng tersebut.
Dengan adanya tempat bersejarah yang terletak di Tanjuang Baringin ini, perangkat nagari ingin menjadikan tempat bersejarah ini sebagai cagar budaya.
Warisan Sejarah yang hampir tertimbun oleh tanah ini seharusnya terus dilestarikan keberadaannya sehingga menjadi nilai penting dalam masyarakat, sejalan dengan itu dapat dijadikan sebagai penunjang perekonomian nagari.
Ketua Lembaga Pengolahan Hutan Nagari Teguh Wahyu Wardhana mengatakan, tempat bersejarah itu akan dijadikan sebagai cagar budaya.
Wali Nagari Tanjung Baringin Ronal Yulmasri mengatakan, upaya cagar budaya dan melestarikan nilai-nilai serta cerita-cerita masyarakat merupakan bagian dari upaya memajukan nagari.
Hal itu disampaikan wali nagari pada mahasiswa yang mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) Universitas Andalas (Unand) di wilayah tersebut. Pada 2024 ini, Nagari Tanjung Baringin memang menjadi salah satu lokasi KKN mahasiswa Unand.
KKN merupakan salah satu wujud pelaksanaan pengabdian masyarakat yang menjadi bagian dari tri dharma perguruan tinggi. Pengabdian Masyarakat pada dasarnya tidak hanya untuk memberikan ilmu kepada masyarakat. Namun, warga juga memberikan ilmu kepada pengabdi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bagi-membagi ilmu pengetahuan oleh pengabdi ke masyarakat, lalu pembagian budaya, cerita rakyat (foklor), legenda masyarakat, dan juga cerita tempat-tempat bersejarah oleh masyarakat kepada pengabdi.
Oleh karena itu, tidak hanya monolog atau pemberian pengetahuan satu arah oleh pengabdi kepada masyarkat, namun menghasilkan efek timbal-balik dari pengabdi kepada masyarkat juga masyarakat kepada pengabdi. (*)
Marc Akmal, mahasiswa Fakultas Hukum Unand, KKN di Nagari Tanjuang Baringin