Bukan Resiprokal, Tapi Koersif: Tarif Trump Sebagai Genosida Ekonomi

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.

Prof Dr Syafruddin Karimi SE MA (Foto: ist)

Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump menyebut kebijakan tarifnya sebagai bentuk “resiprokal,” seolah-olah ingin menciptakan keseimbangan perdagangan yang adil antara mitra dagang. Namun, dalam praktiknya, apa yang terjadi justru adalah bentuk paling telanjang dari tarif koersif. Trump tidak memberi ruang bagi perundingan sejajar. Hanya AS yang boleh menentukan besar kecilnya tarif, sementara negara mitra dipaksa pasif, menerima begitu saja keputusan sepihak yang diumumkan dari Gedung Putih. Ini bukan resiprositas, ini pemaksaan.

Trump menjanjikan bahwa tarif tambahan bisa diturunkan, tapi syaratnya harus ada konsesi tambahan yang menguntungkan AS dan merugikan kedaulatan ekonomi negara mitra. Bahkan tarif setinggi 19 persen pun oleh Trump dianggap sebagai harga yang belum pantas. Ia masih menuntut lebih — lebih banyak pembukaan pasar, lebih banyak pelonggaran aturan kandungan lokal, dan lebih banyak penyerahan kendali ekonomi kepada korporasi global milik AS. Di mata Trump, kekuatan ekonomi negara mitra adalah ancaman yang harus dilucuti perlahan-lahan melalui tarif dan tekanan diplomatik.

Dalam logika ini, Trump menjadikan tarif sebagai senjata koersif yang mematikan. Negara mitra yang tidak patuh diberi beban tarif tinggi, ditekan agar terus memberikan konsesi, dan dihalangi untuk membangun kekuatan industrinya sendiri. Negara yang semakin lemah bukan diberdayakan, tetapi justru terus dilemahkan, hingga tidak lagi punya pilihan selain tunduk. Ini adalah pola kekerasan ekonomi yang sangat mirip dengan praktik genosida Israel di Gaza — membungkam kedaulatan, memutus akses pertumbuhan, dan menghilangkan daya hidup secara sistematis. Bedanya, senjatanya bukan rudal, tapi tarif.

Trump juga secara terang-terangan memberi perlakuan lunak kepada negara-negara sekutu yang diam atau abai terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza. Negara-negara yang tidak mengecam genosida Israel diberi tarif tambahan yang rendah. Sebaliknya, negara-negara Global South yang masih berkembang, yang secara historis memiliki hak untuk perlakuan khusus dan berbeda sebagaimana dijamin WTO, dipaksa membayar tarif tinggi karena dianggap tidak patuh. Dalam narasi Trump, tidak ada ruang bagi keadilan struktural, tidak ada penghormatan terhadap hak-hak negara berkembang. Yang ada hanyalah dominasi dan kepatuhan mutlak.

Apa yang sedang dilakukan Trump saat ini tidak berlebihan jika disebut sebagai bentuk genosida ekonomi global, dengan target utama negara-negara Global South. Ia menjadikan kebijakan tarif sebagai alat pembunuh berdarah dingin terhadap pembangunan negara-negara yang sedang tumbuh. Jika suatu negara tidak tunduk, maka tarif akan dijadikan instrumen hukuman. Jika suatu negara berani menolak, maka tekanan ekonomi akan terus diperbesar. Negara-negara berkembang yang hanya diam dan pasif dalam menghadapi kebijakan ini sejatinya sedang menikmati ilusi stabilitas di tengah penghancuran terstruktur.

Sikap pasif ini diperparah oleh elite politik dan elite bisnis yang punya kepentingan dan aset besar di Amerika Serikat. Mereka takut bersikap tegas karena sadar bahwa bersuara bisa berarti kehilangan akses ke pasar AS, dibekukan asetnya, atau diblokir secara politik. Mereka mungkin belajar dari pengalaman Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina, yang diserang karena melaporkan keterlibatan lebih dari 60 perusahaan global dalam genosida Israel di Gaza. Elite ekonomi dunia kini tahu, bersikap benar bisa berisiko. Tapi diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan ekonomi bangsa sendiri.

Karena itu, sudah waktunya negara-negara Global South berdiri bersama. Mereka harus menyadari bahwa kebijakan Trump bukan sekadar tekanan dagang biasa, melainkan proyek jangka panjang untuk menciptakan ketergantungan total. Genosida ekonomi ini harus dihentikan. Negara-negara berkembang harus berani membentuk front kolektif, memperkuat diplomasi Selatan-Selatan, dan menggunakan forum multilateral seperti WTO bukan sekadar tempat mengeluh, tapi medan untuk menuntut keadilan. Dunia tidak butuh kekuatan hegemonik yang memakai tarif sebagai senjata pemusnah. Dunia butuh tatanan perdagangan yang adil, berimbang, dan memberi ruang tumbuh bagi semua bangsa. Jika negara-negara Global South memilih diam, maka yang akan hilang bukan hanya kedaulatan, tetapi juga masa depan mereka sendiri.

*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Umiversitas Andalas)

Tag:

Baca Juga

Konstruksi Mega Kepalsuan dan Perjuangan Pembongkarannya: Kuasa, Narasi, Aib dan Moralitas
Konstruksi Mega Kepalsuan dan Perjuangan Pembongkarannya: Kuasa, Narasi, Aib dan Moralitas
Demokrasi Sebagai Kulit, Autokrasi Sebagai Isi
Demokrasi Sebagai Kulit, Autokrasi Sebagai Isi
Jangan Biarkan Orang Lain Menunggu dalam Ketidakjelasan
Jangan Biarkan Orang Lain Menunggu dalam Ketidakjelasan
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Doktrin Trump dan Agenda Israel Raya, Sadarkah Negara Negara Teluk?
Teori Sakit Strategis Pertahanan Alus Kehilangan Martabat
Teori Sakit Strategis Pertahanan Alus Kehilangan Martabat
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Gejolak Perang Israel-Iran dan Dampaknya bagi Ekonomi Nasional