Budaya Politik Apatis Sebagai Ancaman Demokrasi Indonesia

Budaya Politik Apatis Sebagai Ancaman Demokrasi Indonesia

Giska Amelia Irvi. (Foto: Dok. Pribadi)

Di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin kompleks, fenomena budaya politik apatis semakin terlihat di berbagai lapisan masyarakat. Apatisme politik, yang ditandai oleh ketidakpedulian terhadap isu-isu politik dan rendahnya partisipasi dalam proses demokrasi, bukanlah sekadar sikap individu, melainkan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi yang kita junjung tinggi. Dalam opini ini, saya ingin menguraikan perkembangan budaya apatis ini serta dampak negatifnya terhadap sistem demokrasi yang kita banggakan.

Apatisme politik adalah kondisi di mana individu merasa tidak memiliki pengaruh dalam proses politik dan cenderung mengabaikan tanggung jawab sebagai warga negara. Masyarakat yang apatis sering kali acuh tak acuh terhadap pemilu, tidak mendalami kebijakan publik, dan enggan terlibat dalam diskusi politik. Di Indonesia, kondisi ini diperparah oleh ketidakpuasan terhadap partai politik yang dianggap tidak mampu mewakili aspirasi rakyat.

Salah satu dampak paling merugikan dari apatisme politik adalah rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Pemilu, yang seharusnya menjadi puncak dari kedaulatan rakyat, justru sering kali diwarnai oleh angka partisipasi yang memprihatinkan. Di pemilu-pemilu sebelumnya, kita telah menyaksikan penurunan angka partisipasi pemilih, mencerminkan semakin banyaknya warga negara yang memilih untuk tidak berpartisipasi. Akibatnya, suara-suara penting yang seharusnya mewakili keinginan masyarakat menjadi hilang dan tidak terdengar.

Bisa kita lihat dalam beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada), angka partisipasi pemilih sering kali mencatatkan angka yang sangat rendah. Sebagai contoh, dalam Pilkada 2020, terdapat sejumlah daerah di mana tingkat partisipasi pemilih berada di bawah 50%. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat terhadap proses pemilihan. Banyak warga memilih untuk tidak menggunakan hak suara mereka, dan alasan yang sering muncul adalah ketidakrelevanan calon yang ada dengan kebutuhan dan harapan mereka.

Kasus rendahnya partisipasi pemilih tidak hanya terlihat pada Pilkada 2020, namun juga terjadi pada Pilkada Serentak 2018, khususnya di Provinsi Maluku. Pada pemilihan tersebut, tingkat partisipasi pemilih di Maluku tercatat hanya 55,28%, menjadikannya salah satu yang terendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang juga melaksanakan pemilihan kepala daerah pada tahun tersebut. Banyak warga memutuskan untuk tidak hadir di tempat pemungutan suara (TPS) karena berbagai alasan, termasuk rasa kekecewaan terhadap calon-calon kepala daerah yang dinilai tidak mampu menangani masalah-masalah mendasar yang dihadapi masyarakat, seperti persoalan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan.

Di wilayah pedesaan Maluku, terdapat persepsi umum di kalangan masyarakat bahwa siapapun yang terpilih sebagai pemimpin tidak akan membawa perubahan signifikan bagi kualitas hidup mereka. Hal ini menciptakan rasa apatis di kalangan pemilih, terutama karena mereka merasa janji-janji politik yang disampaikan hanya sebatas retorika tanpa realisasi yang jelas di lapangan. Selain itu, kendala geografis yang dihadapi beberapa wilayah terpencil di Maluku turut mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih. Jarak yang jauh dari TPS membuat banyak warga merasa enggan untuk melakukan perjalanan panjang dan sulit hanya untuk memberikan suara, terutama ketika mereka merasa hasil pemilihan tidak akan berdampak signifikan pada kehidupan mereka sehari-hari.

Dan keterbatasan akses terhadap informasi mengenai program-program yang diusung para kandidat juga menjadi faktor penghambat tingginya partisipasi pemilih. Banyak warga yang tidak cukup memahami visi, misi, maupun rencana kerja para kandidat yang bersaing. Hal ini diperparah dengan minimnya upaya sosialisasi atau kampanye yang efektif untuk menjangkau masyarakat pedesaan dan terpencil, sehingga menimbulkan keraguan di kalangan pemilih mengenai siapa yang layak mendapatkan suara mereka.

Hal ini berakar dari ketidakpuasan terhadap para calon pemimpin yang ditawarkan. Banyak masyarakat merasa bahwa calon-calon tersebut tidak mewakili kepentingan dan aspirasi mereka. Mereka sering kali melihat para kandidat sebagai orang-orang yang terputus dari realitas kehidupan sehari-hari yang mereka jalani. Akibatnya, warga merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan berarti, sehingga mereka lebih memilih untuk tidak memberikan suara sama sekali. Pengalaman buruk dari pemimpin yang tidak memenuhi janji, serta kurangnya pendidikan politik yang memadai juga sangat berkontribusi pada sikap apatis ini. Masyarakat cenderung merasa frustrasi dan skeptis terhadap perubahan, sehingga memilih untuk menarik diri dari partisipasi politik.

Budaya politik apatis juga menciptakan lingkungan yang subur bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika warga negara tidak aktif mengawasi dan mempertanyakan tindakan pemerintah, ruang untuk korupsi terbuka lebar. Ketidakberdayaan masyarakat dalam menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka dapat mengarah pada praktik-praktik politik yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, apatisme politik bukan hanya mengancam demokrasi, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya penyimpangan dalam pemerintahan.

Sangat penting bagi kita untuk meningkatkan pendidikan politik di kalangan masyarakat, agar mereka memahami hak dan tanggung jawab sebagai warga negara. Kampanye kesadaran tentang pentingnya partisipasi dalam demokrasi juga harus digalakkan melalui media sosial, komunitas, dan organisasi non-pemerintah. Reformasi sistem politik yang memberikan ruang bagi partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan juga perlu menjadi prioritas.

Budaya politik apatis adalah ancaman nyata bagi demokrasi Indonesia. Dengan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik, kita dapat membangun sistem demokrasi yang lebih kuat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Mari kita bangkit dari apatisme, berpartisipasi aktif dalam politik, dan berkontribusi untuk menciptakan masa depan Indonesia yang lebih baik. Hanya dengan partisipasi aktif kita dapat memastikan bahwa suara rakyat tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai dan diperjuangkan.

*Penulis: Giska Amelia Irvi (Mahasiswi Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Pernahkah anda merasa tidak aman saat berjalan sendirian, baik siang maupun malam? Atau pernah menyaksikan tindakan pelecehan seksual?
Membongkar Stigma dan Kesenjangan Hukum dalam Kasus Pelecehan Seksual
Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi
Integrasi Nilai Kepemimpinan dalam Islam dan Dinamika Medsos Hari Ini
Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan
Resistensi Perpajakan: Relevansi Sejarah dan Implikasinya pada Kebijakan Pajak Modern
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal dengan singkatan H.O.S Tjokroaminoto merupakan seorang tokoh yang lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882.
Warisan Intelektual H.O.S. Tjokroaminoto: Guru Para Tokoh Bangsa
Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada
Dekonstruksi Islam Identitas: Refleksi atas Praktik Keagamaan Kontemporer