Langgam.id – Jumlah penduduk miskin di Sumatra Barat per September 2019 masih cukup tinggi, yaitu mencapai 343.090 jiwa. Meski mengalami penurunan dari periode sebelumnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar Pitono mengatakan per September 2019 jumlah penduduk miskin Sumbar sebanyak 343.090 orang atau turun 5.130 orang dibandingkan periode Maret 2019.
Persentase penduduk miskin Sumbar juga sedikit turun dari 6,55 persen pada September 2018, menjadi 6,29 persen pada tahun lalu. Atau juga turun 0,13 persen poin dari penghitungan periode Maret yang mencapai 6,42 persen.
“Sumbar selalu cenderung mengalami penurunan kemiskinan sejak September 2016. Bahkan, angkanya masih di bawah nasional,” ujarnya, Rabu (15/1/2019).
Lebih rinci, angka kemiskinan Sumbar per September 2017 sebanyak 359.990 orang dengan persentase 6,75 persen. Lalu per Maret 2018 sebanyak 357.130 jiwa dengan persentase penduduk miskin 6, 65 persen.
Kemudian pada September 2018 mengalami penurunan menjadi 353.240 jiwa dengan persentase kemiskinan sebesar 6,55 persen, dan per Maret 2019 sebanyak 348.220 jiwa dengan persentase 6,42 persen.
Jika dihitung dari periode September 2018 ke September tahun lalu, jumlah penurunan penduduk miskin Sumbar hanya 10.150 jiwa. Artinya, pemerintah daerah hanya berhasil mengurangi penduduk miskin sebanyak 845 orang per bulan.
Adapun, secara umum di wilayah Sumatra, penduduk miskin Sumbar termasuk sedikit, hanya lebih banyak dari Provinsi Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jambi dan Bengkulu. Meski begitu, untuk persentase jumlah penduduk miskin, Sumbar hanya kalah dari Babel dan Kepulauan Riau.
Pitono mengungkapkan penurunan kemiskinan di Sumbar disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain laju inflasi, pengeluaran rata-rata penduduk yang berada di 40 persen lapisan terbawah tumbuh sebesar 4,92 persen, dan pengeluaran per kapita yang mengalami peningkatan.
Ia menuturkan berbagai program pemerintah juga berkontribusi mempercepat upaya pengentasan kemiskinan, seperti bantuan program nontunai, bansos beras sejahtera (Rastra), PKH, dan berbagai program lainnya.
BPS, imbuhnya, mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kebutuhan dasar. Sehingga, dengan pendekatan itu, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
Yaitu, garis kemiskinan setara pengeluaran kebutuhan minimum makanan 2.100 kilokalori per hari.