Kebangsaan Indonesia hari ini seperti wajah yang kehilangan keutuhannya. Di permukaan tampak masih utuh—dengan slogan persatuan, lambang Garuda, upacara, dan jargon nasionalisme—namun jika diperiksa lebih cermat, bopeng-bopengnya terlihat jelas. Bopeng-bopeng itu tidak muncul tiba-tiba; ia merupakan akumulasi dari retakan kecil yang dibiarkan tumbuh, dari penyakit yang tidak diobati, dan dari pengkhianatan-pengkhianatan kecil pada nilai kebangsaan yang semestinya kita jaga bersama. Bopengnya kebangsaan adalah kondisi ketika identitas nasional tampak ompong, kehilangan bentuk idealnya, dan melemah sebagai daya perekat sosial.
Indonesia—dengan keberagaman suku, agama, bahasa, dan daerah—membutuhkan kebangsaan yang kuat dan utuh sebagai fondasi hidup bersama. Namun ketika kebangsaan itu dibopengi oleh dominasi disintegritas—korupsi, manipulasi politik, ketidakadilan, polarisasi, serta keretakan sosial—maka yang tersisa hanyalah negara yang rapuh dari dalam. Tulisan ini mencoba mengurai apa itu kebangsaan yang bopeng, apa itu disintegritas, dan bagaimana dominasi disintegritas secara sistematis membopengi kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan yang Bopeng
Kebangsaan yang bopeng adalah kondisi ketika nilai, semangat, dan institusi kebangsaan kehilangan keutuhan karena terkikis oleh perilaku, struktur, atau keputusan yang bertentangan dengan nilai persatuan dan keadilan. Kebangsaan yang bopeng bukan berarti kebangsaan itu hilang, tetapi ia cacat: tidak lagi menampilkan wajah tegap dan optimis, melainkan wajah yang retak-retak akibat kontradiksi. Kebangsaan yang bopeng muncul ketika identitas nasional tidak lagi menjadi ruang nyaman untuk semua, ketika rasa memiliki dan rasa mempercayai negara melemah, dan ketika solidaritas antarwarga tergerus oleh kepentingan kelompok. Ini adalah kebangsaan yang hidup dalam bayang-bayang kerapuhan.
Sebaliknya, kebangsaan yang utuh dan kuat adalah kebangsaan yang menyatukan sekaligus memampukan; kebangsaan yang kokoh karena ditopang oleh keadilan, kepastian hukum, integritas pemimpin, dan solidaritas sosial. Pada kondisi ini, identitas Indonesia tidak hanya sekadar simbol, tetapi menjadi energi pemersatu. Kebangsaan yang utuh menciptakan rasa aman, rasa setara, dan rasa percaya antarwarga. Ia bukan kebangsaan yang dipaksakan dari atas, tetapi kebangsaan yang tumbuh dari bawah—dari keyakinan mendalam bahwa hidup bersama dalam satu negara adalah pilihan terbaik bagi semua.
Disintegritas Akar dari Retakan Kebangsaan
Disintegritas adalah keadaan ketika nilai-nilai kejujuran, konsistensi, tanggung jawab, dan kepantasan moral terkikis hingga hilang pada individu maupun institusi. Disintegritas adalah kebalikan dari integritas. Jika integritas menyatukan pikiran, kata, dan tindakan dengan nilai-nilai kebenaran, maka disintegritas menyatukan kepentingan, manipulasi, dan keuntungan jangka pendek dengan pembenaran-pembenaran palsu. Disintegritas adalah bentuk pengkhianatan yang dilakukan secara sistematis—kadang dalam skala kecil dan tampak sepele, kadang dalam skala besar dan menghancurkan.
Disintegritas muncul dalam berbagai bentuk: korupsi birokrasi, penyelewengan kekuasaan, manipulasi hukum, kebohongan publik, penyalahgunaan agama atau identitas untuk kepentingan politik, polarisasi yang disengaja, hingga praktik diskriminasi yang dilegalkan. Ketika disintegritas dominan, maka kebangsaan kehilangan moralitasnya. Indonesia menjadi negara yang tampak besar tetapi dilubangi dari dalam oleh perilaku-perilaku merusak yang menular seperti penyakit kronis.
Disintegritas Sistematis Bukan Sekadar Kasus Individu
Disintegritas yang membopengi kebangsaan bukanlah fenomena insidental. Ia adalah proses sistematis. Pertama, ia bermula dari pembiaran. Ketika sebuah ketidakjujuran kecil dianggap lumrah—seperti manipulasi aturan, suap kecil, atau perlakuan tidak adil—maka kebiasaan itu menjadi norma sosial baru. Kedua, disintegritas bertumbuh ketika pelaku mendapatkan keuntungan tanpa konsekuensi. Tidak dihukumnya pelaku korupsi, atau ringannya hukuman bagi penyalahguna kekuasaan, menciptakan budaya impunitas yang mendorong orang lain mengikuti jejak yang sama.
Ketiga, disintegritas melembaga ketika praktik-praktiknya masuk ke dalam struktur kekuasaan. Ketika pejabat publik memandang negara sebagai ladang keuntungan pribadi atau keluarga; ketika lembaga-lembaga negara dikendalikan untuk melayani kelompok tertentu; ketika suara rakyat direkayasa melalui politik uang atau kebohongan massal; maka disintegritas menjadi darah yang mengalir di tubuh negara. Kondisi inilah yang menyebabkan kebangsaan menjadi bopeng, karena kebangsaan tidak lagi menjadi arena kesetaraan, melainkan arena pertarungan kepentingan.
Retakan Sosial Berpolarisasi Instrumen Disintegritas
Salah satu mekanisme paling efektif untuk membopengi kebangsaan adalah polarisasi. Ketika masyarakat dipecah ke dalam kategori “kami” dan “mereka”, maka budaya saling curiga tumbuh, solidaritas melemah, dan ruang dialog tertutup. Polarisasi di Indonesia tidak jarang sengaja diciptakan, dipelihara, atau dieksploitasi untuk kepentingan politik jangka pendek. Perbedaan perbedaan ditarik masuk ke arena kontestasi, suku dan identitas lokal digunakan sebagai alat mobilisasi, dan kelompok minoritas kerap dijadikan tumbal guna membangun narasi musuh bersama.
Ketika polarisasi mendominasi, kebangsaan kehilangan prinsip dasarnya: kesetaraan sebagai warga negara. Indonesia berubah menjadi negara dengan warga kelas-kelas tak resmi—dengan akses berbeda atas keadilan, pekerjaan, dan perlindungan. Polarisasi seperti ini mempercepat pembopengan kebangsaan, karena memutus saluran komunikasi dan empati antarwarga. Masyarakat terjebak dalam kubu-kubu yang mudah tersulut konflik.
Ketidakadilan Sumber Luka Paling Dalam
Tidak ada yang lebih melemahkan kebangsaan dibanding ketidakadilan. Ketidakadilan adalah sumber luka paling dalam karena ia merusak kepercayaan pada negara. Ketika hukum tidak sama untuk semua, ketika kelompok tertentu diprioritaskan sementara kelompok lain dimarginalkan, ketika pelaku kejahatan besar bisa lolos sedangkan pelanggar kecil dihukum berat, kebangsaan menjadi ilusi. Indonesia sebagai negara Pancasila semestinya menegakkan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial. Namun ketika ketidakadilan menjadi praktik sehari-hari, kebangsaan pun bopeng.
Ketidakadilan bersifat destruktif karena ia menimbulkan rasa frustasi dan ketidakpercayaan. Warga negara yang merasa tidak diperlakukan adil akan cenderung menarik diri, menjadi apatis, atau bahkan melakukan perlawanan. Kebangsaan yang kuat membutuhkan kepercayaan; tanpa keadilan, kepercayaan itu mustahil tumbuh. Dominasi disintegritas membuat keadilan hanya slogan, bukan kenyataan.
Korupsi dan Nepotisme Menggali Lubang-Lubang Menganga di Tubuh Negara
Korupsi adalah bentuk disintegritas yang paling telanjang. Ia tidak hanya merusak institusi, tetapi juga merusak mentalitas masyarakat. Korupsi mengajarkan bahwa ketidakjujuran adalah jalan tercepat menuju kesuksesan. Nepotisme, yang memberi keistimewaan pada keluarga atau kelompok dekat, menegaskan bahwa meritokrasi bukan prinsip yang dihormati. Ketika generasi muda melihat bahwa kedudukan dan kesempatan lebih ditentukan oleh hubungan ketimbang kemampuan, mereka kehilangan kepercayaan pada negara.
Dalam konteks Indonesia, korupsi bukan lagi patologi individu, melainkan struktur yang beroperasi dalam banyak level. Dari praktik suap kecil di birokrasi lokal hingga mega-korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, semuanya adalah manifestasi dari dominasi disintegritas. Kebangsaan menjadi bopeng karena warga negara merasa negara bukan milik publik, melainkan milik mereka yang berkuasa.
Disinformasi dan Manipulasi Menjadi Racun Kebangsaan Era Digital
Di era digital, disintegritas bekerja melalui disinformasi dan manipulasi informasi. Di Indonesia, penyebaran hoaks sering menjadi instrumen politik yang efektif untuk membelah masyarakat, memprovokasi ketakutan, dan mengaburkan fakta. Disinformasi membuat publik kehilangan pijakan pengetahuan yang benar. Ketika kebenaran menjadi relatif dan opini disulap sebagai fakta, kebangsaan kehilangan dasar rasional untuk berdiri.
Manipulasi informasi membuat masyarakat hidup dalam realitas yang terbelah. Warga tidak lagi berbicara satu bahasa yang sama; mereka hidup di dalam ruang gema masing-masing. Dalam kondisi ini, kebangsaan menjadi semakin rapuh karena tidak ada kesepakatan bersama tentang apa yang benar, apa yang adil, dan apa yang penting untuk masa depan bangsa.
Kebangsaan yang Kehilangan Keluwesan
Kebangsaan yang utuh mampu merawat perbedaan, bahkan menjadikannya kekuatan. Namun kebangsaan yang bopeng gagal melakukan itu. Indonesia yang kaya dengan identitas budaya seharusnya menjadi ruang aman bagi keberagaman. Namun ketika disintegritas mendominasi, perbedaan justru dijadikan alasan untuk menyingkirkan, mencurigai, atau menyerang kelompok lain. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, konflik horizontal, dan intoleransi adalah gejala bahwa kebangsaan kita kehilangan keluwesannya.
Tanpa kemampuan merawat perbedaan, kebangsaan berubah menjadi proyek pemaksaan identitas tunggal. Ini adalah kebangsaan yang rapuh karena tidak memberikan ruang bagi dialog dan toleransi. Ketika disintegritas memanipulasi perbedaan untuk kepentingan kekuasaan, yang terjadi adalah pembusukan moral kebangsaan.
Mekanisme Disintegritas Membopengi Kebangsaan
Pertama, disintegritas mengikis nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sehingga masyarakat menjadi permisif terhadap keburukan. Kedua,
normalisasi perilaku merusak berjalan dengan praktik-praktik buruk dianggap lumrah dan justru menjadi standar baru. Ketiga, disintegritas tidak lagi menjadi perilaku individu, tetapi menjadi pola pengambilan keputusan dalam lembaga.
Keempat, disintegritas merusak kepercayaan pada negara. Ketika warga tidak percaya pada institusi, kebangsaan kehilangan fondasi. Kelima, disintegritas memperalat perbedaan untuk tujuan politik sehingga memecah belah masyarakat.
Keenam, disintegritas menghambat keadilan dan pemerataan. Kebijakan publik menjadi bias kepentingan, bukan kepentingan rakyat.
Mekanisme ini bekerja perlahan namun pasti. Kebangsaan yang semula kokoh menjadi bopeng di sana-sini, kehilangan daya rekat sosial, dan kehilangan energi moral.
Persimpangan antara Mengobati atau Membiarkan Luka Makin Dalam
Indonesia berada di persimpangan penting. Kita bisa membiarkan disintegritas terus mendominasi, sehingga kebangsaan menjadi semakin bopeng hingga akhirnya runtuh dari dalam. Atau kita bisa mengobatinya dengan langkah-langkah serius: memperkuat integritas institusi, menegakkan keadilan, menormalisasi kejujuran, memulihkan ruang publik dari manipulasi, dan menghidupkan kembali nilai kebangsaan yang berakar pada Pancasila.
Memperbaiki kebangsaan bukan pekerjaan satu generasi, tetapi pekerjaan lintas generasi. Namun setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menolak disintegritas—apapun bentuknya—dan memperjuangkan keutuhan. Indonesia terlalu besar untuk dibiarkan bopeng. Indonesia terlalu berharga untuk dibiarkan rapuh. Negara hanya bisa berdiri tegak bila nilai-nilai integritas menjadi fondasi bersama.
Kebangsaan dalam Cermin
Jika kita bercermin hari ini, kita melihat kebangsaan yang wajahnya bopeng—namun belum hancur. Masih ada kesempatan untuk memulihkannya. Kebangsaan yang utuh bukanlah sesuatu yang diberikan; ia adalah sesuatu yang diperjuangkan. Dominasi disintegritas telah merusak banyak bagian tubuh Indonesia, tetapi tubuh itu masih bisa disembuhkan bila kita berani melakukan koreksi moral dan institusional.
Kebangsaan yang kuat lahir dari integritas kolektif. Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan itu, kebangsaan yang bopeng bisa dipulihkan menjadi kebangsaan yang utuh—sebuah kebangsaan yang tidak hanya menyatukan, tetapi juga menguatkan dan memuliakan seluruh anak bangsa.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)




