Langgam.id - Berita berjudul "Angin kencang porak porandakan sejumlah rumah di Dharmasraya" itu, kini jadi monumen terakhir bagi karir wartawan Hendra Agusta. Redaktur LKBN Antara Biro Sumatra Barat (Sumbar) tersebut berpulang ke Rahmatullah, hanya satu jam lebih setelah mengedit dan mempublikasikan tulisan itu.
Di situs resmi Antara, tulisan itu dipublikasikan pukul 18.22 WIB, Jumat (8/4/2022), sekitar satu menit sebelum waktu berbuka puasa untuk wilayah Padang hari itu.
Menurut cerita sejumlah kerabat di rumah duka pada Jumat malam, Hendra berbuka puasa setelah memposting berita itu. Ia juga sempat menjadi imam Salat Magrib bagi keluarganya. Usai berbuka itu, ia disebutkan tiba-tiba sesak nafas.
Hendra kemudian langsung dilarikan ke Rumah Sakit Semen Padang oleh keluarga. Saat diperiksa di rumah sakit, ia dinyatakan meninggal dunia pada pukul 19.40 WIB.
Baca Juga: Jurnalis Senior LKBN Antara Hendra Agusta Berpulang
Hendra Agusta lahir di Padang pada 19 Agustus 1972, sebagai anak kedua dari delapan bersaudara. Darah wartawan mengalir deras pada dirinya. Ayahandanya Almarhum Sahar BS adalah salah satu wartawan ternama di Sumbar pada eranya. Sahar BS sempat menjadi Kepala LKBN Antara Biro Sumbar (1982-1994) dan Ketua PWI Sumbar (1993-1997).
Setelah ayahanda pensiun dari Antara, Hendra mengikuti jejaknya berkarir di kantor berita nasional itu sejak awal 2000-an. Ia mengikuti seleksi sama halnya dengan wartawan lain. Hendra baru diangkat resmi jadi karyawan pada 2006, setelah lulus pelatihan dan seleksi nasional.
Adik Hendra, Fifi Suryani juga berkarir sebagai jurnalis, mengikuti jejak sang ayah. Lingkungan jurnalisme makin kental bagi Hendra, setelah menikah dengan Ade Budi Kurniati yang juga seorang wartawan.
Selama lebih 20 tahun jadi wartawan, Hendra dikenal supel bergaul di lingkungan jurnalis Sumbar, LKBN Antara dan para narasumber. Ia mudah dekat dengan kolega, karena pembawaannya yang selalu riang dan jenaka.
Namun, di balik keceriaan itu, ia adalah pewarta yang tangguh, reporter yang gigih di lapangan dan pewawancara yang detail. Pertanyan-pertanyannya saat wawancara, sering menjebak narasumber untuk "menyerah" jujur.
Aktivitasnya sebagai jurnalis langsung drop, begitu Hendra terkena stroke beberapa tahun lalu. Ia sempat satu tahun tak bisa bekerja, saat pemulihan. Ketika kondisinya sudah agak membaik, Hendra diangkat jadi redaktur.
Mengingat kondisi Hendra yang masih terapi pemulihan, ia diizinkan untuk mengedit berita dari rumah. Tapi, beberapa hari dalam sepekan, Hendra masih menyempatkan diri datang ke kantor biro.
"Produktivitasnya luar biasa. Dalam sebulan, Bang Hendra bisa mengedit 500 berita saat jadi redaktur nasional," kata Ikhwan Wahyudi, rekan Hendra sesama redaktur LKBN Antara Sumbar.
Agar beban kerjanya tak terlalu banyak, menurutnya, Hendra kemudian diminta menjaga konten berita untuk subdomain Antara Sumbar. Ia bekerja dari rumah enam jam dalam sehari, namun kadang hadir juga ke kantor untuk berkoordinasi.
Hendra telah menjalani tugas tersebut beberapa tahun terakhir. Semua berlangsung lancar. Di lini masa facebook, Hendra sesekali muncul mengirimkan kabar bahagia atas prestasi dua dari tiga putra dan putrinya dalam olah raga taekwondo.
Karena itu, kepergiannya hanya sekitar satu jam setelah berita terakhir itu mengagetkan rekan kerja, sahabat dan sanak saudara. "Kami merasa sangat kehilangan salah satu rekan yang produktif dan berdedikasi," kata Kepala LKBN Antara Biro Sumbar Maswandi, saat melepas jenazah Sabtu (9/4/2022).
Produktivitas itu bukan cerita baru untuk Hendra. Saat meliput bencana tsunami Aceh pada akhir 2004 hingga awal 2005, ia bukan hanya menulis dan memotret, tapi juga mengambil video. Saat meliput di Meulaboh, Hendra juga termasuk salah satu dari belasan wartawan pertama yang mengabarkan kondisi Meulaboh pada dunia.
Pengalaman ini, diceritakan Hendra di Buku "Jurnalis di Titik Nol", terbitan Jaringan Jurnalis Siaga Bencana (JJSB) pada 2011. Dalam kumpulan tulisan para jurnalis Sumbar tentang pengalaman meliput di lokasi bencana itu, Hendra menulis bagaimana sulitnya ia menembus Meulaboh di tengah ketiadaan tranpostrasi di masa awal pasca-tsunami.
Ketika bisa sampai di Meulaboh dan meliput, ia juga dihadapkan pada masalah ketiadaan logistik sehingga butuh cara survival untuk bisa bertahan di kawasan yang luluh lantak oleh tsunami itu. Saat liputan bisa dilakukan, masalah lain yang muncul adalah bagaimana bisa mengirimkan hasil liputan ke kantor di tengah ketiadaan sinyal internet.
"Bagaimanapun aku harus bisa kembali ke Medan. Percuma bahan-bahan berita ini aku dapatkan jika tidak bisa menyiarkannya,..." tulis Hendra.
Semua kendala itu bisa ia carikan solusinya. Ketika berangkat ia berhasil meyakinkan komandan kapal hingga bisa menumpang KRI Sulthan Thaha Badaruddin yang membawa prajurit Marinir dan Paskhas. Saat kembali, Hendra bisa meyakinkan sejumlah perwira TNI lainnya untuk menumpang dengan Helikopter Chinook yang membawa rombongan Paspampres setelah mengawal kunjungan Presiden SBY.
Hanya dua hari di Meulaboh ditambah tiga hari perjalanannya sebelum itu, hasil liputannya kemudian bisa muncul di Antara untuk kemudian dikutip ratusan media pelanggan dalam dan luar negeri.
"Dari perjalanan liputan ke Meulaboh, aku menulis sekitar 50 berita lempang, 30 feature, 25 foto dan tiga kaset mini DV untuk berita televisi, yang semuanya disiarkan Antara serta dikutip ratusan media cetak dan elektronik baik dalam maupun luar negeri," tulis Hendra.
Baca Juga: Mengenang Liputan Gempa 30 September 2009
Pada awal 2005 itu, di Indonesia belum banyak jurnalis yang punya kemampuan untuk menghasilkan liputan multimedia seperti itu. Karena belum berkembangnya konsep konvergensi media seperti hari ini.
Setelah liputan 20 hari di Aceh itu, Hendra masih meliput sejumlah bencana besar lainnya dengan sama baiknya. Antara lain, gempa Nias 2005, gempa Sumbar 2009 dan tsunami Mentawai 2010.
Sebagai salah satu jurnalis Sumbar yang aktif dalam liputan bencana, Hendra juga ikut mendirikan Jaringan Jurnalis Siaga Bencana (JJSB) pada 2009. Ia aktif mengembangkan jurnalisme bencana yang baik serta mendorong kesiapsiagaan bencana. Bukan saja melalui karya jurnalistik, tetapi juga melalui kampanye, workshop, seminar dan buku.
Pada 2011, misalnya, Hendra Agusta bersama Denny Risman, Trio Jenifran, Hendra Makmur dan John Nedy Kambang menulis Buku "Panduan untuk Jurnalis Meliput Bencana".
Buku yang diterbitkan JJSB bersama Komunitas Siaga Tsunami (Kogami) setelah Workshop Jurnalis Siaga Bencana se-Indonesia ini antara lain merumuskan pedoman pemberitaan bencana sesuai kode etik jurnalistik serta mendorong peran jurnalis meningkatkan kesiapsiagaan bencana.
Kiprah Hendra, menjadi hal baik yang terus akan dikenang, terutama oleh komunitas jurnalis di Sumbar. Saat diberangkatkan dari Padang menuju kampung halamannya di Sincincin untuk dimakamkan, kepergiannya dilepas puluhan wartawan dari berbagai organisasi baik dari PWI (tempat ia menjadi anggota), IJTI, AJI dan PFI.
"Kesehariannya, almarhum sangat baik dan bersahabat. Kami kagum, dalam kondisi fisik yang tak begitu sehat beberapa waktu lalu, Hendra juga sudah lulus UKW," kata Ketua PWI Sumbar Heranof Firdaus.
Yang tak hadir karena terhalang jarak, dengan terisak mengucapkan selamat jalan di lini masa media sosial untuk salah satu sahabat terbaik. Selamat jalan, Hendra Agusta. Teruslah ke surga, kawan. (HM)
—