Gelombang bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali membuka borok lama tata kelola fiskal Indonesia. Di satu sisi, pemerintah pusat bergerak cepat dengan menerbitkan Surat Edaran Mendagri yang memberi ruang pergeseran APBD untuk daerah terdampak, disusul kiriman dana taktis Rp20 miliar dari Presiden Prabowo. Di sisi lain, pemangkasan besar-besaran Transfer ke Daerah (TKD) membuat banyak pemerintah daerah merasa berjalan dengan kaki terikat. Bantuan darurat datang, tetapi fondasi keuangan daerah untuk mengantisipasi dan mengelola bencana tetap rapuh.
Surat Edaran yang memperlonggar pergeseran APBD patut diapresiasi. Instrumen ini memberi ruang bagi pemda untuk mengalihkan anggaran, mengutamakan layanan dasar, logistik, dan pemulihan sarana prasarana di wilayah bencana. Tambahan dana taktis dari Presiden mengisi celah likuiditas awal agar operasi evakuasi, penyediaan hunian darurat, dan penanganan korban tidak berhenti hanya karena kas daerah seret. Langkah seperti ini mengirim sinyal bahwa pusat hadir di tengah krisis, bukan sekadar memberi nasihat dari jauh.
Tetap saja, skala bencana di Sumatra menuntut perspektif yang lebih jernih. Perkiraan kebutuhan rekonstruksi di tiga provinsi tersebut mencapai miliaran dolar, dengan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang sangat besar. Dalam konteks seperti itu, dana Rp20 miliar per provinsi dan beberapa miliar per kabupaten/kota hanya berfungsi sebagai “uang muka” pemulihan. Bantuan ini mendukung fase tanggap darurat dan beberapa pekerjaan pemulihan awal, tetapi tidak sanggup menggantikan kebutuhan pendanaan jangka menengah untuk membangun kembali jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, sekolah, serta rumah warga dengan standar ketahanan baru.
Di sinilah keresahan pemda tentang pemangkasan TKD menemukan relevansi. Ketika TKD dipotong ratusan triliun rupiah dengan alasan efisiensi dan perbaikan belanja, daerah kehilangan ruang fiskal untuk menjalankan fungsi dasar, apalagi untuk memperkuat mitigasi bencana. Kepala daerah dan DPR sudah menyuarakan kegelisahan ini secara terbuka: APBD tercekik, program adaptasi iklim tertunda, dan kesiapsiagaan bencana kehilangan sumber pendanaan yang stabil. Bantuan sporadis tidak menghapus fakta bahwa tulang punggung fiskal daerah justru semakin lemah.
Bantuan yang bersifat ad hoc berisiko menciptakan budaya “menunggu bencana besar dulu baru pusat turun tangan”. Daerah yang setiap tahun hidup dengan ancaman banjir, longsor, gempa, dan gelombang tinggi membutuhkan kepastian fiskal, bukan sekadar paket dana ketika korban sudah berjatuhan. TKD yang kuat dan stabil berfungsi sebagai semacam “asuransi fiskal nasional” yang memungkinkan pemda membiayai pengurangan risiko bencana: memperbaiki tata ruang, memperkuat tanggul dan drainase, membangun shelter evakuasi, melatih relawan, serta memperkuat sistem peringatan dini.
Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah pemangkasan TKD perlu dibatalkan? Jawabannya setidaknya perlu bergerak ke arah peninjauan ulang yang serius. Indonesia berdiri di salah satu sabuk bencana paling aktif di dunia. Tidak hanya Sumatra yang menghadapi banjir dan gempa, tetapi juga Bali dan banyak daerah wisata lain yang berada di jalur gempa, tsunami, serta letusan gunung berapi. Jika TKD terus ditekan tanpa perlindungan khusus bagi komponen yang terkait langsung dengan mitigasi dan kesiapsiagaan, negara sedang menghemat di pos yang justru menentukan keselamatan jutaan jiwa.
Jalan tengah yang rasional ialah melakukan “ring-fencing” pada bagian TKD yang berhubungan dengan pengurangan risiko bencana dan layanan dasar. Pemerintah pusat tetap bisa mengejar efisiensi dan menertibkan belanja daerah yang boros, tetapi tidak memotong dana yang menjadi kunci ketahanan di wilayah berisiko tinggi. Di saat yang sama, reformasi perpajakan dan desentralisasi perlu bergerak agar daerah memiliki sumber PAD yang lebih kuat dan berkualitas, sehingga ketahanan fiskal tidak hanya bertumpu pada TKD.
Bencana di Sumatra seharusnya menjadi momentum koreksi arah, bukan sekadar alasan menambah alokasi darurat. Negara perlu meninggalkan pola “memadamkan api” dan beralih pada pola “mengurangi bahan bakar”. Itu berarti membangun arsitektur fiskal yang menjadikan mitigasi bencana dan adaptasi iklim sebagai prioritas, bukan sisa anggaran. Ketika pusat berani menguatkan TKD yang berorientasi risiko, memperbaiki desain bagi hasil pajak, dan mendorong kapasitas fiskal daerah, bantuan Rp20 miliar tidak lagi berdiri sendirian, tetapi menjadi bagian dari strategi besar menjaga nyawa dan masa depan warga di garis depan bencana.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)


