Banjir besar melanda Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai selama 3 hari dari Kamis (30/4/2020) hingga Minggu (3/5/2020), banjir ini disebut-sebut sebagai yang terhebat sejak tahun 1986. Air bah tersebut berkisar setinggi 1 hingga 2,5 meter terjadi di empat Kecamatan berdampak kepada 1.796 Kepala Keluarga (KK) menjadi korban banjir besar ini.
Saking hebatnya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai harus menetapkan status tanggap darurat bencana selama 10 hari, mulai 1 Mei hingga 10 Mei 2020. Curah hujan ekstrim yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai dijadikan alasan utama berbagai pihak yang mengakibatkan terjadinya banjir besar di Pulau Siberut.
Namun, apakah benar faktor curah hujan tinggi saja yang menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir besar di Pulau Siberut? Bagaimana dengan faktor eksploitasi hutan, apakah turut mengambil andil sebagai penyebab terjadinya banjir tersebut?.
Hutan Siberut
Peran hutan dalam memelihara pasokan air, memberi perlindungan tanah dalam suatu daerah aliran sungai, serta meminimalkan pengaruh bencana banjir dan longsor telah banyak didiskusikan dan diperdebatkan.
Secara umum, pengetahuan konvensional menyatakan bahwa hutan merupakan “busa” raksasa, yang menyerap air selama musim hujan dan mengalirkan air tawar perlahan-lahan di waktu yang sangat diperlukan pada musim kemarau.
Pulau Siberut merupakan wilayah yang memiliki tingkat risiko tinggi banjir di Mentawai, banjir yang terjadi bukanlah yang pertama, namun terjadi hampir setiap tahun.
Dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Mentawai, menjelaskan Kecamatan Siberut Barat, Siberut Utara, Siberut Tengah, Siberut Selatan, dan Siberut Barat Daya adalah daerah-daerah yang dikategorikan sebagai daerah dengan risiko sedang dan tinggi bencana banjir.
Sebelum disentralisasi pada 1969-1992, Kawasan Hutan Siberut sudah dieksploitasi oleh 5 perusahan besar dengan total luas area konsesi ± 285.000 Ha. Setelah Presiden RI Soeharto (Orde Baru) menandatangani kesepakatan Siberut menjadi sebagai cagar alam melalui penetapan kawasan Taman Nasional Siberut (1992), seluruh aktivitas perusahaan yang beroperasi ditutup Presiden Soeharto.
Setelah hampir 10 tahun, tepatnya pada 1992, bebas dari ekploitasi dan pembalakan hutan besar-besaran oleh perusahaan, tahun 2001 (Pasca Otoda 1999) izin-izin konsesi HPH, IPK dan HTI diterbitkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai, seperti Koperasi Andalas Madani (KAM) mendapat konsesi HPH di wilayah Siberut. Kemudian izin konsesi HPH PT Summa Salaki Sejahtera (PT. SSS). Selanjutnya di Tiniti, Koperasi Purimanuaijat yang mendapat IPK, di Gurukna, KUD Muara Sikabaluan mendapat izin IPK, di Sirilogui PT Alam Indah Lestari Konsesi, diujung selatan Pulau Siberut terdapat koperasi KOSUM (Koperasi Serba Usaha Murimaua) beroperasi di Katurei, Koperasi KOSTAM yang mengajukan perkebunan kelapa di Taileleu untuk mendapatkan izin IPK,terakhir izin HTI PT.Biomass Andalan Energi.
Tabel Konsesi Hutan di Siberut Sebelum dan Setelah Disentralisasi:
Siaran Pers YCMM menjelaskan, selain karena sifatnya yang alamiah, kejadian banjir tersebut tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemanfaatan ruang yang pernah ada di daerah-daerah tersebut. Karena tidak tepatnya model pemanfaatan hutan untuk daerah-daerah tersebut, Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai telah menetapkan dalam RTRW-nya bahwa daerah-daerah tersebut dikelola melalui skema perhutanan sosial. Namun RTRW ini kandas, karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan izin pemanfaatan kayu hutan alam (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di daerah tersebut.
Data YCMM menyebut banjir di Siberut akibat meluapnya sungai-sungai yang daerah hulu dan daerah tangkapan airnya telah mengalami eksploitasi hutan (kayu) pada kurun waktu yang belum terlalu lama. Daerah hulu Sungai Siberut (Sarereiket dan Silakoinan) yang menyebabkan banjir di Rogdok/Madobag dan Salappak merupakan bekas konsesi HPH PT CPPS. Pada daerah hulu dan daerah tangkapan air sungai Sikabaluan di Siberut Utara yang menyebabkan banjir di Bojakan, Sotboyak, Monganpoula dan Sikabaluan merupakan daerah konsesi HPH PT Salaki Summa Sejahtera yang masih beroperasi.
Banjir dari air sungai yang menggenangi Dusun Simoilaklak dan Sirisurak di Desa Saibi, Kecamatan Siberut Tengah merupakan daerah tangkapan airnya merupakan bagian wilayah konsesi HPH Koperasi Andalas Madani (KAM). Pada 2007, KAM resmi menutup operasional HPH di Siberut, sebelum izin HPH berakhir. Meskipun begitu, hutan di Saibi dibiarkan gundul tanpa pemulihan. Kini bahkan di daerah itu terbit izin baru untuk HTI PT Biomas Andalan Energi. Sementara di daerah Malancan yang salah satu dusunnya juga mengalami banjir, dulu bekas konsesi IPK KUD Sikabaluan dan IPK KSU Mitra Sakato dengan luas konsesi IPK 1.200 hekatre.
Jadi secara alamiah, daerah-daerah tersebut adalah daerah yang rawan banjir, maka curah hujan tinggi akan selalu mengakibatkan banjir. Karena itu mitigasi perlu dilakukan, dengan intervensi yang minimal terhadap alam di daerah-daerah tersebut. Pada daerah-daerah tersebut tidak boleh terjadi deforestasi baik karena izin pemanfaatan kayu hutan alam maupun izin pemanfaatan kayu hutan tanaman industri. Tidak boleh ada bukaan lahan dalam skala yang luas. Karena itu model pemanfaatan alam yang harus didukung di daerah tersebut adalah “tinungglu” sebagai sistem agroforest khas masyarakat adat Mentawai.
Inskonstitusional Penetapan Hutan Siberut
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 (MK 45/2011) menetapkan bahwa pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” frasa “ditunjuk dan atau” pada ketentuan sebelumnya dihapus dan dinyatakan inkonstitusional.
Berdasarkan Putusan MK 45/2011, seharusnya seluruh kawasan hutan di Kabupaten Kepulauan Mentawai seharusnya dinyatakan inskonstitusional karena selama ini hanya ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan hutan, dan penetapan izin-izin diatas kawasan hutan harusnya dinyatakan cacat demi hukum.
Adanya dasar konstitusional tersebut seharusnya mendorong percepatan pengukuhan kawasan hutan untuk mengoreksi tindakan otoriter yang tengah berlangsung selama ini serta untuk menjadikan kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagai suatu ikhtiar untuk menjalankan mandat konstitusi di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Banjir ini kembali mengkonfirmasi bahwa banyak kebijakan kehutanan yang belum diselesaikan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, khususnya Pulau Siberut. Namun apakah banjir besar yang terjadi di Siberut terjadi akibat cacatnya kebijakan kehutanan di Siberut, tentu membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi.
Tapi secara kasat mata, banjir besar yang melanda Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai selama 3 hari tersebut menjelaskan betapa rentannya pulau ini dan kebijakan pemberian izin usaha pemanfaatan kayu baik kayu dari hutan alam (HPH) maupun Hutan Tanaman (HTI) sangatlah tidak pas untuk Pulau Siberut.
*Surya Purnama, penulis adalah Legal Officer Yayasan Citra Mandiri Mentawai.